Eksistensi pedagang kecil juga terekam saat Indonesia dilanda krisis pada dekade 1930-an dan 1998. Mereka menjadi saksi sejarah geliat ekonomi di negeri ini
Oleh
Dedy Afrianto
·6 menit baca
Sekitar abad ke-8 Masehi, catatan tentang pedagang kecil turut diabadikan pada relief Candi Borobudur. Eksistensi pedagang kecil juga terekam saat Indonesia dilanda krisis pada dekade 1930-an dan tahun 1998. Dalam catatan sejarah, pedagang kecil atau pelaku usaha ultramikro telah menjadi bagian tak terpisahkan dari geliat ekonomi di Nusantara.
Posisi Indonesia yang terletak di jalur perdagangan internasional turut berbanding lurus dengan lahirnya para pedagang kecil dari banyak wilayah. Baik di kota pelabuhan maupun daerah pedalaman, pedagang hadir di tengah hiruk pikuk kesibukan di jalur perdagangan sejak berabad-abad silam.
Catatan tentang pedagang kecil salah satunya terekam dalam relief Karmawibhangga panil 1 di Candi Borobudur, Jawa Tengah. Relief itu menggambarkan keramaian pasar dan aktivitas jual-beli antara pedagang dan pembeli. Jika merujuk pada tahun pembuatan candi yang diperkirakan antara abad ke-8 dan abad ke-9 Masehi, pedagang kecil di Indonesia telah hadir lebih dari 12 abad silam.
Pada era otokrasi atau masa kerajaan, perdagangan menjadi salah satu aktivitas yang menopang roda perekonomian. Pada era Kerajaan Majapahit, misalnya, terdapat pedagang perantara yang membawa barang dagangan dari daerah pedalaman. Para pedagang saat itu tak hanya menjual dagangan pada suatu wilayah, tetapi juga terdapat pedagang yang secara khusus menjual barang dagangan dari satu daerah ke daerah lain.
Di Pulau Sumatera, aktivitas perdagangan juga dijalankan oleh masyarakat setempat. Di daerah Sumatera Barat, misalnya, aktivitas perdagangan telah dilakukan oleh etnis Minangkabau hingga ke kawasan pantai timur Sumatera dan Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya (Elfindri, dkk, 2010).
Selama periode otokrasi, aktivitas perdagangan tidak hanya dilakukan oleh para tokoh atau saudagar besar. Para pedagang kecil juga mengambil andil untuk menawarkan barang dagangan berupa hasil bumi, baik kepada masyarakat sekitar maupun kepada pedagang dari wilayah lain.
Saat persekutuan dagang dari Belanda atau Vereningde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai melakukan aktivitas perdagangan di Nusantara, para pedagang lokal juga muncul dalam beberapa aktivitas jual-beli. Sementara para pedagang China muncul sebagai pedagang perantara.
Setelah VOC runtuh, para pedagang kecil masih menunjukkan eksistensinya, terutama di wilayah kota dagang, seperti di sekitar Batavia. Khusus di Batavia, para pedagang kecil mulai jamak bermunculan, terutama setelah Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles mewajibkan pemilik bangunan di Batavia untuk memiliki trotoar seluas lima kaki. Trotoar ini kemudian secara perlahan dimanfaatkan untuk kegiatan perdagangan bagi pedagang kecil yang kemudian dikenal dengan sebutan pedagang kaki lima.
Kebijakan serupa juga dilakukan oleh Raffles di Singapura. Pada abad ke-19, trotoar juga dibangun sebesar lima kaki pada daerah yang memiliki bangunan (Liddle, 2004).
Pada era pemerintahan Hindia Belanda, keberadaan pedagang kecil terus tumbuh pada perkampungan di sekitar Batavia. Menurut Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011), pedagang kecil menjajakan barang dagangannya dengan teriakan khas masing-masing. Selain sebagai lokasi permukiman, perkampungan di sekitar Batavia juga dimanfaatkan sebagai lokasi bagi pedagang kecil untuk mengais rezeki.
Pada medio awal abad ke-20, keberadaan pedagang kecil yang berjualan di sekitar permukiman Belanda mendapat perhatian khusus dari pemerintah kolonial. Mereka diusir karena dianggap mengganggu tata kota di sekitar permukiman.
Kondisi ini mendapatkan atensi yang serius dari kaum nasionalis yang berada di Dewan Kota. Para pedagang kecil mendapatkan pembelaan bersamaan dengan kelompok penduduk lain yang juga dikorbankan demi pembangunan kota.
Eksistensi pedagang kecil terus bertahan pada periode kemerdekaan. Sulitnya perekonomian memaksa sebagian masyarakat untuk bekerja sebagai pedagang kecil pada beberapa pusat keramaian ataupun di sekitar jalanan utama Ibu Kota yang biasa disebut sebagai pedagang kaki lima.
Pada 1950, pedagang kaki lima yang berada di sekitaran jalanan Jakarta turut menjadi perhatian. Jakarta saat itu mulai menjadi tujuan migrasi penduduk setelah melalui gejolak revolusi. Pedagang kaki lima, tunawisma, dan para pengamen jalanan menjadi tantangan utama bagi pemerintah dalam melakukan penataan kota.
Penataan perkotaan dari pedagang kecil yang berjualan di sekitar jalanan utama juga dilakukan pada era kepemimpinan Ali Sadikin. Bahkan, Jakarta pernah dinyatakan sebagai ”kota tertutup” untuk membenahi penataan wilayah (Blackburn, 2011).
Langkah solutif pernah dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta untuk memberdayakan pedagang kecil yang berjualan pada lokasi yang tidak selayaknya. Menurut catatan dalam arsip UGM, pada 12 Januari 1987, dilakukan peresmian penggunaan los yang dapat digunakan oleh para pedagang kecil untuk berjualan. Peresmian los bahkan diiringi oleh penyerahan surat keputusan (SK) bagi 13 pedagang kaki lima yang hendak mengisi los itu, seperti pedagang bakso dan pedagang minuman.
Kebijakan yang dilakukan oleh UGM adalah bagian dari penataan lingkungan kampus. Kebijakan ini juga menggambarkan bahwa pedagang kaki lima tidak terpisahkan dari setiap kebijakan, hingga pada lingkungan pendidikan sekalipun.
Meskipun terkadang harus bermain ”kucing-kucingan” dengan pemerintah, pelaku usaha ultramikro adalah bagian tak terpisahkan dalam perputaran roda ekonomi bangsa. Pada saat bangsa ini diterpa krisis, tak jarang usaha pedagang kecil inilah yang turut menyelamatkan geliat ekonomi di sejumlah daerah.
Pada 1930-an, misalnya, depresi ekonomi yang melanda dunia internasional turut dirasakan oleh Batavia. Beberapa pekerja saat itu harus kembali ke perdesaan di tengah kesulitan ekonomi. Namun, pedagang kaki lima justru semakin ramai. Ini mengindikasikan bahwa usaha ultramikro adalah jalan lain untuk bertahan hidup di tengah kelesuan ekonomi di masa itu.
Pedagang kecil juga kembali menghadapi krisis pada 1998, terutama pedagang yang berada di kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Meski begitu, tak ada pilihan lain selain harus tetap berdagang untuk bertahan hidup.
Menurut catatan harian Kompas, untuk membantu pedagang bertahan, pemerintah memberikan bantuan modal kepada 2.000 pedagang kaki lima di Jakarta sebesar Rp 450.000 per orang. Jika dibandingkan dengan kurs saat ini, pedagang kaki lima memperoleh bantuan modal usaha sebesar Rp 568.000 per orang.
Kini, kondisi serupa dialami oleh pedagang kecil selama pandemi Covid-19. Ada satu kesamaan para pedagang kecil saat depresi 1930, krisis moneter 1998, dan ancaman krisis 2020. Para pedagang tetap mencoba untuk bertahan, bahkan menjadi tumpuan ekonomi bagi sebagian pekerja formal yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja.
Sama seperti tahun 1998, pemerintah juga memberikan sejumlah bantuan, seperti bantuan sosial dan bantuan modal, kepada para keluarga terdampak pandemi dan pedagang kecil. Khusus para pedagang kecil, disediakan bantuan Rp 2,4 juta yang ditargetkan akan diberikan kepada 12 juta jiwa.
Bagaimanapun, pedagang kecil yang berada di sekitar kita adalah tumpuan ekonomi bagi keluarga mereka masing-masing. Selain pemerintah, tentu dibutuhkan peran serta masyarakat sekitar untuk membuat para pedagang lebih berdaya. (LITBANG KOMPAS)