Metamorfosis Parlemen di Nusantara
Pembangunan kelembagaan wakil rakyat mengalami dinamika yang tidak mudah. Kini, dalam usia 75 tahun, kehadiran DPR tidak saja menjadi tuntutan demokrasi, tetapi juga tuntutan zaman yang terus bergerak.
Lebih dari satu abad silam, semangat untuk memiliki lembaga perwakilan rakyat telah dimiliki oleh para tokoh bangsa. Semangat itu juga terlihat dalam pembentukan KNIP beberapa hari setelah proklamasi. Dalam perjalanannya, lembaga ini mengalami transformasi yang berliku hingga menjadi DPR yang kini dikenal oleh masyarakat.
Perlunya lembaga perwakilan rakyat dalam ketatanegaraan telah disadari oleh para tokoh bangsa jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada dekade kedua abad ke-20, sejumlah tokoh, seperti Abdul Moeis, Dwidjosewojo, dan beberapa tokoh lain, telah bertolak ke Belanda untuk mengajukan beberapa pemikiran. Salah satunya adalah agar Indonesia memiliki lembaga perwakilan rakyat.
Saat itu, sejumlah daerah memang telah memiliki dewan lokal seiring lahirnya kebijakan politik etis pada awal abad ke-20. Menurut Deliar Noer dan Akbarsyah dalam buku KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-1950 (2005), beberapa Gemeente Raad atau Dewan Kota secara bertahap mulai lahir di sejumlah wilayah, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Manado, dan Medan, sejak tahun 1903 seiring kebijakan desentralisasi dari pemerintah kolonial.
Harapan terbentuknya lembaga perwakilan muncul pada tahun 1916. Dalam Indische Staatsrgeling atau hukum dasar pemerintahan Hindia Belanda turut diatur tentang kekuasaan legislatif. Aturan ini disahkan pada 16 Desember 1916 dan diterapkan oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum dengan membentuk Dewan Rakyat atau Volksraad pada 18 Mei 1918.
Dewan Rakyat memiliki beberapa hak, seperti hak petisi, interpelasi, inisiatif, amandemen, dan hak angket. Namun, pada awal pembentukan, hak ini tidak dapat dijalankan dengan semestinya. Perwakilan dalam Dewan Rakyat lebih banyak berasal dari golongan yang pro terhadap Belanda. Haji Agus Salim bahkan menamai lembaga ini sebagai ”komedi omong”.
Perubahan mendasar mulai dirasakan setelah Belanda memberikan hak otonomi kepada daerah jajahan pada tahun 1922. Pada tahun 1927, proporsi keanggotaan dalam Dewan Rakyat mulai berubah. Orang-orang Indonesia mulai banyak mengisi kursi di Dewan Rakyat. Dari 60 kursi, sebanyak 25 di antaranya diisi oleh tokoh dari Indonesia.
Perubahan ini juga diiringi oleh wewenang dalam bidang legislasi dan anggaran yang dimiliki oleh Dewan Rakyat. Untuk melaksanakan wewenang ini, pada tahun 1927 dibentuk sebuah lembaga delegasi atau College van Gedelegeerden. Sayangnya, wewenang ini tidak sepenuhnya berjalan mulus karena Gubernur Jenderal Hindia Belanda memiliki hak veto untuk menolak naskah undang-undang yang diajukan.
Fungsi Dewan Rakyat sebagai parlemen bagi orang-orang Indonesia mulai terlihat pada dekade 1930-an. Beberapa hak yang dimiliki oleh Dewan Rakyat dimanfaatkan untuk kepentingan orang-orang Indonesia. Soetardjo Kartohadikoesoemo, misalnya, pada Juli 1936 mengajukan petisi kepada parlemen dan Ratu Belanda. Salah satu isi petisi yang diajukan adalah meminta pembentukan Dewan Kerajaan yang beranggotakan wakil Indonesia dan Belanda.
Pada tahun 1939, suara lantang juga disampaikan oleh Muhammad Husni Thamrin. Bersama rekan-rekannya, ia mengajukan suatu mosi terkait pengadaan pendidikan sastra di Indonesia. Mosi ini diterima oleh parlemen dengan perbandingan 29 suara menerima dan 17 suara menolak (Gonggong, 1985).
Gagasan parlemen yang dimaksud kala itu adalah perwakilan yang terdiri atas dua kamar. Kamar pertama menjadi perwakilan dari golongan, sementara kamar kedua adalah perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Selain itu, bangun pemerintahan yang berparlemen juga turut dirumuskan. Ini menunjukkan bahwa gagasan pemisahan wewenang antara lembaga legislatif dan eksekutif telah dilahirkan oleh tokoh bangsa sebelum negara ini merdeka.
Baca juga : Dengarkan Rakyat, Bung!
Periode awal kemerdekaan
Memasuki periode awal kemerdekaan, semangat untuk memiliki lembaga perwakilan turut dirumuskan oleh pendiri bangsa dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Dalam aturan itu, sebuah komite nasional ditugasi membantu presiden sebelum MPR, DPR, dan DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dibentuk.
Dalam sidang PPKI yang dimulai 18 Agustus 1945, terdapat beberapa perbedaan pandangan dari para pendiri bangsa dalam pembentukan komite nasional. Sam Ratulangi, tokoh asal Manado, mengusulkan agar komite ini dipilih oleh PPKI dan terdiri atas anggota PPKI. Lembaga ini dipandang oleh Sam Ratulangi sebagai suatu lembaga perwakilan.
Namun, pandangan ini ditolak oleh Otto Iskandardinata yang memandang komite nasional adalah badan pembantu pemerintah. Perdebatan ini kemudian ditengahi oleh Mohammad Hatta yang menilai kedua pandangan dapat dijalankan dalam kondisi berbeda. Menurut Hatta, pandangan Sam Ratulangi dapat dijalankan jika Indonesia tidak dalam kondisi genting.
Perdebatan berujung pada disepakatinya Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Artinya, komite nasional tetap dibentuk untuk membantu pemerintah sebelum dibentuknya lembaga legislatif.
Badan ini resmi dibentuk dan dilantik pada 29 Agustus 1945 dengan nama Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan dipimpin oleh Kasman Singodimedjo. Terdapat beberapa perbedaan catatan tentang jumlah anggota KNIP pada periode awal dilantik. Harian Asia Raya, misalnya, mencatat pelantikan dihadiri oleh 137 orang, sementara sumber lain menyebut 135 orang, 136 orang, hingga 200 orang (Noer & Akbarsyah, 2005).
Pada era kepemimpinan Kasman Singodimedjo, KNIP masih berperan sebagai lembaga yang membantu kinerja presiden. Namun, saat itu mulai terdapat keinginan sejumlah tokoh muda untuk menjadikan lembaga ini sebagai sebuah lembaga legislatif.
Pada 7 Oktober 1945, sebanyak 50 anggota KNIP meminta kepada Presiden Soekarno agar lembaga itu diberikan kewenangan legislatif. Gejolak ini bermuara pada lahirnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada KNIP sebelum terbentuknya DPR dan MPR. Sementara pekerjaan harian komite nasional dijalankan oleh Badan Pekerja (BP KNIP) yang bertanggung jawab kepada KNIP.
Sejak saat itu, Indonesia resmi memiliki lembaga legislatif. Hingga tahun 1950, badan ini telah mengeluarkan enam mosi, dua interpelasi, dan menyetujui 133 rancangan undang-undang.
Baca juga : Damai di Kala Beda, Kisah Perdebatan Para Pendiri Bangsa
Perubahan
Setelah periode revolusi, lembaga legislatif beberapa kali melakukan metamorfosis mengikuti gejolak politik di dalam negeri. Pada tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam bentuk Republik Indonesia Serikat. Mengikuti perubahan ini, dibentuk pula konstitusi RIS yang disahkan pada Januari 1950.
Dalam konstitusi ini diatur tentang tugas senat yang merupakan perwakilan bagi setiap wilayah bagian dari RIS. Setiap daerah diwakili oleh dua orang. Senat bertugas untuk memberikan nasihat kepada pemerintah serta dapat meminta keterangan kepada pemerintah terkait suatu hal jika dirasa perlu.
Namun, eksistensi DPR dan Senat hanya bertahan hingga Agustus 1950. Sebab, pada 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan Indonesia kembali ke dalam konsep negara kesatuan. Dalam kurun waktu enam bulan pemerintahan RIS, DPR berhasil menyelesaikan tujuh rancangan undang-undang, satu interpelasi, dan 16 mosi. Salah satu mosi yang disetujui adalah mosi integral Natsir yang berisi tuntutan agar penyelesaian bangsa dan negara dapat dilakukan secara integral dan tidak terpisah-pisah.
Seusai pembubaran RIS, berdasarkan konstitusi UUDS 1950, senat resmi dihapuskan. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) diangkat sambil menunggu DPR hasil pemilihan umum. Anggota DPRS adalah gabungan dari DPR dan Senat RIS, BP KNIP, dan Dewan Pertimbangan Agung dengan total 236 anggota.
DPRS bertugas hingga Maret 1956. Selama lebih dari lima tahun bekerja, DPRS telah berhasil menyelesaikan pembahasan 167 dari 237 RUU yang diusulkan. DPRS juga menyetujui 21 usul mosi dan 16 interpelasi serta melaksanakan satu kali hak angket.
Sejak Maret 1956, Indonesia resmi memiliki lembaga legislatif berdasarkan hasil Pemilu 1955. Saat itu tidak ada partai yang mendominasi kursi dalam parlemen. Dari 272 kursi, masing-masing diisi oleh Masyumi (60 kursi), PNI (58), NU (47), PKI (32), dan partai lain (75).
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membentuk MPR Sementara (MPRS) setelah mengeluarkan dekrit yang memutuskan konstitusi untuk kembali pada UUD 1945. Anggota MPRS terdiri dari anggota DPR, utusan daerah, dan wakil dari golongan karya atau golongan fungsional.
Desmon Mahesa dalam buku Fungsi-fungsi DPR-RI: Teks, Sejarah, dan Kritik (2020) mencatat, DPR hasil pemilu ini bekerja hingga tahun 1960 dan menyetujui 113 UU dari 145 RUU yang dibahas. Namun, pada Maret 1960, Presiden Soekarno memutuskan untuk membubarkan DPR karena dinilai tidak bekerja atas dasar saling membantu. Sebelumnya, DPR menolak rancangan APBN tahun 1961 yang diajukan oleh pemerintah.
Sebagai pengganti, Presiden Soekarno membentuk DPR Gotong Royong (DPR-GR) yang diangkat dan diberhentikan secara langsung oleh Presiden. Menurut Soekarno, DPR-GR ini bertugas untuk melaksanakan manifesto politik, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera), dan membantu pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.
Selama masa Demokrasi Terpimpin hingga tahun 1965, DPR-GR mampu menyelesaikan 117 UU bersama pemerintah. Namun, peristiwa 30 September 1965 turut berdampak pada parlemen. Pada Oktober 1965, sebanyak 62 orang yang dicurigai berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia dibekukan dari keanggotaan DPR-GR.
Baca juga : Yogyakarta dan Pesan Kemerdekaan Soekarno
Pemilihan umum
Sejak 1966 hingga tahun 1971, DPR-GR versi pemerintahan Soeharto terus bertugas sebagai lembaga legislatif. Anggota DPR-GR saat itu memperoleh hak kekebalan sehingga ucapannya dalam sidang tidak dapat dituntut di depan hukum. Hak ini diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum.
Pada tahun 1971, Indonesia kembali menggelar pemilihan umum untuk kedua kalinya. Sejak saat itu hingga berakhirnya masa pemerintahan Soeharto, lembaga legislatif lebih stabil dibandingkan periode kepemimpinan Soekarno. Namun, dominasi kuasa dalam parlemen berada di tangan Golongan Karya. Jumlah partai yang duduk dalam parlemen juga terbatas menjadi tiga partai, yakni Golkar, PDI, dan PPP, seiring fusi yang dilakukan pada tahun 1973.
Pada era Reformasi, partai yang berada dalam parlemen semakin beragam seiring lahirnya sejumlah partai baru. Selain itu, juga dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada tahun 2004 sebagai amanat amandemen UUD 1945. DPD dibentuk guna mewakili aspirasi daerah pada tataran kebijakan di tingkat pemerintah pusat.
Jika merunut berdasarkan jejak pembentukan KNIP, parlemen di Indonesia telah berusia 75 tahun pada 29 Agustus 2020. Jalan berliku yang dilalui oleh parlemen dalam mengawal pemerintahan tentu menjadi pengalaman berharga yang semestinya dapat membuat lembaga ini semakin dewasa dalam menjalankan tugas sebagai perwakilan rakyat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?