Dinasti Klub-klub Kaya di Liga Champions
Seandainya ada kompetisi terbatas yang diikuti 10 klub sepak bola kaya di dunia, dapat dipastikan tidak perlu ada ajang Liga Champions. Sebab, dalam 10 tahun terakhir, klub-klub itulah yang meraih juara.
Klub kaya kembali menjuarai kejuaraan elite sepak bola Eropa, Liga Champions. Kali ini giliran Bayern Muenchen yang juga mengalahkan klub kaya lainnya, Paris Saint-Germain. Haruskah menjadi klub kaya untuk menjadi ”raja sepak bola” Eropa?
Deloitte Footbal Money League 2020 yang dikeluarkan lembaga konsultan keuangan Deloitte merilis 20 klub terkaya saat ini. Dari populasi tersebut, terdapat 10 klub teratas, yaitu FC Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Bayern Muenchen, Paris Saint-Germain, Manchester City, Liverpool, Tottenham Hotspur, Chelsea, dan Juventus.
FC Barcelona menjadi klub sepak bola terkaya di dunia saat ini. Pendapatan yang dimiliki klub asal Spanyol tersebut pada 2019 mencapai 840,8 juta euro atau sekitar Rp 14,4 triliun. Dua klub kaya berikutnya adalah Real Madrid (757,3 juta euro) dan Manchester United (711,5 juta euro).
FC Barcelona menembus dominasi Madrid dan MU sebagai klub paling kaya dunia. Dari penelusuran data yang dikeluarkan Deloitte dalam 15 tahun terakhir, Madrid dan MU merupakan dua besar klub yang selalu menduduki posisi puncak. Madrid dan MU selalu bergantian menduduki posisi puncak klub sepak bola terkaya.
Namun, dominasi Madrid dan MU mulai digeser FC Barcelona dalam dua tahun terakhir. Pada 2014, pendapatan yang berhasil dikumpulkan FC Barcelona 485 juta euro. Saat itu, Barcelona berada di posisi keempat klub terkaya. Pendapatannya terus menanjak menjadi 690,4 juta euro pada 2018 dan menempati posisi runner-up klub paling kaya.
Di luar Madrid dan MU yang mendominasi dua peringkat atas, posisi lima besar klub terkaya bergantian diisi delapan klub lainnya, yaitu FC Barcelona, Bayern Muenchen, Chelsea, Arsenal, Paris Saint-Germain, Manchester City, Juventus, dan AC Milan.
Namun, jika mencermati tren dalam 10 tahun terakhir, hanya ada lima klub yang mendominasi, masing-masing adalah FC Barcelona, Bayern Muenchen, Paris Saint-Germain, Chelsea, dan Manchester City. Kelimanya bergantian mengisi posisi lima besar klub terkaya di bawah Madrid dan MU.
Bukan hanya kaya, klub-klub padat pendapatan tersebut juga mendominasi ajang kejuaraan bergengsi di Eropa. Dalam satu dekade terakhir, klub-klub kaya tersebut berjaya menjadi juara Liga Champions.
Sejak musim 2010/2011, Real Madrid menjadi yang paling banyak meraih gelar juara, yaitu empat kali. Berikutnya FC Barcelona dan Bayern Muenchen, masing-masing dua kali jawara. Sementara Chelsea dan Liverpool meraih masing-masing satu gelar.
Di luar peraih gelar juara, ada Manchester United, Paris Saint-Germain, Tottenham Hotspur, dan Juventus. Sekalipun tidak berhasil menjadi juara, klub-klub tersebut merupakan lawan tanding para pemenang di pertandingan final. Jadi, lengkaplah sudah dominasi klub-klub kaya tersebut di kejuaran bergengsi sepak bola Eropa dalam satu dekade ini.
Pendapatan sponsor
Final Liga Champions musim 2019/2020 mempertemukan dua klub kaya, Bayern Muenchen dan Paris Saint-Germain. Musim sebelumnya, 2018/2019, dua klub kaya di peringkat ketujuh dan kedelapan juga bertemu di final, yaitu Liverpool dan Tottenham Hotspur.
Dua musim sebelumnya, Real Madrid berhasil menjadi juara setelah mengalahkan klub kaya lainnya, yaitu Liverpool, di musim 2017/2018 dan Juventus di musim 2016/2017.
Juara baru Liga Champions musim 2019/2020, Bayern Muenchen, adalah klub terkaya keempat di dunia dengan pendapatan mencapai 660 juta euro (Rp 11,4 triliun). Dalam empat tahun terakhir, Bayern Muenchen selalu berada di empat besar klub terkaya dunia. Pendapatannya naik dari 592 juta euro pada 2016 menjadi 660 juta euro pada 2019.
Lawan yang dihadapi Bayern Muenchen di final, Paris Saint-Germain, adalah koleganya di grup kaya raya, yaitu di peringkat kelima dunia. Pendapatannya mencapai 636 juta euro. Sebagaimana Bayern Muenchen, pendapatan klub asal Perancis tersebut juga meningkat dalam empat tahun terakhir.
Tumpuan pendapatan kedua finalis Liga Champions tersebut adalah pendapatan komersial. Lebih dari separuh pundi-pundi yang dikumpulkan Bayern Muenchen dan Paris Saint-Germain berasal dari pemasukan komersial, yaitu sponsor. Namun, bukan hanya kedua klub tersebut yang menikmati tambahan pendapatan dari sponsor. Data Deloitte juga memperlihatkan struktur pendapatan yang sama bagi lima klub terkaya di dunia.
Proporsi pendapatan lima klub paling kaya dari sisi komersial semakin meningkat dalam 10 tahun terakhir. Persentasenya meninggalkan jauh pendapatan dari sisi pertandingan. Pada musim 2007/2008, proporsi pendapatan rata-rata lima klub paling kaya adalah sisi komersial (36 persen), hak siar (33 persen), dan dari sisi pertandingan (31 persen).
Mencermati data Deloitte Footbal Money League 2020, pendapatan komersial lima klub terkaya tersebut terus meningkat menjadi 49 persen. Pendapatan dari hak siar relatif stagnan, yaitu 33 persen, sedangkan pendapatan dari aspek pertandingan terus menurun menjadi 18 persen.
Data ini memperlihatkan fenomena kenaikan rata-rata pendapatan dari sisi komersial. Dari sisi nilai, rata-rata nilai pendapatan dari sisi komersial selama 10 tahun terakhir naik dari 112 juta euro menjadi 306 juta euro. Kenaikan nilai rata-rata tersebut hampir mencapai tiga kali lipat.
Hal ini dapat dimaknai bahwa keberadaan klub sepak bola saat ini bukan hanya identik dengan olahraga dan dukungan fanatik fans, melainkan juga memiliki keterkaitan dengan aspek bisnis. Ini mengingat pendapatan komersial merupakan pendapatan yang didapatkan dari sponsor dengan cara kerja sama merek.
Jika ditambah pendapatan dari hak siar, aspek bisnis di pusaran pendapatan klub sepak bola makin kuat terlihat. Sebanyak 82 persen pendapatan lima klub terkaya di dunia berasal dari sisi sponsor dan hak siar.
Klub terkaya FC Barcelona mendulang 283,3 juta euro dari pendapatan komersial dan 298,1 juta euro dari hak siar. Dari dua sumber pendapatan tersebut memberikan kontribusi 81 persen dari total pendapatan pada 2019.
Demikian pula pundi-pundi sang juara Liga Champions musim ini, Bayern Muenchen, yang mendapatkan 356,5 juta euro dari sponsor dan 211,2 juta euro dari hak siar. Dengan pendapatan sebanyak itu, cukup mudah bagi klub-klub kaya untuk berprestasi. Mereka bisa mendapatkan pelatih dan pemain sepak bola berkualitas.
Belanja pemain
Musim 2019/2020, Bayern Muenchen membelanjakan 143 juta euro untuk membeli pemain. Modal besar tersebut berhasil digunakan untuk merebut juara Liga Champions. Sebagai juara, Bayern dapat membawa pulang hadiah sebesar 82,45 juta euro sejak awal babak penyisihan grup. Jumlah itu di luar tambahan pendapatan dari hak siar televisi, tiket pertandingan, dan sponsor.
Modal lebih besar dibelanjakan Liverpool musim sebelumnya. Saat meraih piala Liga Champions musim 2018/2019, Liverpool mengeluarkan dana 182,2 juta euro untuk membeli pemain. Sebagai pemenang, Liverpool yang dilatih Jurgen Klopp mendapatkan total hadiah sekitar 74,3 juta euro dari seluruh laga pertandingan hingga meraih juara.
Klub-klub kaya lain juga bersaing dalam belanja pemain. Tiga musim pertandingan sejak 2016/2017 hingga 2018/2019, Manchester City mengeluarkan dana 608 juta euro untuk membeli pemain. Jika dikalkulasi, dalam satu musim rata-rata Manchester City harus mengeluarkan uang senilai 202,6 juta euro untuk mendatangkan pemain pilihan.
Walaupun belum dapat meraih gelar Liga Champions, City berhasil mengumpulkan 2 gelar dari Liga Premier Inggris, 2 Piala Liga Inggris, 1 piala FA, dan 1 Piala Super Inggris. Artinya, untuk mendapatkan prestasi, klub-klub tersebut harus terus berinvestasi dalam membeli pemain dan pelatih pilihan.
Namun, tidak semua klub beruntung mendapat penghasilan yang memadai, terutama dari sisi komersial. Sisi lain data Deloitte menujukkan kesenjangan proporsi pendapatan komersial dari klub-klub yang berada di deretan 20 terkaya. Proporsi pendapatan komersial lima klub paling kaya mencapai 49 persen, sementara proporsi pendapatan sponsor klub-klub di peringkat 16-20 hanya 22 persen.
Artinya, kue sponsor dan pendapatan komersial hanya dimiliki sebagian klub, utamanya adalah klub-klub papan atas. Klub-klub lain mengandalkan pendapatan dari hak siar dan penjualan tiket yang relatif stagnan. Jika klub-klub yang masuk deretan 20 besar saja mengalami kesenjangan pendapatan, bagaimana dengan klub-klub lain yang tidak masuk deretan klub elite?
Tanpa pendapatan sponsor, klub-klub hanya bergantung pada pendapatan dari tiket pertandingan. Kondisi ini cukup mencemaskan keberlangsungan klub, mengingat stagnasi nilai kedua pendapatan tersebut.
Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata pendapatan dari sisi hak siar memang mengalami peningkatan dua kali lipat, tetapi proporsinya cenderung tetap. Demikian pula dengan rata-rata nilai pendapatan dari pertandingan (tiket, makan, minum) yang juga cenderung tetap, bahkan secara proporsi turun.
Klub SSC Napoli yang berada di peringkat ke-20 klub terkaya, memiliki pendapatan 207 juta euro. Tiga perempat pendapatannya didapat dari hak siar. Proporsi sponsor yang didapatkan lebih kecil, yaitu 22 persen. Sedangkan pendapatan dari pertandingan lebih minim lagi, yaitu 8 persen.
Fenomena tersebut menggambarkan bahwa pendapatan dari pihak fans atau dari sisi penonton pertandingan belum mampu digunakan sebagai tumpuan pendapatan dari para fans atau penontonnya.
Di masa pandemi Covid-19, tumpuan tersebut makin berat digapai. Terhentinya kompetisi di semua negara akibat wabah korona membuat pemasukan klub dari pertandingan dan hak siar menjadi terganggu.
Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) memberikan dana kompensasi ke 676 klub dari 55 negara untuk membantu keuangan di masa pandemi. Nilai kompensasi yang diberikan bervariasi, 3.600 euro hingga 630.000 euro. Bantuan untuk menggairahkan sepak bola juga dilakukan Badan Sepak Bola Dunia atau FIFA yang mengalokasikan dana 1,5 miliar dollar AS.
Kesetaraan
Di luar pandemi, kemandirian keuangan klub telah diakselerasi UEFA melalui program financial fair play (FFP) sejak 2011. Aturan FFP dirancang memberikan kesempatan yang sama kepada setiap klub yang berkompetisi untuk berkiprah di tingkat Eropa.
Tujuan dasarnya adalah membangun keuangan yang sehat bagi klub sepak bola di Eropa. Regulasi FFP mencakup penilaian terhadap pengeluaran klub terkait transfer dan upah, pendapatan dari hak siar dan pertandingan, serta pendapatan yang dihasilkan dari bagian komersial.
Dalam satu dekade terakhir, klub-klub kaya tersebut berjaya menjadi juara Liga Champions.
Dengan aturan tersebut, pengeluaran setiap klub dibatasi dengan prinsip pengeluaran sesuai dengan pemasukan. Dalam jangka panjang, aturan FFP ingin membatasi limit pengeluaran setiap klub sebesar 5 juta euro lebih besar daripada pendapatan klub.
Untuk memastikan bahwa pendapatan klub bersifat berkelanjutan, FFP juga mengatur pendanaan langsung dan terkait dengan pemilik. Dengan aturan FFP ini, pemilik dan pemodal tidak dapat lagi seenaknya memberikan gelontoran dana. Aturan tersebut juga mencegah penggelembungan harga sponsor melebihi harga pasar dan praktik pencucian uang.
Bagi klub, aturan tersebut memberikan jaminan kelangsungan klub dengan mencegah terjadinya kerugian di kemudian hari jika klub berpindah tangan atau sang pemilik jatuh miskin. Melalui FFP, setiap klub, terutama klub kecil, dituntut untuk mandiri secara keuangan.
Harapannya, klub yang sehat secara keuangan akan lebih kompetitif dalam pertandingan dan pada gilirannya memberikan peluang yang sama untuk dapat meraih piala paling bergengsi di Eropa, Liga Champion. Walau masih memerlukan perjuangan panjang, paling tidak aturan ini dapat mendobrak dominasi klub-klub kaya dalam kompetisi tingkat Eropa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Bagaimana ”Big Data” Mengubah Sepak Bola