75 Tahun DPR RI, Tantangan Memangkas Ruang Berjarak
Di usia 75 tahun, DPR RI dihadapkan kepada tantangan yang tak mudah. Tantangan itu adalah memperbaiki citranya dan mendekatkan diri kepada rakyat.
Oleh
Dedy Afrianto
·5 menit baca
Memasuki usia yang ke-75 tahun, DPR RI dihadapkan oleh tantangan untuk meningkatkan kepercayaan publik. Ruang senggang yang tercipta dengan masyarakat perlu dipangkas guna mendekatkan telinga parlemen dengan riak suara publik.
Masih terciptanya ruang senggang antara parlemen dan publik terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 24-25 Agustus 2020. Publik merasa DPR RI masih berjarak dengan konstituen dan belum sepenuhnya menjadi lembaga yang mewakili suara rakyat.
Ruang berjarak itu dapat diukur dari dua hal. Pertama adalah frekuensi pertemuan antara anggota DPR dan konstituen di masing-masing daerah. Dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan, anggota DPR berkewajiban untuk menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala. Kunjungan ini dilakukan ketika reses dan hasil pertemuan dengan konstituen dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksi di DPR.
Namun, sebanyak 68 persen responden mengaku daerah mereka belum pernah dikunjungi oleh anggota DPR dalam satu tahun terakhir. Hal ini diungkapkan oleh responden dari segala kalangan, baik dari pekerja formal, informal, maupun generasi dari berbagai kelompok usia.
Banyaknya responden yang belum dikunjungi oleh anggota DPR dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah minimnya informasi kunjungan anggota DPR ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, kunjungan yang terpusat pada beberapa lokasi khusus juga berdampak pada belum tersentuhnya beberapa lapisan masyarakat secara langsung.
Selain frekuensi pertemuan, ruang berjarak antara parlemen dan masyarakat juga tecermin dari penilaian tentang keterwakilan di parlemen. Sebanyak 70,3 persen responden menilai bahwa aspirasi yang dimiliki belum terwakili oleh anggota DPR yang berasal dari masing-masing daerah pemilihan.
Hal ini menggambarkan bahwa masih terdapat ruang yang cukup lebar sebagai pemisah antara masyarakat dan parlemen. Kondisi ini bermuara pada besarnya ketidakpuasan publik (68,2 persen) terhadap kinerja DPR.
Ketidakpuasan publik terhadap kinerja parlemen telah beberapa kali terekam dalam jajak pendapat. Pada Agustus 2018, misalnya, sebanyak 59,9 persen responden menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja DPR dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakpuasan juga terekam dalam fungsi DPR lainnya, seperti membuat undang-undang (56,2 persen) dan membuat anggaran belanja negara (59,1 persen).
Derajat ketidakpuasan yang lebih dalam ditunjukkan publik pada pertengahan tahun 2015. Saat itu, sebanyak 85,6 persen responden mengaku tidak puas terhadap kinerja DPR. Kondisi ini menunjukkan bahwa apriori negatif telah muncul di tengah-tengah masyarakat terhadap parlemen dalam kurun yang cukup lama.
Di balik tingginya ketidakpuasan dan terciptanya ruang berjarak antara DPR dan masyarakat saat ini, harapan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap parlemen terbuka lebar. Dalam lima tahun terakhir, secara perlahan citra DPR mulai mengalami kenaikan meskipun tidak terlalu signifikan.
Hal ini menggambarkan bahwa, secara bertahap, sejak 2015 hingga saat ini, terdapat perbaikan pola komunikasi kinerja yang dilakukan anggota DPR di tengah-tengah masyarakat.
Pada Juni 2015, hanya 12,7 persen responden yang menilai citra baik DPR. Ini berbanding lurus dengan tingginya ketidakpuasan publik pada saat itu terhadap kinerja parlemen.
Citra DPR di mata publik mulai membaik pada November 2015 (17,7 persen) dan terus mengalami kenaikan hingga menyentuh angka 41,8 persen pada Agustus 2019. Pada kurun yang sama, DPR mulai melakukan publikasi kegiatan dan kinerja secara masif dengan memanfaatkan berbagai akun media sosial.
Namun, daya ungkit perbaikan citra DPR di tengah-tengah masyarakat tidak bertahan lama. Pada Agustus 2020, citra lembaga legislatif ini kembali turun cukup jauh hingga mencapai 29,3 persen atau nyaris menyamai penilaian publik pada 2017.
Ada beberapa hal yang dapat mendorong penurunan citra DPR. Dari sisi internal, adanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang menuai banyak penolakan oleh masyarakat, hingga wacana pembagian fasilitas uang muka kendaraan bagi anggota DPR turut membangun citra negatif parlemen di tengah-tengah masyarakat.
Sementara dari sisi eksternal, pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19 juga berpotensi memperlebar ruang komunikasi antara anggota DPR dengan masyarakat di daerah pemilihan. Khususnya bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses informasi secara digital, komunikasi tentu sulit dilakukan oleh anggota DPR dengan konstituen di daerah ketika dilakukannya pembatasan sosial.
Di tengah menurunnya citra DPR, publik memberikan beberapa kriteria yang diharapkan dilakukan oleh anggota DPR untuk meningkatkan kualitas kinerja. Kriteria ini berkaitan dengan tugas dan fungsi DPR seperti yang diatur dalam undang-undang.
Hal pertama yang menurut publik perlu dilakukan oleh anggota DPR adalah mengutamakan aspirasi masyarakat di daerah pemilihan dalam setiap agenda di parlemen. Sebanyak 48,7 persen responden berharap DPR lebih mementingkan aspirasi langsung dari masyarakat dibandingkan dengan pandangan partai politik pada setiap isu.
Selain itu, publik juga berharap agar frekuensi pertemuan dengan konstituen ditingkatkan demi memberi ruang bagi masyarakat untuk berdialog secara langsung dengan para wakil rakyat di Senayan. Harapan ini diungkapkan oleh 28,4 persen responden. Artinya, dalam setiap masa reses, publik berharap masing-masing anggota DPR dapat memanfaatkan periode itu untuk bertemu dengan masyarakat dalam jangkauan yang lebih luas.
Pandangan lainnya juga disuarakan oleh 14,5 persen responden yang berharap agar DPR mengurangi masa reses demi mengoptimalkan pelaksanaan fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasi. Ini menggambarkan bahwa publik mendambakan kinerja yang taktis dan efisien dari parlemen, baik secara kelembagaan maupun yang berkaitan dengan komunikasi langsung dengan masyarakat.
Bagaimanapun, DPR bukanlah lembaga baru. Sejak dilahirkan pada 29 Agustus 1945, lembaga ini telah mengalami transformasi dan memiliki banyak pengalaman dalam menyerap aspirasi masyarakat serta mengawal jalannya roda pemerintahan. Kini, memasuki usia yang ke-75 tahun, tentu menjadi tantangan bagi DPR untuk memangkas jarak dengan masyarakat sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap parlemen. (LITBANG KOMPAS)