Yogyakarta, Daerah Istimewa dengan Peran yang Juga Istimewa
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta adalah kerajaan yang berdaulat. Meski berada di bawah tekanan politik pemerintah kolonial, Yogyakarta berhasil menjaga eksistensi sebagai wilayah yang memiliki pemerintahan otonom.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Hari ini, tepat 75 tahun silam, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII mengeluarkan amanat yang berisi peleburan wilayah kerajaan sebagai bagian dari negara Indonesia. Dalam perjalanan sejarah, Yogyakarta tak hanya berstatus sebagai daerah istimewa, tetapi juga memainkan peran istimewa dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta adalah kerajaan yang berdaulat. Meski berada di bawah tekanan politik pemerintah kolonial, Yogyakarta berhasil menjaga eksistensi sebagai wilayah yang memiliki pemerintahan otonom. Soliditas kesatuan wilayah dan politik di Yogyakarta semakin kokoh setelah reunifikasi antara Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada era pendudukan Jepang.
Saat kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta bisa saja berdiri sebagai wilayah sendiri mengingat daerah ini telah memiliki pemerintahan, wilayah, dan rakyat. Namun, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII saat itu bermufakat untuk mendukung Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka. Dukungan diberikan dengan kesediaan untuk bergabung menjadi bagian dari wilayah Indonesia.
Dukungan itu disampaikan melalui telegram kepada Presiden Soekarno. Pada 19 Agustus 1945, Soekarno menandatangani piagam kedudukan bagi daerah Yogyakarta. Piagam itu menjadi simbol penghormatan dan pengakuan kedudukan pemerintahan Yogyakarta maupun Pakualaman.
Guna mempertegas status wilayah Yogyakarta ataupun Pakualaman, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada 5 September 1945 masing-masing mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan wilayah Pakualaman adalah bagian dari Indonesia. Lahirnya amanat itu menjadi penegasan, Yogyakarta dan Pakualaman merupakan wilayah yang telah menjadi bagian dari RI.
Amanat disempurnakan pada 30 Oktober 1945. Menurut Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo dalam buku Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya (2010), amanat ini berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Pada 5 September 1945, amanat dikeluarkan secara masing-masing oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, sedangkan pada 30 Oktober 1945 hanya terdapat satu amanat. Kelahiran amanat ini kembali menegaskan Yogyakarta suatu kesatuan wilayah yang berada di dalam negara Indonesia.
Amanat 30 Oktober 1945 sekaligus menegaskan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII sebagai pemimpin daerah Yogyakarta. Saat itu, wilayah Yogyakarta belum disebut sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta, melainkan Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia.
Yogyakarta sebagai daerah istimewa mulai disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah yang diumumkan tanggal 23 November 1945. Dalam bagian pasal penjelasan mengenai Komite Nasional Daerah, terdapat penyebutan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta.
Status Yogyakarta sebagai daerah istimewa memperoleh legitimasi melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam undang-undang ini ditetapkan wilayah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Pakualaman sebagai Daerah
Istimewa Yogyakarta. Wilayah ini setingkat provinsi lain di Indonesia.
Aturan yang diundangkan pada 4 Maret 1950 itu juga mengatur hal keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta hingga hak pengelolaan perusahaan daerah. Sejak saat itu, Yogyakarta resmi menyandang status daerah istimewa sesuai legitimasi dalam undang-undang.
Kontribusi
Yogyakarta juga memiliki peran istimewa dalam mempertahankan kemerdekaan republik. Selama periode revolusi, perannya dibagi menjadi dua, yakni dari sisi pergerakan rakyat dan pusat kendali pemerintahan.
Dari sisi pergerakan rakyat, amanat 5 September yang dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII segera direspons oleh gerakan masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Perusahaan atau perkantoran di wilayah Yogyakarta yang masih berada di bawah pemerintah kolonial segera diambil alih pada September 1945.
Amanat 5 September yang dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII segera direspons oleh gerakan masyarakat Yogyakarta untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Dalam periode Desember 1948 hingga Juni 1949, lebih dari 2.000 orang gugur dan 539 orang hilang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Korban yang berjatuhan tersebar pada sejumlah daerah, seperti Bantul, Sleman, maupun di sekitar pusat pemerintahan Yogyakarta (Sujamto, 1988).
Dari sisi pemerintahan, Yogyakarta menjadi garda terdepan kendali politik dalam negeri pada era revolusi. Sejak Januari 1946, pusat pemerintahan dikendalikan Presiden Soekarno melalui Yogyakarta. Dari daerah ini pula, Soekarno rutin mengeluarkan amanat revolusi setiap 17 Agustus pada tahun-tahun awal kemerdekaan.
Yogyakarta menjadi pula saksi peristiwa 1 Maret 1949. Saat itu, serangan dilakukan untuk menunjukkan eksistensi Pemerintah Indonesia kepada dunia internasional setelah Belanda menduduki wilayah Yogyakarta.
Kepala daerah
Seusai Indonesia melewati gejolak revolusi dan pusat pemerintahan kembali ke Jakarta, Yogyakarta menghadapi beberapa perkembangan, khususnya terkait penetapan kepala daerah. Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, diatur bahwa kepala daerah istimewa diangkat oleh presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa. Syarat yang ditetapkan meliputi adanya kecakapan, kejujuran, dan kesetian dengan mengingat adat istiadat di daerah tersebut.
Aturan ini berubah pada 1957. Kepala daerah istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD berdasarkan keturunan keluarga yang berkuasa. Bagi daerah tingkat I, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah istimewa menjadi wewenang dari presiden.
Kini, pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Calon yang dapat diajukan adalah tokoh yang bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon gubernur dan Adipati Paku Alam untuk calon wakil gubernur. Artinya, secara substansial aturan ini tidak mengubah warisan budaya dalam tataran pemerintahan di Yogyakarta.
Namun, dalam aturan itu terdapat beberapa berkas yang harus dilengkapi saat Kasultanan dan Kadipaten mengajukan calon gubernur dan calon wakil gubernur kepada DPRD DIY. Daftar riwayat hidup hingga surat keterangan pengadilan negeri (menyatakan calon tak sedang dicabut hak pilihnya) adalah berkas yang harus disertakan.
Pusat budaya
Kini, Yogyakarta masih memainkan peran istimewa bagi Indonesia, yakni sebagai pusat dan pewaris kebudayaan. Kearifan lokal yang bertahan di Yogyakarta mengundang banyaknya wisatawan untuk menikmati keelokan budaya bangsa.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik, pada 2019 sebanyak 1.008.599 wisatawan mancanegara berkunjung ke Yogyakarta. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan kunjungan wisatawan mancanegara ke beberapa daerah di Pulau Jawa lainnya, seperti Banten (308.044), Jawa Timur (320.529), dan Jawa Tengah (691.699).
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki banyak infrastruktur sosial dan budaya untuk memikat wisatawan. Pada 2019, terdapat 133 kampung wisata yang tersebar di setiap kabupaten dan kota. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah kampung wisata bertambah enam desa. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan sarana guna menampung wisatawan yang hendak menikmati alam budaya di Yogyakarta.
Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki 1.895 atraksi budaya atau kesenian yang tersebar di setiap daerah. Kondisi ini semakin mengukuhkan keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta. Sebagai entitas politik, sosial, dan budaya, Yogyakarta tak hanya istimewa di masa lalu, tetapi juga pada masa kini dan masa yang akan datang.