Pendidikan Vokasi Mengubah Ketahanan Pangan
Meningkatnya peminat pendidikan pertanian yang kompeten baik sebagai menjadi kabar gembira bagi upaya pembaruan SDM pertanian.
Ketahanan pangan nasional memerlukan sumber daya manusia muda. Tak hanya muda, ia juga harus kompeten, inovatif, dan kreatif sehingga bisa membuat Indonesia memiliki ketahanan pangan. Pendidikan vokasi akan menjawab tuntutan tersebut.
Ketahanan pangan menjadi salah satu fokus perhatian ketika pandemi Covid-19 berdampak serius pada sektor pertanian sebagai penyedia pangan. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengingatkan kemungkinan terjadinya krisis pangan yang melanda dunia akibat pandemi.
Jika krisis pangan terjadi, ketahanan pangan yang ditandai dengan ketersediaan akses terhadap sumber makanan untuk memenuhi kebutuhan dasar, rentan menghadapi masalah. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) terus mengupayakan ketercukupan pangan bagi 267 juta penduduk Indonesia.
Di sisi lain, Kementan mencatat terjadi penurunan rasio ketersediaan pangan terhadap kebutuhan pangan nasional dalam empat tahun terakhir. Kini, pandemi turut memengaruhi produksi, distribusi, dan impor pangan.
Pada tataran internasional, Indeks Ketahanan Pangan Global (GFSI) Indonesia sebenarnya mengalami perbaikan sepanjang 2015-2019. Namun, perhitungan indeks masih menyertakan komponen impor.
Peningkatan itu tak mencerminkan kondisi ketahanan pangan secara mandiri. Di tingkat ASEAN, mengacu pada data The Economist Intelligence Unit Desember 2019, posisi Indonesia dengan poin 62,6 masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Melihat faktanya, produksi dan produktivitas pertanian nasional memerlukan daya dorong besar. Peta ketahanan pangan yang tak lagi semu perlu dijawab dengan kondisi nyata bahwa pangan bisa dicukupi secara mandiri.
Regenerasi petani
Upaya mendongkrak produksi dan produktivitas pangan dalam negeri salah satunya dilakukan lewat peningkatan kuantitas dan kualitas, baik teknologi maupun SDM pertanian. Peningkatan mutu sumber daya manusia yang berkomitmen kuat membangun sektor pertanian sudah sangat mendesak.
Namun, sampai saat ini, SDM pertanian di Indonesia masih menghadapi isu yang sama, yaitu fenomena penuaan petani. Potret SDM pertanian masih didominasi pekerja usia tua, sementara petani muda terus berkurang.
Baca juga: ”Food Estate”, Pertanian Kecil dan Ketahanan Nasional
Baca juga: Matinya Kedaulatan Petani dan Pangan
Fenomena penuaan petani muncul konsisten dari periode ke periode. Data Sensus Pertanian 2013 menunjukkan sebanyak 60 persen petani berusia di atas 40 tahun, sedangkan yang berusia di bawah 39 tahun atau golongan petani milenial sebanyak 40 persen.
Berdasarkan data Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018, sebanyak 64 persen komposisi petani berusia di atas 45 tahun. Adapun petani muda berusia kurang dari 34 tahun hanya 12 persen dari total 27,7 juta petani. Secara kuantitas, tenaga kerja sektor pertanian juga mengalami tren yang menurun dari 2015 hingga 2019.
Selain itu, tingkat pendidikan SDM pertanian di Indonesia terbilang rendah. Menurut catatan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), 74 persen petani Indonesia berpendidikan akhir SD atau tak tamat SD. Sebanyak 12 persen lulusan SMP, sementara lulusan SMA dan pendidikan tinggi lebih sedikit lagi.
Peran pendidikan vokasi
Melihat peluang yang ada, generasi muda ditantang untuk mampu menjadi wirausaha di bidang pertanian dan menghilangkan stigma buruk terhadap profesi petani. Strategi yang dilakukan antara lain meningkatkan peran pendidikan vokasi pertanian dalam mencetak petani-petani milenial yang profesional, berdaya saing, dan berjiwa wirausaha.
Pendidikan vokasi pertanian, baik berupa Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian Pembangunan (SMK-PP) maupun Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan), menjadi ”kawah candradimuka” bagi kelahiran petani-petani milenial. Diharapkan, 60 persen di antara menghasilkan alumni yang mampu menjadi petani mandiri dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri maupun orang lain (qualified job creator).
Generasi muda ditantang untuk mampu menjadi wirausaha di bidang pertanian dan menghilangkan stigma buruk terhadap profesi petani.
Sebanyak 40 persen lagi ditargetkan menghasilkan lulusan yang akan langsung bekerja di Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) pertanian (qualified job seeker). Karena itu, kompetensi alumni pendidikan vokasi harus sesuai dan selaras (link and match) dengan yang dibutuhkan DUDI sektor pertanian.
Menjawab kebutuhan tersebut, Presiden Joko Widodo melalui Instruksi Presiden Nomor 9/2016 melakukan revitalisasi SMK dalam rangka peningkatan kualitas dan daya saing SDM SMK sebagai salah satu ujung tombak pertanian. Tujuannya, benar-benar tercipta kesesuaian dan keselarasan sekolah dengan DUDI. Tingkat pengangguran pun dapat dikurangi.
Hingga saat ini, peran SMK-PP dalam mencerdaskan generasi muda pertanian cukup signifikan. Rata-rata tiap tahun sebanyak 18.000 siswa menempuh pendidikan di SMK-PP dan 7.000 orang lulus.
Pendidikan pertanian juga semakin diminati. Data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menunjukkan, angka pendaftar Polbangtan meningkat menjadi 7.097 orang pada 2017 dari 1.908 orang tahun sebelumnya. Lonjakan signifikan terjadi pada 2018, yakni menjadi 13.111 pendaftar. Dibandingkan dengan tahun 2013, peminat pendidikan pertanian ini meningkat lebih dari 12 kali lipat.
Peran petani milenial
Peningkatan jumlah peminat pendidikan pertanian memerlukan respons berupa kerja sama atau sinergi yang baik dari pemangku kepentingan. Salah satu contoh sinergi yang baik terjadi antara SMK Negeri 5 Jember, Politeknik Negeri Jember, dan industri PT Bintang Asia. Sinergi berupa program SMK 4 Tahun (SMK fast track).
Dalam sinergi itu, industri bekerja sama dalam penyusunan kurikulum, guru/dosen industri, magang, hingga penyaluran lulusan. Lulusan akan mendapatkan ijazah SMK, Diploma 2, dan sertifikat kompentensi dari dan diakui industri.
Setelah itu, diharapkan lahir petani-petani milenial yang berperan menciptakan pertanian cerdas (smart agriculture), yang memanfaatkan riset dan teknologi terkini untuk meningkatkan produktivitas serta kualitas hasil pertanian.
Peran lain yang bisa dilakukan kaum muda meliputi pengembangan usaha rintisan bidang pertanian yang menjadi perantara pasar bagi petani. Melalui teknologi dan kolaborasi marketplace, lulusan SMK dapat mempersingkat rantai distribusi pangan untuk membantu petani mendapatkan harga lebih baik. Mereka juga bisa menjadi pendamping petani untuk mengembangkan kapasitas usaha dan memperkuat kelembagaan.
Jika semakin banyak orang muda terjun di bidang pertanian dari hulu hingga hilir, semakin dekat pula petani dengan konsumen. Meningkatnya peminat pendidikan pertanian yang kompeten, baik sebagai job creator maupun job seeker, menjadi kabar gembira bagi upaya pembaruan SDM pertanian.
(LITBANG KOMPAS)