Di Balik Mendadak Capres Giring
Strategi ”marketing” politik tengah dimainkan Partai Solidaritas Indonesia. Nama Giring Ganesha mencuat sebagai calon presiden, meramaikan isu politik yang tengah membeku akibat pandemi.
Banyak pihak menilai, pendeklarasian Plt Ketua Umum PSI Giring Ganesha sebagai calon presiden 2024 terlampau terburu-buru dan tak serius. Namun, di balik itu, PSI dan Giring sebetulnya tengah berupaya memainkan strategi politik yang efektif mendongkrak popularitas partai dengan sasaran kaum milenial.
Sosok Giring Ganesha sepanjang Agustus ini mendadak menjadi perbincangan khalayak. Kader Partai Solidaritas Indonesia itu didapuk menjadi Pelaksana Tugas Ketua Umum PSI, menggantikan Grace Natalie yang sedang tugas belajar ke luar negeri.
Perbincangan perihal mantan vokalis grup band Nidji itu bukan karena jabatan barunya di partai. Namun, sesaat setelah menjadi plt ketua umum, Giring mantap mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden 2024 yang diusung PSI.
Secara cepat foto-foto baliho Giring sebagai capres tersebar luas di media sosial. Baliho ukuran besar di pinggir jalan di sejumlah kota besar itu memuat foto Giring menggunakan kemeja putih lengkap dengan kopiah hitam bersanding dengan tulisan huruf kapital ”Giring untuk Presiden 2024”.
Bahkan, tagar #Giring sempat menjadi topik terhangat di jagat Twitter Indonesia. Dalam unggahan foto dan komentarnya, banyak warganet yang terkejut, mendukung dan menyangsikan pencapresan Giring itu.
Beragam reaksi miring atas langkah politiknya itu ditanggapi bijak oleh Giring. Baginya, pencalonan sebagai presiden merupakan tanggung jawabnya sebagai politisi dan tak lepas dari agenda PSI untuk mewujudkan tahun 2024 sebagai tahun anak muda.
Dalam sebuah diskusi virtual pada Senin (24/8/2020), secara langsung Giring menyampaikan kemantapannya untuk mencalonkan diri sebagai orang nomor satu Indonesia. Berbekal dukungan keluarga dan etos kerja, ia yakin bisa melewati setiap tantangan dalam pencalonannya tersebut.
Lebih lanjut, Giring menyatakan, separuh lebih dari pemilih pada pemilu yang akan datang merupakan anak muda. Ia juga menyatakan, ruang-ruang politik di 2024 harus diisi oleh anak muda Indonesia yang mengerti tantangan global.
Sebagai upaya politik, terlebih merupakan bagian dari sistem partai politik, langkah yang diambil Giring tentulah sah-sah saja. Meskipun secara momentum, pendeklarasian sebagai calon presiden memang masih terlampau jauh dari waktu pemilihan presiden.
Namun, langkah pencapresan yang dilakukan Giring barangkali tak bisa dianggap sebagai angin lalu. Meskipun keinginannya itu banyak dinilai jauh panggang dari api, secara nyata agenda PSI dan Giring untuk kembali menghidupkan perhatian publik terhadap eksistensi PSI bisa dibilang berhasil.
Momentum
Melesunya sorotan masyarakat pada isu-isu politik, kalah perhatian oleh persoalan besar pandemi Covid-19, justru sedang dimanfaatkan oleh PSI untuk mendapat perhatian besar khalayak. Target terbesar PSI tentulah tidak hanya untuk melakukan sosialisasi kepada publik bahwa jabatan plt ketua umum baru telah diisi oleh Giring.
Barangkali bukan pula untuk dapat berhasil mengusung Giring sebagai capres dalam Pemilu 2024. Namun, yang pasti, modal popularitas Giring memang terbukti telah mampu menjadi magnet politik. Pengenalannya sebagai plt ketua umum baru partai, lengkap dengan pendeklarasian untuk maju sebagai capres, menjadi kombinasi manuver politik dari PSI yang begitu apik untuk menarik perhatian publik.
Langkah besar PSI dalam mengusung Giring sebagai calon presiden juga memberikan ruang besar untuk menyita perhatian anak muda. Apalagi, partai ini sedari awal telah mencitrakan diri dengan gaya berpolitik kekinian khas kaum milenial.
Giring memiliki modal besar untuk menyedot dukungan dari generasi milenial. Selain berkecimpung dalam dunia kreatif, pria kelahiran 37 tahun silam ini juga dikenal aktif menggeluti dunia olahraga digital (e-sport).
Para gamers yang mayoritas anak muda lebih mengenal Giring sebagai Presiden Indonesia Esports Premier League (IESPL). Pada 2019 lalu, ia secara khusus diminta Presiden Joko Widodo untuk membuat gelaran perlombaan Piala Presiden Esports 2020.
PSI memang sedang memainkan strategi politiknya dengan sangat apik. Target sasarannya adalah para pemilih milenial.
Sebagai partai baru dan belum mendulang suara tinggi dalam Pemilu 2019, hanya memperoleh 1,89 persen suara, keberhasilan mengantarkan kadernya sebagai calon presiden tentulah menjadi kerja yang sangat berat.
Survei politik terbaru bulan Agustus 2020 yang dilakukan oleh Indonesia Elections and Strategic (Index) Research, meskipun tak jauh beranjak, elektabilitas PSI naik menjadi 4,7 persen. Beberapa lembaga survei lain, seperti Y-Publica dan Center for Political Communication Studies, juga mencatat kenaikan elektabilitas partai, tetapi masih dalam rentang yang tak jauh dari 4 persen.
Buah manis dari langkah besar partai ini sebetulnya bukanlah untuk keberhasilan mengusung calon presiden. Menaikkan elektabilitas partai hingga dapat memenuhi target perolehan ambang batas parlemen sepertinya akan jauh lebih penting bagi masa depan partai.
”Marketing” politik
Cara PSI mengusung capres dari kalangan anak muda dengan menggunakan sosok Giring setidaknya telah mengantarkan PSI menjadi bahan perbincangan publik secara masif. Tujuannya tentulah agar semakin banyak orang yang mengenal PSI dan mendulang simpati elektoral.
Segala bentuk manuver politik yang dilakukan PSI tersebut adalah upaya untuk terus membangun citra dan keterpilihan oleh masyarakat. Dalam politik, cara-cara itu merupakan bagian dari strategi marketing politik. Seorang ilmuan Niffenneger pada 1898 mengenalkan ”model marketing politik 4P” yang terdiri dari product, promotion, price, dan place.
Sekilas, elemen marketing ini tak jauh berbeda dengan dunia pemasaran produk barang atau jasa. Namun, masing-masing memiliki pendefinisiannya sendiri. Product menjadi obyek yang dijual. Dalam hal ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu partai, rekam jejak kandidat, dan karakter kandidat.
Giring merupakan sosok populer yang dikenal sebagai anak muda kreatif. Karakter ini tentulah begitu selaras dengan orientasi PSI. Keduanya sebagai produk politik menjadi hal yang saling menguatkan.
Giring diuntungkan dengan kian dilejitkan kiprahnya sebagai politisi muda. PSI juga akan mendulang kepopularitasan seiring banyaknya khayalak yang mengenal Giring sebagai figur publik.
Sementara promotion terkait dengan segala hal yang diupayakan untuk ”menjual” produk politik. Proses ini biasanya juga melekat dengan penyusunan jargon, kerja sama media, dan model kampanye politik yang akan diterapkan.
Model pemasangan baliho dengan memampang wajah Giring dan deklarasi sebagai presiden sukses berbuntut pada viralnya konten iklan tersebut di media sosial. Penyampaian konten politik di media sosial yang cenderung negatif bahkan juga dapat dihitung sebagai mendompleng popularitas secara gratis. Terlebih generasi milenial sebagai target politik merupakan pengguna aktif media sosial.
Price atau harga dalam konteks politik berkaitan dengan modal ekonomi hingga citra psikologis produk politik. Melekatkan citra anak muda yang positif dan terus membangkitkan peran besar kaum milenial untuk berkontribusi adalah bagian dari upaya membangun citra psikologis.
Sementara place merupakan tempat yang pas untuk dapat memaksimalkan perolehan suara pemilih. Pemasangan baliho yang berujung pada viralnya konten promosi di media sosial tentu akan sangat cepat jika dilakukan di kota-kota besar dengan jumlah pengguna gawai dan media sosial lebih besar. PSI tentu membaca hal itu, di luar dari pertimbangan suara elektoral partai ini yang memang cukup besar di kota-kota besar Pulau Jawa dan beberapa kota di provinsi lain.
Terlepas dari segala polemiknya, agenda besar pendeklarasian Giring sebagai calon presiden sukses menggebrak kelesuan politik dan menuai perhatian publik. Ruang demokrasi memang terbuka begitu luas untuk segala bentuk ekspresi politik, selagi dilakukan dengan bertanggung jawab dan dalam koridor aturan yang berlaku. (LITBANG KOMPAS)