Anak Muda Indonesia Pesimistis dengan Perkembangan Politik dan Penegakan Hukum
Sebagian besar generasi muda Indonesia optimistis terhadap kemajuan bangsa di masa depan. Namun, anak muda pesimistis terhadap penegakan hukum serta pemberantasan korupsi.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar generasi muda optimistis akan masa depan Indonesia di beberapa sektor, salah satunya ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Adapun generasi muda pesimistis di sektor politik dan hukum yang mencakup pemberantasan korupsi serta penegakan hukum yang adil dan tegas.
Survei diadakan Good News From Indonesia (GNFI) bersama Datamixr dan Fieldwork Indonesia pada Juli-Agustus 2020. Survei melibatkan 300 responden berusia 18-40 tahun di lima kota, yaitu Jakarta, Makassar, Medan, Surabaya, dan Yogyakarta. Survei ini mengukur indeks optimisme generasi muda terhadap masa depan Indonesia.
Optimisme dikelompokkan dalam lima sektor. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan jadi sektor dengan skor optimisme rata-rata terbesar, yaitu 68 persen. Sektor lainnya ialah infrastruktur dasar (50 persen), ekonomi dan kesejahteraan (50 persen), kehidupan sosial (38 persen), serta politik dan hukum (21 persen). Semakin besar angkanya, semakin besar pula tingkat optimisme responden.
CEO GNFI Wahyu Aji pada pertemuan virtual, Rabu (26/8/2020), mengatakan, optimisme terbesar tampak di subsektor pariwisata dengan skor 78 persen. Optimisme selanjutnya ada di subsektor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (76 persen), kemajuan dunia olahraga (66 persen), kemudahan berwirausaha (63 persen), peningkatan kualitas transportasi umum (62 persen), peningkatan kualitas program kesehatan dan tenaga medis (62 persen), serta kemajuan kualitas kurikulum, guru, pendidikan, sarana dan prasarana sekolah (60 persen).
”Teknologi memengaruhi optimisme tersebut. Banyak anak muda melihat destinasi wisata yang bagus di media sosial. Teknologi juga memengaruhi harapan anak muda terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, terlebih kini segala hal dilakukan dengan bantuan teknologi,” ujar Wahyu.
Sebelumnya, GNFI melakukan survei serupa pada 2018 terhadap 1.200 responden berusia 18-30 tahun di 12 kota. Pada 2018, skor optimisme di bidang pendidikan 59 persen dan kebudayaan 52 persen, atau tergolong lemah. Kini, skornya meningkat jadi 68 persen.
Adapun optimisme responden terhadap masa depan bidang politik dan hukum tetap rendah. Pada 2018, skornya di bidang politik 30 persen dan hukum 39 persen. Tahun ini skornya adalah 21 persen.
”Pada survei 2018, kami juga mendapati generasi muda pesimistis di bidang politik dan hukum. Pesimisme dipengaruhi oleh pemberitaan soal korupsi. Responden pun masih menemui praktik suap dan pungli (pungutan liar) di daerahnya sehingga pesimistis,” kata Wahyu Aji.
Anggota Komisi I DPR, Farah Putri Nahlia, mengapresiasi hasil survei ini. Menurut dia, kolaborasi antara pemerintah dan seluruh masyarakat diperlukan untuk meningkatkan optimisme anak muda di sektor politik dan hukum, termasuk dalam hal pemberantasan korupsi.
”Ini akan jadi masukan penting buat kami di DPR. Kami juga akan meneruskan hal ini ke instansi terkait,” ucapnya.
Pekerjaan rumah
Chief Economist Danareksa Research Institute Moekti Prasetiani Soejachmoen mengingatkan agar tidak terlena dengan optimisme generasi muda. Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan, seperti memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Hal ini terkait optimisme untuk berwirausaha yang mencapai skor 63 persen. Padahal, menurut Global Enterprenurship Monitor pada 2019, Indonesia masih perlu membenahi tiga hal terkait kewirausahaan. Ketiganya ialah kebijakan pemerintah, program kewirausahaan dari pemerintah, dan pendidikan kewirausahaan.
”Anak muda perlu diajari sifat dasar berwirausaha, seperti jujur, fleksibel, inovatif, bekerja keras, dan pantang menyerah. Mereka juga perlu dibekali cara berpikir kritis, membuat solusi dari masalah, dan cara memimpin,” kata Moekti.
Pendiri Youthlab Indonesia Muhammad Faisal mengingatkan anak muda untuk memiliki optimisme yang obyektif. Artinya, optimisme harus dilandasi dengan literasi dan kemampuan membaca realitas masa kini, misalnya kondisi politik terkini dan dampak pandemi terhadap dunia.
”Dengan ini, anak muda bisa mengukur kondisi dan menentukan langkah yang harus diambil di masa depan. Jadi, optimisme harus selalu berada dalam realitas sehingga tidak delusional,” kata Faisal.
Sementara itu, Pendiri GNFI Akhyari Hananto yakin generasi muda bisa membawa Indonesia ke arah perubahan yang baik. Ia menilai Indonesia sudah punya hal-hal yang dibutuhkan untuk maju, seperti sumber daya manusia dan sumber daya alam yang tersedia.
”Saya percaya bahwa optimisme harus terus dipupuk agar berkelanjutan dan berdampak di kemudian hari. Ini penting karena anak muda yang akan memimpin pembangunan Indonesia pada masa bonus demografi nanti (2030-2045),” kata Akhyari.