Peluang Bisnis Waralaba Lokal di Tengah Pandemi
Dalam waktu singkat, pandemi Covid-19 memaksa waralaba asing menutup sejumlah gerainya di Indonesia. Bagaimana dengan nasib waralaba lokal?
Sistem waralaba sebagai salah satu cara berbisnis masih berpeluang tumbuh di tengah pandemi Covid-19. Peluang itu bisa terwujud jika pasang-surut waralaba dan juga perbedaannya dengan business opportunity benar-benar dipahami sebelum menjalani bisnis ini.
Pasalnya, tidak sedikit juga waralaba yang merugi besar atau bahkan gulung tikar ketika pandemi Covid-19. Sejumlah bisnis waralaba menutup gerainya akibat dampak Covid-19.
Beberapa bisnis waralaba makanan dunia menutup bisnisnya di Indonesia. Salah satunya, PT Fast Food Indonesia Tbk., pemilik waralaba restoran cepat saji Kentucky Fried Chicken (KFC).
Bisnis yang terkenal dengan kuliner ayam gorengnya itu menutup 115 gerai dalam dua bulan sejak Covid-19 masuk ke Indonesia. Informasi tersebut diketahui melalui laman Bursa Efek Indonesia yang memuat keterbukaan informasi dampak pandemi Covid-19.
Baca juga: Usaha yang Digembok
Tidak hanya di Indonesia, nasib tidak menguntungkan dialami juga oleh pewaralaba di sejumlah negara. Pada 1 Juli 2020, korporasi NPC Internasional Inc (NPC) sebagai pemegang hak merek waralaba Pizza Hut dan Wendy’s mengajukan chapter 11 kepada pengadilan Texas, Amerika Serikat.
Perusahaan dengan jumlah pekerja hampir 40.000 orang di 1.700 gerai yang tersebar hingga 27 negara bagian AS itu merugi hampir 1 miliar dollar AS lantaran dihantam pandemi Covid-19. Merujuk laman United States Courts, kasus chapter 11 adalah kode kebangkrutan yang merujuk pada reorganisasi utang atas kebangkrutan bisnis.
Situasi buram juga menimpa waralaba asal Korea Selatan, Lotteria. Waralaba restoran cepat saji yang sudah bertahan sembilan tahun tersebut menutup serentak sembilan gerainya per 29 Juni 2020.
Peluang pasar
Kabar baiknya, tutupnya gerai tersebut sebagian terjadi pada waralaba merek asing. Pada satu sisi, hal ini memperbesar ceruk pasar bagi pewaralaba dalam negeri.
Hanya saja, lesunya perekonomian global menjadi sisi lain yang menjadi tantangan tersendiri bagi bisnis waralaba. Pertumbuhan konsumsi dunia menunjukkan tren yang cenderung melambat.
Publikasi Bank Dunia menunjukkan kecenderungan melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan lembaga non-profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) secara global. Selain sektor rumah tangga, data konsumsi ini juga memasukkan sektor LNPRT yang mencakup organisasi sosial-kemasyarakatan, organisasi profesi, atau konsumsi dari lembaga swadaya masyarakat.
Tahun 2011, konsumsi dua sektor tersebut tercatat 1,81 persen, dan pada 2015 hanya 1,52 persen. Tahun 2016-2017, pertumbuhan konsumsi global dari dua sektor itu meningkat masing-masing 1,6 persen dan 2,2 persen, tetapi pada 2018 kembali tertekan menjadi 1,95 persen.
Kondisi investasi langsung juga bernasib sama. Investasi langsung secara global juga menunjukkan tren data yang menurun. Tahun 2011, persentase arus modal masuk terhadap produk domestik bruto (PDB) dunia tercatat 3,15 persen dan tahun 2014 hanya 2,38 persen.
Tahun 2015, persentase arus modal masuk terhadap PDB global meningkat menjadi 3,56 persen. Namun, arus modal masuk tahun 2019 kembali turun menjadi 1,62 persen, jauh di bawah masa krisis global tahun 2009 (2,33 persen).
Kondisi kian tidak menguntungkan bagi dunia usaha mengingat saat ini pandemi Covid-19 ikut menekan perekonomian global. Kendati demikian, pasar bisnis waralaba di Indonesia masih mempunyai peluang cerah.
Data International Franchise Attractiveness Index dari University of New Hampshire, Amerika Serikat, menunjukkan peluang tersebut. Dengan jumlah penduduk mencapai 267 juta jiwa, Indonesia mempunyai daya tarik potensi pasar di peringkat keempat dunia dari total 131 negara.
Indonesia juga berada di peringkat sepertiga teratas daya tarik waralaba. Tepatnya, Indonesia ada di peringkat ke-34 dalam hal daya tarik pengembangan bisnis pewaralaba dari AS.
Tren waralaba
Gambaran dinamika perekonomian global yang terjadi sejalan juga dengan pasang-surut jumlah waralaba di Indonesia sepanjang 2011-2019. Waralaba yang beroperasi di Indonesia tercatat terus menurun dari 1.256 merek yang beroperasi tahun 2011 menjadi 698 merek tahun 2015, kemudian kembali menyusut menjadi 600 merek tahun lalu.
Sejak pertama kali muncul tahun 1991, bisnis waralaba sempat mencapai puncaknya tahun 2011. Pesatnya pertumbuhan waralaba di Indonesia mulai terjadi sesudah tahun 2005.
Waralaba merek lokal pun menjamur sejak 2005. Sepanjang 1992-2003, bisnis waralaba di Indonesia masih didominasi merek-merek asing. Kondisi tersebut kemudian berbalik tahun 2007. Gambaran tren demikian paling tidak menjadi salah satu indikasi yang mencerahkan bagi bisnis waralaba lokal.
Baca juga: Indonesia Tamu Kehormatan di Pameran Internasional di Arab Saudi
Pertumbuhan pesat waralaba juga tidak lepas dari dukungan regulasi pemerintah. Ketentuan pembatasan jumlah gerai milik sendiri yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2014 adalah salah satu contohnya.
Permendag tahun 2014 itu membuka kesempatan bagi tumbuhnya waralaba. Hal ini karena merek bisnis dengan jumlah gerai melebihi ketentuan permendag diwajibkan mewaralabakan dan/atau dikerjasamakan dengan pola penyertaan modal kepada pihak lain.
Dukungan bagi bisnis waralaba juga muncul melalui Permendag No 71/2019. Peraturan ini membawa tiga implikasi yang semakin memudahkan sekaligus mempertegas kepastian berbisnis secara waralaba.
Aspek pertama, Permendag Waralaba tidak memberikan batasan mengenai gerai waralaba. Permendag tahun 2019 juga tidak memberikan batasan jumlah master franchise, sebagai perwakilan pemilik waralaba (franchisor) yang berhubungan bisnis dengan pembeli waralaba (franchisee) di wilayah tertentu.
Hal kedua, permendag tahun 2019 tidak lagi mengatur secara ketat tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Dalam Permendag No 47/2016, TKDN diwajibkan sebesar 80 persen.
Aspek dukungan yang ketiga dari Permendang No 71/2019 menyangkut kepastian hukum, baik bagi franchisor maupun franchisee. Permendag tahun 2019 mewajibkan ada surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) bagi pemberi waralaba, pemberi waralaba lanjutan, penerima waralaba, dan penerima waralaba lanjutan.
Baca juga: TKDN Tak Lagi Diwajibkan, Pewaralaba Tetap Diminta Serap Produk UMKM
Prospek waralaba
Sampai dengan tahun lalu, paling tidak tercatat ada tiga segmen bisnis waralaba yang menjanjikan peluang menggiurkan. Sebelum pandemi Covid-19, ketiga segmen waralaba di atas memang tumbuh pesat seiring maraknya pariwisata Indonesia.
Segmen bisnis waralaba yang banyak digarap ada pada kategori hotel serta food and beverage (F&B). Dari total usaha di kelompok penyediaan akomodasi serta makan dan minum, ada 1,51 persen perusahaan yang mengembangkan bisnis sebagai franchisor dan 2,59 persen usaha di bidang ini yang dijalankan oleh franchisee.
Segmen waralaba berikutnya yang juga banyak dijalankan adalah kategori aktivitas penyewaan dan sewa guna usaha tanpa hak opsi, ketenagakerjaan, agen perjalanan dan penunjang usaha lainnya. Termasuk dalam kategori waralaba itu contohnya bisnis tour and travel, tiket perjalanan, persewaan kendaraan.
Pertumbuhan tinggi sektor pariwisata juga mendorong tumbuhnya jasa pendukung lainnya, yaitu aktivitas keuangan dan asuransi. Aktivitas pariwisata yang mengedepankan kemudahan turut membuka peluang bisnis waralaba keuangan untuk mendukung transaksi wisata.
Baca juga: Membaca Arah Pemulihan Pariwisata Global
Tak bisa dimungkiri, pandemi Covid-19 mengubah lanskap bisnis, termasuk waralaba. Meski demikian, ketiga segmen bisnis di atas masih bisa menguntungkan jika dijalankan dengan strategi dan pengetahuan tepat.
Strategi terkait dengan bisnis waralaba F&B di tengah pandemi Covid-19, contohnya, sudah dijalankan PT Top Food Indonesia. Perusahaan yang menaungi waralaba Es Teler 77 tersebut berinovasi menghadapi situasi pandemi. Waralaba ini mengembangkan penjualan makanan beku secara daring .
Hal yang sama dilakukan waralaba akomodasi. Sejumlah hotel memperkuat layanan F&B restorannya, juga melalui sistem delivery order. Adapun hotel-hotel lain yang tidak mendapatkan tamu berupaya meningkatkan okupansinya sebagai tempat perawatan pasien Covd-19. Ada juga sejumlah hotel yang mempromosikan jasa karantina mandiri dengan penerapan ketat protokol kesehatan.
Sementara itu, bisnis persewaan kendaraan sebagian bersiasat dengan beralih menjadi angkutan logistik. Jasa pariwisata lain juga mengupayakan berinovasi, antara lain melalui tur virtual.
Sektor keuangan dan asuransi juga masih berprospek cerah. Hal ini mengingat pandemi Covid-19 justru mendorong penguatan aktivitas cashless dalam transaksi keuangan.
Di luar ketiga segmen tersebut, waralaba terkait aktivitas kesehatan dan sosial juga belum banyak tumbuh merujuk pada data tahun lalu. Segmen bisnis ini jelas menggiurkan di tengah pandemi Covid-19.
Namun, keputusan berbisnis waralaba tidak cukup hanya melihat peluang dan data makro. Pada masa pandemi Covid-19, keputusan untuk mencoba atau bertahan dengan bisnis waralaba paling tidak perlu mempertimbangkan sejumlah aspek.
Aspek tersebut, antara lain, adalah persoalan kekuatan modal, dukungan sumber daya manusia, serta faktor pelanggan dan pemasaran. Angka persebaran pandemi Covid-19 masih terus tinggi hingga sekarang menjadikan persoalan kesehatan sebagai isu paling krusial yang menyangkut ketiga aspek di atas.
Pada akhirnya, dalam konteks memutuskan untuk memulai bisnis ataupun bertahan dengan waralaba di tengah pandemi, hal yang tidak kalah penting dilakukan adalah melihat detail sebuah peluang bisnis.
Tidak sedikit orang yang sudah atau akan menjalani bisnis belum menyadari perbedaan antara waralaba dan business opportunity. Waralaba, dalam konteks yang tepat, cenderung lebih aman mengingat semua aspek bisnis dihitung dengan cermat. Sekalipun merupakan merek lokal, bisnis dengan cara waralaba yang tepat berpeluang mencatat kinerja baik di tengah pandemi. (LITBANG KOMPAS)