Momentum Politik Biden-Harris
Peluang Joe Biden dan Kamala Harris terbuka lebar. Tren Keterpilihannya menunjukkan arah positif dan menjadi momentum menggeser dominasi Donald Trump.
Duo Joe Biden dan Kamala Harris kian mendapatkan momentum politiknya. Persona dan latar belakang Harris sebagai figur politisi perempuan minoritas berpotensi untuk mendongkrak popularitas Biden yang sedang memiliki tren positif beberapa waktu terakhir. Dengan kombinasi tersebut, kemungkinan pasangan calon ini untuk meruntuhkan benteng pertahanan Partai Republikan semakin besar.
Persaingan menuju kursi AS 1 semakin mendekati puncaknya. Setelah terpilih menjadi kandidat resmi calon presiden AS dari Partai Demokrat, Joe Biden mengumumkan Kamala Harris sebagai partner yang akan mendampinginya di surat suara. Keputusan Biden menimang Harris menjadi pelunas janjinya untuk memilih calon wakil presiden perempuan yang disampaikannya lima bulan silam.
Selama ini, Harris memang terkenal menjadi salah satu politisi kondang Partai Demokrat. Sepanjang kariernya, Harris berhasil mendobrak untuk selalu menjadi yang pertama. Ia merupakan perempuan dari golongan minoritas pertama yang terpilih menjadi jaksa wilayah San Francisco, jaksa agung California, senator California, dan dinominasikan sebagai calon wakil presiden.
Terpilihnya Harris sebagai calon wakil presiden tidak lepas dari jejak kariernya di dunia hukum dan politik. Selama menjabat sebagai jaksa agung hingga di posisi terakhirnya sebagai seorang senator, Harris dikenal fokus kepada dua hal. Kedua hal tersebut ialah reformasi peradilan pidana AS (criminal justice reform) dan UU keadilan rasial (racial justice legislation).
Posisi Harris dalam kedua isu tersebut bukanlah isapan jempol belaka. Selama menjadi senator, ia menjadi salah satu yang mendukung disahkannya UU Kepolisian. Jika disahkan, UU ini akan melarang penahanan dengan pencekikan (choke), pengumpulan profil warga berdasarkan ras (racial profiling), dan surat perintah penangkapan tanpa pemberitahuan (no-knock warrant).
Baru-baru ini, Harris juga sempat terlibat perdebatan yang panas dengan Rand Paul, Senator Partai Republikan dari Kentucky. Perdebatan itu karena Paul menolak disahkannya RUU yang membuat hukuman mati tanpa pengadilan (lynching) sebagai kejahatan federal.
Tak ayal, langkah Biden dalam meminang Harris bisa jadi salah satu responsnya dalam menyikapi tekanan publik di AS saat ini. Seperti diketahui, AS kini masih digoyang dengan serangkaian aksi demonstrasi. Aksi yang dipicu oleh meninggalnya George Floyd akibat penggunaan kekerasan berlebihan oleh oknum kepolisian ini menyingkap bobroknya sistem peradilan dan masih latennya persoalan ketidakadilan rasial di AS.
Meski Harris memiliki rekam jejak politik yang cenderung bersih dan mumpuni, pemilihannya sebagai calon wakil presiden tampaknya belum memberikan dampak pada tingkat keterpilihan Biden. Hal ini tertangkap oleh hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei di AS.
Menurut The Economist, yang mengagregasi hasil dari puluhan lembaga survei di AS sejak Februari hingga Agustus 2020, belum ada peningkatan signifikan keterpilihan oleh publik (popular vote) semenjak ia dipinang oleh Biden. Menurut rerata hasil jajak pendapat, tingkat keterpilihan Biden selama 12-23 Agustus masih berada di rentang 54,2-54,5 persen.
Namun, hal ini bisa juga diartikan sebagai sinyal yang positif bagi Biden dan Harris. Sama dengan pendahulunya, Barack Obama dan Bill Clinton, Harris juga menjadi bulan-bulanan kampanye hitam dan disinformasi Donald Trump. Belum genap dua minggu setelah ia ditunjuk oleh Biden, Harris harus menerima tuduhan bahwa ia adalah seorang liberal ekstrem dan bahkan dipertanyakan kewarganegaraannya.
Namun, melihat tingkat keterpilihan Biden yang relatif stabil, kampanye hitam yang membombardir duo Biden-Harris sepertinya tidak berhasil untuk memengaruhi publik AS sama sekali.
Tren elektabilitas Biden
Keberhasilan duo Biden-Harris nanti bertumpu pada momentum politik Joe Biden. Selama beberapa waktu terakhir, posisi Biden memang sedang berada di atas angin. Semenjak Maret hingga 23 Agustus 2020, jarak antara Biden dan Donald Trump semakin jauh. Tren ini berlaku baik dalam popular vote dan kemungkinan keterpilihan elektoral (electoral college votes).
Kian disukainya Biden oleh masyarakat tampak dari simulasi popular vote yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga jajak pendapat di AS. Menurut The Economist, posisi Biden memang selalu berada di atas Trump. Pada 1 Maret 2020, survei menunjukkan bahwa nyaris 53 persen publik AS akan memilih Joe Biden di saat Pemilu nanti. Hanya 47 persen dari responden yang mengaku akan memilih Donald Trump pada saat pemilu diadakan.
Hingga Agustus, tren popularitas Biden kian menguat. Pada 23 Agustus 2020, Biden memiliki tingkat keterpilihan sebesar 54,5 persen. Meski lebih tinggi sekitar 1,5 persen dibandingkan dengan posisinya pada Maret lalu, Biden sempat mencapai puncak popularitasnya pada pertengahan Juni dengan tingkat keterpilihan sebesar 55,4 persen.
Sementara, tren keterpilihan Trump justru kian menurun. Pada 23 Agustus 2020, Trump memiliki tingkat populartias sebesar 45,5 persen. Hal ini menjadi pukulan bagi Trump karena ia sebenarnya sempat mendapatkan momentum di pada pertengahan Maret lalu. Saat itu tingkat popularitas Trump sempat naik hingga 47,5 persen sebelum akhirnya berangsur-angsur turun hingga di angka saat ini.
Jika tren ini terus berlanjut, hampir bisa dipastikan Joe Biden akan memenangkan popular vote pada pemilu esok. Menurut prediksi The Economist, Biden akan memenangkan 54,2 persen suara populer. Menurut prediksi dari lembaga yang sama, Donald Trump hanya akan mendulang sekitar 45,8 persen suara populer pada pemilu nanti.
Dengan sistem pemilu AS, kemenangan suara populer sudah tentu tidak akan ada artinya apabila tidak dibarengi oleh kemenangan elektoral. Hal ini terjadi pada Pemilu AS 2016, di mana Hilary Clinton memenangkan suara populer dengan persentase 48,2 persen dibandingkan dengan Trump yang mendapat suara populer sebesar 46,1 persen.
Namun, sejarah mencatat, kemenangan Hillary tidak dibarengi dengan kemenangan elektoral, di mana Trump berhasil mendapatkan 306 suara perwakilan, sedangkan Hillary hanya mendapat 232 suara perwakilan. Akhirnya, Donald Trump-lah yang dilantik menjadi Presiden AS.
Meskipun demikian, skenario untuk Biden kemungkinan akan berbeda. Kemenangan Biden dalam hal suara populer berpotensi untuk diikuti kemenangan dalam pemilihan elektoral. Berdasarkan agregasi hasil jajak pendapat oleh The Economist, Joe Biden diperkirakan akan mendulang lebih banyak suara elektoral dibandingkan dengan Donald Trump.
Apabila tidak ada perubahan yang signifikan dalam dua bulan ke depan, rentang perolehan suara elektoral Biden berkisar di angka 217-424 suara. Smentara, rentang perolehan suara elektoral Trump diprediksi hanya berkisar di angka 114-321 suara.
Perebutan negara bagian
Momentum politik Joe Biden tidak terlepas dari keberhasilannya untuk merebut beberapa negara bagian yang sebelumnya dimenangkan oleh Trump. Di antaranya bahkan ada yang merupakan wilayah tradisional, atau kerap disebut safe state, dari Partai Republikan. Dengan keberhasilan ini, peluang Biden untuk mengamankan 270 suara elektoral menjadi lebih besar.
Salah satu negara bagian yang berhasil direbut oleh Biden ialah Florida. Dengan perwakilan sebesar 29 orang, Florida menjadi negara bagian dengan jumlah perwakilan terbanyak ketiga di AS. Tidak hanya Florida, Pennsylvania dan Michigan, dengan jumlah perwakilan sebesar 20 suara dan 16 suara, juga menjadi negara bagian ”gemuk” yang berhasil diamankan oleh Biden.
Maka dari itu, jika keberhasilan Biden dalam merebut ketiga negara bagian di atas terkonversi menjadi suara pada pemilu November nanti, hampir bisa dipastikan bahwa Biden akan memenangkan suara elektoral.
Keberhasilan Biden tidak hanya berhenti pada merebut benteng Partai Republikan. Kampanye Biden juga terbukti berhasil menggoyahkan pengaruh Trump di kandang Partai Republikan. Salah satu contohnya ialah kian kecilnya kemungkinan terpilihnya Trump di Negara Bagian Texas. Meski posisi Trump masih lebih tinggi, Biden berhasil menggerus kemungkinan keterpilihan Trump hingga di angka 68 persen.
Semakin tergerusnya dominasi Trump di Texas menjadi alarm keras bagi Partai Republikan. Hal ini karena sebelumnya Texas merupakan wilayah tradisional dari partai ini. Semenjak pemilu pada 1980, Partai Republikan selalu memenangkan pertarungan politik di wilayah itu selama nyaris empat dekade selama berturut-turut.
Maka, dengan waktu yang kian sempit, momentum politik duo Biden-Harris berpeluang besar untuk memenangkan pemilu. Sejauh ini, butuh keajaiban bagi Trump untuk dapat meraih periode keduanya sebagai presiden. Ditambah lagi, apabila Trump dan tim kampanyenya hanya bisa mengandalkan taktik lawas dengan menghina lawan politiknya yang terbukti sudah tidak mempan untuk memengaruhi publik AS. (LITBANG KOMPAS)