“Digital Renaissance” dan Sisi Cerah Disrupsi Digital
Kehadiran teknologi digital tidak selalu menjadi ancaman pada bisnis arus utama. Joel Waldfogel menunjukkan sisi cerah iklim digital yang lebih demokratis dalam hal akses dan membuka peluang bisnis bagi banyak orang.
Perkembangan teknologi komunikasi dan internet mengubah tatanan dunia, khususnya dalam hal memproduksi serta mendapatkan informasi. Teknologi digital membuat produk budaya populer seperti film, musik, buku, dan informasi berita dapat diakses dengan cara yang mudah.
Dari kacamata media arus utama, kondisi ini dipandang sebagai sebuah gangguan, terutama jika melihat pada pendapatan bisnis dan tingkat penggunaan oleh publik. Media digital saat ini sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat modern karena memiliki kelebihan dibanding media arus utama.
Internet melakoni peran sebagai kanal distribusi konten atau loper digital menembus ruang dan waktu. Immediacy atau kesegeraan merupakan sifat natural berkirim pesan atau konten dalam iklim digital. Perubahan yang dibawa oleh teknologi digital sangat signifikan, sampai-sampai muncul istilah “disrupsi” untuk menyebut perubahan yang berlangsung secara tak terbendung ini.
Namun, kehadiran teknologi digital tidak selalu dipandang sebagai sebuah gangguan. Joel Waldfogel memperlihatkan sudut pandang lain dalam melihat fenomena disrupsi digital. Dalam bukunya yang berjudul “Digital Renaissance: What Data and Economics Tell Us about the Future of Popular Culture” ia menunjukkan nilai-nilai positif sekaligus perspektif optimis dalam menghadapi terpaan teknologi digital.
Optimisme Joel pertama-tama ia tuangkan dalam judul buku ini. Joel memilih kata “renaissance” atau pencerahan. Baginya, perkembangan digital merupakan bagian dari kemajuan teknologi yang pasti memiliki sisi cerah bagi peradaban dunia modern.
Buku yang berisi 320 halaman ini merupakan hasil penelitian Joel tentang pasar produk budaya populer di era digital. Latar belakang penulis sebagai profesor bidang ekonomi dari Universitas Minnesota, Amerika Serikat membuat buku ini kaya dengan data-data ekonomi digital. Penulis menghimpun berbagai data pasar produk budaya populer mulai dari penjualan album musik, pendapatan film Hollywood dan Bollywood, serta pemasukan penerbit buku.
Untuk melengkapi riset yang dilakukan, data dari media digital juga dikumpulkan. Ragam data yang didapat antara lain penjualan musik, buku, video yang dijajakan secara digital, serta jumlah pelanggan layanan streaming musik dan video. Data yang terkumpul dijadikan bahan penelitian untuk menilik masa depan perekonomian pasar produk budaya populer.
Kesetaraan
Salah satu temuan besar dari penelitian ini adalah keterkaitan antara perkembangan teknologi digital dengan kesetaraan dan akses oleh masyarakat. Dengan bahasa yang lugas, Joel menegaskan bahwa keberadaan media digital membuat pasar produk budaya populer lebih demokratis.
Disebut demokratis karena publikasi produk melalui teknologi digital dan internet telah memotong banyak tahap produksi dan biaya. Di antaranya adalah biaya produksi, distribusi, dan promosi yang selama ini membuat ongkos tinggi penciptaan produk budaya populer dapat dipangkas. Ringkasnya jalur produksi tersebut turut membuat ringkas akses publik dalam mendapatkan produk budaya populer lewat media digital.
Pijakan awal riset ini didasarkan pada dua pertanyaan mendasar yang menjadi tujuan penelitian. Pertama, apakah perubahan teknologi telah mendemokratisasi industri kreatif dan membuka akses lebih luas terhadap audiens? Sesudah tahapan itu, fenomena lanjutan yang diteliti melihat lebih jauh apakah terbukanya akses publik akan memperburuk atau justru memperkaya produk budaya populer di masyarakat?
Kajian yang dilakukan menyoroti aspek ekonomi media digital yakni aktivitas produksi dan konsumsi. Termasuk dari segi kuantitas serta kualitas produk digital. Hal ini penting dilakukan mengingat muncul anggapan bahwa semakin hari, iklim digital menimbulkan produk berkualitas rendah. Minimnya kualitas produk ini terlihat dari maraknya berita-berita bohong, serta musik, film, dan karya tulis yang dibuat ala kadarnya.
Tidak dimungkiri, ketika setiap orang bisa memproduksi karya media digital, ada risiko yang timbul yaitu segi kualitas produk. Namun, fenomena ini dapat disaring oleh minat pasar atau khalayak. Joel menunjukkan, sekalipun memiliki kemudahan dalam mengakses dan diberikan cuma-cuma, namun konsumen tetap mencari produk berkualitas.
Kontribusi ekonomi
Selain aspek kesetaraan akses publik, buku ini juga memperlihatkan sisi positif kehadiran produk budaya populer di era media digital. Aspek ini terlihat dari kontribusi ekonomi produk budaya populer. Joel menyajikan data bahwa sebanyak 20 persen ekonomi dunia ditopang oleh produk budaya populer. Lebih luas lagi produk ini dapat disebut dengan istilah produk hiburan atau enterain product.
Produk budaya populer juga menyumbang lima persen lapangan pekerjaan bagi penduduk dunia. Menurut Bank Dunia, pada 2019 terdapat 3,5 miliar tenaga kerja di seluruh dunia, maka lapangan kerja produk budaya populer menghidupi sekitar 175 juta orang pekerja.
Salah satu denyut ekonomi produk budaya populer yang dianalisis adalah dunia perfilman. Nilai ekonominya terbilang fantastis. Misalnya biaya produksi film Star Wars Episode VII : The Force Awakens (2015) menghabiskan dana 306 juta dollar AS.
Nilai produksi ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan pendapatan dari penjualan tiket bioskop. Film Star Wars Episode VII meraup penjualan tiket sedunia senilai 2,1 miliar dollar AS. Artinya, nilai pendapatan hampir 7 kali nilai produksinya.
Selain film, uraian juga membahas produk budaya lainnya yakni musik, tayangan televisi, buku, dan fotografi. Penulis mengulas beragam bentuk produk populer yang didigitalisasi dalam enam bab di bagian 1 buku ini.
Secara khusus, digitalisasi menjadi salah satu pokok bahasan dalam buku ini. Secara rinci, buku ini menjelaskan perubahan apa saja yang terjadi pada fase digital. Pada hakikatnya, cara produksi film, buku, musik, dan lain sebagainya tidak mengalami banyak perubahan. Produksi film tetap membutuhkan penulis naskah, aktor, dan kru film. Musik juga demikian tetap membutuhkan studio rekam beserta operatornya.
Pergeseran yang drastis ada pada biaya produksi, pola distribusi dan konsumsinya. Hal ini berakibat pada perubahan kegiatan ekonomi di bidang produk budaya populer. Pada poin ini penulis mengelaborasi secara mendalam temuan-temuannya.
Salah satu temuannya adalah dalam dunia digital, nilai ekonomi produk budaya populer mengalami kemerosotan. Singkat kata, walau penuh gemerlap, margin keuntungan media digital relatif sedikit dibandingkan dengan produk media konvensional.
Sebagai contoh, CD album Led Zeppelin Mothership yang berisi 24 lagu dijual di Amazon dengan harga 14 dollar AS atau setara Rp 207.000. Sedangkan, biaya berlangganan Spotify dengan paket keluarga per bulan Rp 86.900 dapat digunakan oleh 6 akun sekaligus. Artinya per orang membayar Rp 14.000 saja.
Bandingkan dengan album fisik yang hanya berisi belasan atau puluhan lagu, konsumen yang berlangganan Spotify dapat mendengarkan lagu apa pun tanpa batas. Dari segi harga dan kuantitas produk yang dapat dinikmati terpaut sangat jauh.
Pada periode 2012-2017, nilai pengunduhan konten berbayar merosot dari 3,3 miliar dollar AS menjadi hanya 1,3 miliar dollar AS dalam kurun 5 tahun. Model bisnis unduh berbayar sudah tidak menarik bagi konsumen.
Dampak digitalisasi
Sorotan lain adalah metode berjualan produk budaya populer di era digital beserta masalah yang dihadapi. Uraian ini dibahas pada bagian 2 buku ini, khususnya dalam bab 8 hingga 11.
Ragam model pemasaran di era digital di antaranya Digital Farm System atau dalam satu platform tersedia berbagai jenis produk. Penerapan penjualannya dengan cara “all you can eat” dengan hanya berlangganan satu akun dalam satu platform.
Penjualan produk “all you can eat” menarik bagi khalayak di era digital saat ini. Pengguna dapat memilih produk yang disukai tanpa batas. Hal yang sama diterapkan dalam layanan VOD Netflix dan sejenisnya.
Saat ini, model bisnis digital “all you can eat” dapat ditemui hampir di segala bentuk produk budaya populer. Di Indonesia, layanan ini terlihat seperti yang dilakukan Gramedia Digital yang menawarkan paket premium seharga Rp 89.000 per bulan. Pelanggan mendapatkan akses seluruh buku yang ada di Gramedia Digital melalui gawai secara daring.
Demikian pula dengan layanan langganan Kompas.id dengan harga Rp 98.000 per bulan yang memberikan akses bagi pelanggan untuk mendapatkan koran cetak, epaper, dan seluruh konten digital.
Namun, di luar kemudahan yang ditawarkan, teknologi digital juga dituding menyebabkan berkurangnya nilai ekonomi, lapangan pekerjaan, serta masalah lainnya. Aspek ini juga diulas Joel yang mencontohkan beberapa dampak digitalisasi terhadap bisnis konvensional.
Misalnya, produksi film yang dilakukan media konvensional dapat mempekerjakan kurir film dan awak bioskop. Namun dengan adanya VOD (video on demand) semacam Netflix, Amazon Prime, iTunes, dan lain sebagainya sudah tidak memerlukan para perantara lagi. Lapangan pekerjaan terpangkas akibat digitalisasi.
Digitalisasi juga menimbulkan persoalan lainnya, yakni pembajakan konten digital, perlindungan terhadap hak intelektual, serta ancaman munculnya kurator konten baru berbasis teknologi. Mesin pencarian didominasi oleh Google. Media sosial dirajai oleh Facebook dan beragam platform yang dimiliki olehnya juga termasuk Instagram. Hal ini dikhawatirkan menyebabkan konsumen dan kreator terkekang dalam monopoli bisnis baru.
Namun Joel menegaskan dampak positif teknologi digital lebih banyak didapat dibandingkan sisi kemunduran. Joel menceritakan potensi bisnis digital dan peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Sejak munculnya media digital, konten atau produk budaya populer dapat dibuat oleh siapa saja.
Sisi cerah
Teknologi digital membuka peluang bisnis bagi lebih banyak orang. Boleh dibilang penjualan film, musik, dan buku dari rumah produksi besar mengalami penurunan. Namun, dengan iklim digital seperti ini, rumah produksi independen atau indie memiliki peluang ikut dalam persaingan pasar produk budaya populer. Artinya, lebih banyak orang yang menikmati kue bisnis digital.
Dari pihak masyarakat, kembali mereka diuntungkan dari munculnya media digital. Setelah demokratisasi dalam hal akses produk, masyarakat juga mendapat keberuntungan dari peluang bisnis yang setara.
Sebanyak 20 persen ekonomi dunia ditopang oleh produk budaya populer.
Dalam pasar buku misalnya, terdapat beberapa platform penerbit digital yakni Kindle Direct Publishing (dari Amazon), dan NookPress milik Barnes&Noble, mampu meningkatkan jumlah buku yang dipublikasi, khususnya dalam bentuk digital. Dengan adanya kanal ini, terjadi peningkatan terbitan buku mencapai setengah juta judul buku pada tahun 2013.
Hal serupa terjadi juga pada produksi film, musik, serta acara televisi biasanya berbentuk serial. Salah satu penyebab melimpahnya publikasi karya karena pihak yang selama ini menjalankan fungsi gatekeeper atau kurator karya sudah tidak memegang peran sentral.
Musisi yang merintis karir tidak perlu lagi bersusah payah melamar pada label besar. Mereka memiliki panggung melalui kanal-kanal digital misalnya YouTube dan Spotify. Musisi bisa memperkenalkan karyanya kepada pendengar secara lebih leluasa. Perlahan mereka mendapat pendengar yang bisa terakumulasi menjadi penggemar.
Penulis buku, novel, atau kumpulan puisi dapat leluasa membuat publikasi dalam bentuk digital. Mereka tidak melulu harus merebut hati penerbit-penerbit besar. Pembuat film atau serial dapat menawarkan karyanya ke pihak penyelenggara video on demand.
Perusahaan seperti Netflix, Amazon Prime, iTunes dengan senang hati menerima karena mereka memiliki kebutuhan untuk menyediakan sebanyak mungkin variasi konten bagi pelanggannya. Media digital menjadi model bisnis yang membuka peluang bagi banyak orang untuk membuat karya dan menjadi etalase karya.
Kehadiran media digital memberikan pencerahan pada dinamika penciptaan produk budaya populer. Dengan membaca buku Digital Renaissance ini, kita diajak untuk tidak melulu melihat media digital sebagai Kraken, makhluk mitologi Skandinavia yang melumat kapal-kapal di laut utara.
Namun, belum semua ragam produk budaya populer diulas tuntas dalam buku ini. Menurut UNESCO, terdapat 11 ragam produk budaya populer, yakni iklan, arsitektur, buku, gim, musik, film, koran dan majalah, pertujukan seni, radio, televisi, dan seni visual. Dalam buku ini baru dibahas 5 dari 11 ragam produk yang ada.
Jika dibahas lebih lanjut dengan menguraikan seluruh komponen budaya digital, lanskap digital budaya populer dapat terlihat secara utuh. Dengan demikian bukan hanya pelaku bisnis film, musik, dan buku saja yang segera dapat merumuskan strategi adaptasi dengan iklim digital. (LITBANG KOMPAS)