Rapor Merah Keberlanjutan Pangan
Kondisi keberlanjutan pangan di Indonesia sebelum pandemi Covid-19 jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, tidak baik. Indeks Keberlanjutan Pangan Indonesia menunjukkan hasil yang tak memuaskan.
Sebelum pandemi Covid-19, keberlanjutan pangan di Indonesia sudah menunjukkan rapor merah. Kondisi ini berpotensi tidak berubah sesudah pandemi karena menurunnya produksi pertanian dan beban kemiskinan masyarakat.
Kondisi keberlanjutan pangan di Indonesia sebelum pandemi Covid-19 jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, tidaklah baik. Indeks Keberlanjutan Pangan Indonesia menunjukkan hasil yang buruk. Indeks yang disusun dari kehilangan dan pemborosan pangan, pertanian berkelanjutan, serta pemenuhan nutrisi masyarakat tersebut selalu menempati peringkat bawah.
Indeks Keberlanjutan Pangan (Food Sustainability Index) yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) bekerja sama dengan Barella Center for Food & Nutrition merupakan salah satu metode untuk mengetahui status perkembangan pangan suatu wilayah. Indeks ini pertama kali dikeluarkan pada 2016 dan penghitungan sudah dilakukan hingga 2018.
Indeks Keberlanjutan Pangan mengukur keberlanjutan sistem pangan secara global pada dimensi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Indeks ini untuk mengetahui sejumlah besar makanan yang hilang dan terbuang, eksploitasi sumber daya alam, serta gizi masyarakat. Dibentuk dari tiga indikator besar, yakni kehilangan dan pemborosan pangan (food loss/food waste), pertanian keberlanjutan, dan pemenuhan nutrisi masyarakat, posisi Indonesia selalu dalam peringkat 10 besar terbawah dengan nilai di bawah rata-rata.
Baca juga: ”Food Estate”, Pertanian Kecil dan Ketahanan Nasional
Tahun 2016, saat Barella Center for Food masih menghitung 25 negara, Indonesia menduduki posisi lima terbawah dengan skor 50,8. Tahun berikutnya, naik menjadi 52,4 di posisi lima terbawah. Tahun 2018, skornya meningkat menjadi 59,1 dan menduduki peringkat ke-60 dari 67 negara.
Posisi Indonesia yang selalu berada di bawah dalam Indeks Keberlanjutan Pangan menunjukkan bahwa sistem pangan Indonesia belum sepenuhnya bisa berkelanjutan. Masih banyak hal yang harus dibenahi untuk mencapai peringkat sepuluh besar teratas.
Sementara itu, Litbang Kementerian Pertanian pada 2014 pernah membuat kajian ”Estimasi Food Sustainable Indeks menurut target 10 besar”. Hasilnya, ada sejumlah indikator yang harus diperbaiki. Di antaranya, dari indikator kehilangan dan pemborosan pangan serta kualitas respons kebijakan terhadap pangan. Sementara itu, dari indikator pertanian berkelanjutan adalah pemupukan dan pestisida, lahan pertanian organik terhadap lahan pertanian, tiga produksi utama pertanian, serta kualitas litbang dan inovasi.
Pemborosan pangan
Indikator pertama adalah kehilangan dan pemborosan pangan. Nilai Indonesia untuk indikator ini terbesar ketimbang dua indikator lainnya, yakni 61,4. Skor tersebut sudah membaik dari tahun sebelumnya. Pada 2016 nilainya 32,53 dan kemudian 42,11 pada 2017.
Indikator kehilangan dan pemborosan pangan terdiri atas subindikator kehilangan pangan dan pemborosan pangan. Kehilangan pangan menurut penelitian berjudul ”Memperkuat Ketahanan Pangan melalui Pengurangan Pemborosan Pangan (Ketut dkk, 2017)” adalah sampah makanan yang berasal dari bahan pangan, seperti sayuran, buah-buahan atau makanan yang masih mentah, tetapi sudah tidak bisa diolah menjadi makanan dan akhirnya dibuang begitu saja.
Kehilangan pangan ini menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan bahan makanan untuk memasak. Penyebabnya, kurangnya permintaan konsumen di pasar, proses prapanen tidak menghasilkan mutu yang diinginkan pasar, dan permainan harga yang mengakibatkan harga melonjak tajam dan bahan pangan tak terjual. Kesulitan distribusi produksi karena bencana alam juga turut berkontribusi menciptakan kehilangan pangan.
Pandemi Covid-19 yang menerapkan pembatasan sosial untuk mengurangi penyebaran virus sedikit banyak juga berkontribusi pada distribusi hasil pertanian. Saat awal penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), ada berita bahwa beberapa petani kebingungan memasarkan hasil pertanian, hingga akhirnya memilih membagikan hasil panennya kepada masyarakat sekitar.
Dirangkum dari pemberitaan Kompas, kesulitan distribusi tersebut terjadi, antara lain, di Kabupaten Malang, Garut, Bandung, dan Purwakarta. Selain itu, permintaan masyarakat menurun karena ada penutupan hotel, restoran, dan katering. Solusi sementara, sejumlah komunitas masyarakat berinisiatif untuk membuat pasar yang disebarkan melalui media sosial. Sedikit banyak solusi itu bisa membantu penyaluran distribusi hasil panen petani. Namun, masih ada petani yang belum tersentuh pasar daring dan hanya bersandar pada jaringan distribusi konvensional.
Gangguan didistribusi pertanian ini telah mengganggu aliran uang di kalangan petani. Pada proses pembenihan dan penanaman berikutnya, petani akan menurunkan kualitas produksinya. Selanjutnya, hal ini akan berdampak pada penurunan produksi pertanian yang jika tidak diatasi akan mengganggu pasokan pangan.
Gangguan pada distribusi pertanian ini telah mengganggu aliran uang di kalangan petani.
Hal itu juga berdampak pada penurunan kesejahteraan petani karena menurunnya pendapatan. Nilai Tukar Petani pada bulan Mei dan Juni lalu menurun menjadi 99,47 dan 99,6, dari sebelumnya, yaitu 100,32 pada April.
Adapun pemborosan pangan adalah makanan yang siap dikonsumsi oleh manusia, tetapi dibuang begitu saja dan akhirnya menumpuk di tempat pembuangan akhir. Catatan Economist Intelligence Unit, tahun 2017, sampah yang dihasilkan di Indonesia adalah 300 kilogram/ orang/hari. Penyebab pemborosan pangan adalah tidak menghabiskan makanan, makan tidak sesuai dengan porsi yang biasa dimakan hingga gengsi menghabiskan makanan di depan banyak orang.
Nilai subindikator pemborosan pangan ini ialah 69,6, relatif lebih baik daripada kehilangan pangan dan menduduki peringkat ke-21 dari 67 negara. Namun, pada saat awal pandemi, ada fenomena masyarakat mulai menumpuk bahan makanan karena khawatir terjadi kelangkaan. Hal ini berpotensi menimbulkan pemborosan makanan karena makanan yang berlebihan, tidak akan habis disantap.
Nutrisi masyarakat
Indikator kedua adalah pemenuhan nutrisi masyarakat. Nilainya 54,9 atau relatif lebih rendah dibandingkan dengan indikator pertama. Skor ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-56 dari 67 negara.
Pemenuhan nutrisi ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Catatan Kementerian Kesehatan, prevalensi balita pendek (stunting) dari data Pemantauan Status Gizi meningkat dari 27,5 persen pada 2016 menjadi 29,6 persen pada 2017. Kemudian, data Riset Kesehatan Dasar 2018, angkanya meningkat menjadi 30,8 persen.
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada kegiatan perekonomian juga mengakibatkan angka kemiskinan meningkat. Catatan BPS, pada Maret 2020, ada 26,42 juta penduduk miskin atau 9,78 persen. Angka ini meningkat dari September 2019 yang jumlahnya 24,79 juta jiwa atau 9,22 persen.
Meningkatnya kemiskinan berpotensi menambah angka stunting yang sebelumnya telah cenderung naik. Sejumlah penelitian di Maluku, India, Nepal, Etiopia, dan Madagaskar dari kajian ”Faktor Risiko Stunting pada Anak di Negara Berkembang (Indah dkk, 2019), pendapatan keluarga yang rendah menjadi faktor risiko stunting.
Keluarga miskin tidak bisa memenuhi gizi bagi anak balitanya, baik berupa makanan maupun susu. Penyebab utama anak balita pendek adalah kurangnya asupan zat gizi, hormon pertumbuhan, dan adanya penyakit infeksi.
(LITBANG KOMPAS)