Memahami Situasi Krisis Bencana Covid-19
Publik menyadari bahwa pandemi Covid-19 termasuk dalam situasi bencana. Kesadaran publik tersebut harus diimbangi dukungan pemerintah untuk membangun ketahanan bencana.
Melihat dampak yang ditimbulkan, publik telah memiliki kesadaran bahwa pandemi Covid-19 termasuk dalam situasi krisis atau bencana. Di sisi lain, upaya membangun ketahanan bencana non-alam perlu ditingkatkan untuk mengurangi risiko lanjutan.
Bencana merupakan peristiwa yang mengancam serta mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Disebut mengancam kehidupan masyarakat karena bencana alam ataupun non-alam dapat mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana tidak selalu identik dengan kejadian alam, seperti gempa bumi, tsunami, atau tanah longsor. Ada kejadian bencana di luar faktor alam, seperti wabah penyakit. Sejak munculnya kasus pertama di China pada 31 Desember 2019, penyakit Covid-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2 telah menyebar luas.
Hingga 23 Agustus 2020, tercatat lebih dari 808.000 orang meninggal karena Covid-19. Di Indonesia, sebanyak 6.680 orang yang meninggal karena penyakit itu. Melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020, penyebaran Covid-19 ditetapkan sebagai bencana non-alam dan berstatus bencana nasional. Kategorisasi bencana nasional merujuk masifnya korban, luasan bencana, dan dampak sosial ekonomi.
Pemahaman serupa diungkapkan publik terhadap situasi krisis saat ini yang terekam dalam jajak pendapat Kompas pada 27-29 Juli 2020. Dampak sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ditimbulkan Covid-19 membuat tujuh dari 10 responden jajak pendapat setuju bahwa pandemi Covid-19 termasuk dalam kategori kejadian bencana dengan berbagai risiko yang menyertainya.
Temuan serupa terekam dari riset yang dilakukan Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) tentang Pemahaman Ketahanan terhadap Bencana di Perkotaan pada Agustus 2020. Hasil dari survei yang mereka lakukan menyebutkan, Covid-19 termasuk dalam bencana berbentuk wabah penyakit berskala besar dan di luar kendali manusia.
Kedua kajian di atas memberikan gambaran munculnya kesadaran publik terhadap kondisi darurat bencana akibat Covid-19. Situasi krisis akibat penyakit itu terlihat dari aspek ekonomi hingga perilaku sosial.
Secara ekonomi, laju pertumbuhan sejumlah negara, termasuk Indonesia, melambat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II-2020 adalah minus 5,32 persen. Beberapa negara, seperti Singapura dan Korea Selatan, telah mengalami resesi ekonomi.
Lesunya perekonomian berdampak pada lapangan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, hingga 31 Juli 2020, lebih dari 3,5 juta pekerja formal dan informal terdampak Covid-19. Sementara Bappenas memperkirakan, penganggur pada tahun ini akan bertambah 4 juta-5,5 juta orang.
Secara politik, pandemi membuat pemerintah mengambil kebijakan berupa pembatasan sosial untuk mencegah penularan virus SARS-CoV-2. Kebijakan ini membuat berkurangnya aktivitas masyarakat di ruang publik.
Masyarakat lebih banyak berada di rumah untuk mengurangi risiko terinfeksi Covid-19. Apabila bepergian ke luar tempat tinggal, mereka harus memakai masker dan menjaga jarak. Artinya, ada perubahan besar terhadap cara beraktivitas dan berkomunikasi.
Ketahanan publik
Kompleksnya dampak pandemi nyata dirasakan masyarakat Indonesia. Kesadaran masyarakat akan kondisi krisis menjadi dukungan sosial yang kuat untuk bersama berjuang melewati situasi tersebut. Melihat kesadaran publik itu, langkah-langkah strategis untuk menanggulangi wabah diharapkan bisa berjalan lebih lancar.
Situasi krisis bencana non-alam berhubungan erat dengan manajemen penanganan bencana, mulai dari pencegahan hingga mitigasi bencana. Wabah penyakit mampu menyebar dan menginfeksi manusia jika batasan alaminya terganggu atau rusak.
Batas alami yang dimaksud adalah perlindungan ekosistem. Faktor alam menunjukkan dua poin utama penyebab munculnya wabah, yaitu kerusakan ekosistem dan pengelolaan sumber daya alam.
Penjelasan faktor alam didasarkan pada laporan World Wildlife Fund (WWF) pada Juni 2020 yang menegaskan bahwa risiko wabah penyakit saat ini hingga masa mendatang jauh lebih besar daripada yang pernah ada. Dampak yang ditimbulkan juga makin masif.
Dalam lingkup nasional, Indonesia mengenal istilah kejadian luar biasa (KLB), yaitu timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Sementara kasus Covid-19, status wabah adalah pandemi, sesuai dengan keputusan WHO yang didasarkan pada cakupan kasus yang mendunia.
Penanganan pandemi penyakit berbeda dengan jenis bencana lain. Faktor ketidakpastian menjadi kendala yang besar untuk memastikan tahapan penanganan krisis bencana non- alam di kasus pandemi.
Situasi yang tidak menentu akibat pandemi menuntut masyarakat beradaptasi, di mana hasil akhirnya adalah keberhasilan penanganan penyakit itu. Namun, perjuangan untuk bertahan di tengah pandemi bukan usaha yang mudah.
Ukuran ketahanan sosial menentukan tingkat resiliensi banyak orang. Ketahanan publik menunjukkan kemampuan untuk mengantisipasi risiko, meminimalkan dampak negatif, serta kembali pulih dengan cepat melalui kemampuan adaptasi, evolusi, dan perubahan signifikan.
Setidaknya ada tiga jenis ketahanan, yaitu ketahanan alami, adaptif, dan sesuai rencana. Ketiganya dibedakan dari langkah strategis yang diambil. Ketahanan alami muncul dengan memanfaatkan kultur dan organisasi sosial yang telah ada untuk mengatasi guncangan kecil.
Ketahanan adaptif menggambarkan kemampuan melakukan penyesuaian fungsi atau peran sosial ekonomi dalam situasi mendesak. Terakhir, ketahanan yang direncanakan merupakan kemampuan adaptasi untuk bertahan di masa mendatang.
Sebuah studi yang dilakukan lembaga kajian kebijakan publik SMERU di wilayah permukiman padat Jakarta Timur, pinggiran Jakarta Timur, dan komunitas desa adat di Badung, Bali, pada April hingga Juni 2020, menunjukkan gambaran karakteristik ketahanan komunitas di tengah pandemi.
Kawasan permukiman padat penduduk memiliki kecenderungan menganggap orang sekitar sehat dan wajar jika berkumpul dengan tetangga sekitar rumah. Adapun kawasan pinggiran kota besar memiliki persepsi risiko dan kepatuhan yang menguat jika ada warga sekitarnya yang terinfeksi. Sementara masyarakat adat jauh lebih berhati-hati karena ada konsekuensi adat dan medis yang dapat diberikan.
Temuan ini menggambarkan persepsi risiko penularan di masyarakat masih berbeda-beda di tingkatan komunitas. Persepsi tersebut juga masih dapat berubah tergantung dari besar kecilnya situasi risiko wabah yang dihadapi.
Mencermati temuan tersebut, latar belakang sosial-budaya masyarakat, kondisi ekonomi masyarakat, respons kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19, serta komunikasi risiko wabah menjadi tantangan dalam upaya membangun ketahanan bencana non-alam.
Konsekuensi bencana
Kesadaran publik terhadap situasi krisis memiliki konsekuensi terhadap pilihan tindakan yang diambil di kehidupan sehari-hari. Apalagi, masyarakat meyakini bahwa kejadian bencana pasti menyebabkan banyak kerugian.
Masyarakat yang telah sadar terhadap situasi krisis saat ini turut memiliki konsekuensi, yaitu harus melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan protokol kesehatan. Hal ini untuk menekan angka infeksi dan meningkatkan kesempatan untuk lebih cepat keluar dari masa pandemi.
Dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan Covid-19 membuat tujuh dari 10 responden jajak pendapat setuju bahwa pandemi Covid-19 termasuk dalam kategori kejadian bencana.
Sebagai langkah strategis, WHO memiliki pedoman protokol kesehatan untuk masyarakat. Empat poin penting yang harus dilakukan adalah memakai masker, menjaga jarak, lebih sering mencuci tangan, dan membatasi diri bepergian ke luar tempat tinggal.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah banyak warga yang telah memiliki kesadaran bahwa saat ini adalah masa krisis. Kondisi ini menjadi modal kuat membangun mitigasi, ketahanan, dan resiliensi menghadapi situasi darurat bencana.
Namun, untuk menghadapi pandemi yang masih masif terjadi, kesadaran itu perlu diikuti perilaku kepatuhan terhadap protokol kesehatan. Riset dari Pusat Studi Infrastruktur Indonesia menemukan belum kuatnya aspek ketahanan masyarakat dalam hal pencegahan infeksi. Ini berdampak pada upaya meningkatkan ketahanan publik pada wabah penyakit.
Dari sisi pemerintah, dapat terus mendorong kebijakan yang meningkatkan upaya mitigasi situasi wabah penyakit. Penggunaan masker di tempat umum dan penyediaan tempat cuci tangan dapat dituangkan dalam peraturan daerah hingga peraturan perusahaan sebagai bentuk adaptasi membangun ketahanan bencana.
Demikian pula dengan pemenuhan standar penanganan pandemi, seperti penyediaan tes Covid-19 yang terjangkau dan layanan pengobatan harus dibuka seluas-luasnya sebagai jaminan kesiapan mitigasi wabah di tengah masih tingginya ketidakpastian pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengenal Lebih Dalam Virus Korona