Karut-marut Pelayaran Tol Laut
Jaringan luas pelabuhan tol laut dengan subsidi tinggi menyisakan pertanyaan besar. Mengapa disparitas harga antardaerah masih terus terjadi?
Kehadiran tol laut idealnya akan mengatasi disparitas harga barang antarwilayah di Indonesia. Meskipun sudah berjalan hampir lima tahun, pelayaran kapal-kapal tol laut belum sepenuhnya mencapai tujuan tersebut.
Harapan besar masyarakat di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) terhadap dampak program tol laut belum sepenuhnya terwujud. Sebagian dari mereka harus tetap merogoh kantong dalam-dalam agar dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Sebab, di sejumlah daerah 3T, harga jual barang masih fluktuatif dan tetap tinggi.
Disparitas harga masih ditemukan di ibu kota-ibu kota provinsi di Indonesia. Contohnya, harga minyak goreng curah di Jayapura, yang menurut data BPS, rata-rata masih Rp 14.277 per liter selama Desember 2019. Begitu juga di Kendari Rp 12.726 per liter dan Kupang Rp 12.200 per liter. Harga ini lebih tinggi dibandingkan harga acuan Kemendag sebesar Rp 10.500 per liter.
Hal serupa juga terjadi di kabupaten lokasi pelabuhan singgah trayek tol laut. Contohnya di Pasar Towo’e, Kecamatan Tahuna, Kepulauan Sangihe. Sejak tol laut menyinggahi Tahuna tahun 2016, hingga awal 2020 harga beras premium konstan Rp 12.500 hingga Rp 13.000 per kg. Harga ini mendekati harga eceran tertinggi (HET) di Sulawesi sebesar Rp 12.800 per kg (Kompas 11/1/2020).
Padahal, minyak goreng dan beras termasuk di dalam jenis muatan yang boleh diangkut dalam program tol laut. Melalui Perpres Nomor 71 Tahun 2015, keduanya merupakan kelompok barang kebutuhan pokok yang terdiri dari barang hasil pertanian, hasil industri, atau hasil peternakan/ perikanan. Selain itu, ada juga kelompok barang penting dan barang lainnya.
Meski demikian, contoh di atas tidak dapat dijadikan kesimpulan gagalnya program tol laut. Sebab, di daerah 3T lainnya justru terjadi sebaliknya. Hasil survei LPEM FEB Universitas Indonesia menyebutkan, program ini memberikan dampak positif bagi penurunan harga barang kebutuhan pokok. Namun, angka penurunannya belum terlalu besar, yaitu berkisar 3,7-7,3 persen.
Baca juga: Efektivitas Tol Laut Pengaruhi Interkoneksi
Akar Persoalan
Rendahnya penurunan harga pasca-tol laut tidak sebanding dengan konsistensi pemerintah memperbaiki layanan itu. Tahun ini saja, Kemenhub telah mengalokasikan subsidi senilai Rp 439,84 miliar. Subsidi itu diperuntukkan bagi setiap pengguna layanan tol laut. Rinciannya, untuk subsidi biaya pengiriman peti kemas antarpelabuhan dan biaya bongkat muat di pelabuhan asal dan tujuan.
Trayek yang dioperasikan juga terus ditambah. Tahun ini sudah ada 26 trayek yang melayani 3 pelabuhan pangkal, 6 pelabuhan transhipment, dan 90 pelabuhan singgah. Terdapat 26 kapal yang digunakan, terdiri dari 14 kapal negara, 5 kapal milik PT Pelni Persero, 5 kapal milik PT ASDP Indonesia Ferry, dan 2 kapal milik swasta.
Melihat luasnya jaringan pelabuhan yang dilalui tol laut beserta subsidinya kemudian menciptakan pertanyaan besar, mengapa disparitas harga di berbagai daerah di Indonesia masih terjadi. Melalui penelurusan sejumlah hasil riset terkait tol laut, indikasi penyebab demi penyebab setidaknya dapat ditemukan untuk menjawab kejangalan ini.
Diawali hasil riset Dampak Implementasi Asas Cobatage dan Program Tol Laut terhadap Ketahanan Wilayah (Armaidy Armawi dkk, 2019). Penelitian di Kepulauan Anambas ini menunjukkan berkat pelayaran tol laut yang rutin dan berjadwal, stok logistik dapat dijaga terutama ketika cuaca ekstrem. Namun, tetap program ini belum berhasil menurunkan harga barang.
Baca juga: Presiden Soroti Stok dan Harga Pangan
Hal ini disebabkan keengganan pelaku usaha di Anambas menggunakan layanan tol laut. Sejak beroperasi 22 Januari 2016, trayek T-2 Jakarta ke Anambas masih menggunakan KM Cakra III 4 tanpa adanya kontainer. Hal ini menimbulkan risiko barang rusak atau hilang tanpa tahu siapa yang bertanggung jawab sebab muatan tidak diasuransikan.
Meski tahun 2019 diganti dengan KM Logistik Nusantara 4 yang telah berkontainer, padatnya lalu lintas di Pelabuhan Tampera masih menjadi kendala. Diketahui, pelabuhan ini tidak hanya melayani kapal barang, tetapi juga kapal penumpang. Sementara dermaga yang tersedia tidak panjang dan belum ada gudang.
Kerap kali kapal milik PT Pelni itu harus bergeser ketika proses bongkar muat barang belum selesai, mendahulukan KM Bukit Raya dan kapal feri penumpang yang hendak bersandar. Ditambah jalan masuk pelabuhan sempit dikelilingi permukiman penduduk sehingga hanya kendaraan kecil bermuatan maksimal 500 kg sekali jalan yang dapat masuk ke kawasan pelabuhan.
Begitu juga kebiasaan sistem tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di Tampera yang belum efisien. Akibatnya, jadwal kapal tol laut kerap terlambat dan berimbas sepinya pengguna tol laut. Sementara harga barang yang tidak turun disebabkan dominasi pengusaha etnis tertentu di Pasar Tampera yang justru memanfaatkan subsidi tol laut untuk memperoleh margin keuntungan yang lebih besar.
Baca juga: Dampak Tol Laut Belum Optimal Dinikmati Warga NTT dan Maluku
Penyebab lain juga ditemukan di Analisis Implementasi Kebijakan Tol laut dalam Perspektif Inetelejen (Moh. Hari, 2020). Di dalam program tol laut belum ada wewenang termasuk operator kapal mengecek secara langsung isi dalam kontainer. Hal ini dapat menjadi celah para pengusaha nakal melakukan kecurangan mengisi kontainer dengan barang-barang di luar ketentuan.
Penerapan teknologi informasi (TI) di pelabuhan juga menjadi persoalan. Pemerintah sudah menganggarkan dana untuk pembelian, tetapi tidak diikuti anggaran untuk perawatan secara berkala. Termasuk di dalamnya antisipasi terbatasnya jaringan listrik di pelabuhan 3T. Jika listrik padam dan TI terganggu, aktivitas di pelabuhan akan terhenti.
Persoalan berikutnya ialah minimnya muatan balik. Hal ini disebabkan belum adanya industri potensial di daerah, sumber daya alam yang belum dikembangkan maksimal, tidak ada pengumpul hasil produksi unggulan, hingga belum maksimalnya penggunaan kontainer berpendingin atau gudang pendingin di pelabuhan.
Hal ini juga yang membuat pelaku usaha hasil laut di Sabu Raijua, NTT, enggan menggunakan tol laut. Menggunakan kapal tol laut trayek T-13 akan memakan waktu perjalanan yang lama hingga 29 hari. Sebelum tiba di Surabaya, kapal harus berhenti di sejumlah pelabuhan singgah dengan waktu labuh tidak sebentar sehingga barang kiriman seperti ikan dan rumput laut dapat kedaluwarsa di jalan (Kompas, 25/8/2020).
Baca juga: Strategi Optimalisasi Tol Laut
Solusi
Agar dapat memaksimalkan dampak positif program tol laut, sejumlah persoalan di atas dapat diperbaiki dengan melibatkan banyak pihak, antara lain Kemenhub sebagai pemberi tugas dan penyedia sarana prasarana; Kementerian Perdagangan sebagai pelaksana, verifikasi muatan, dan pemberi surat perintah muat; dan PT Pelni, PT ASDP, dan perusahaan swasta sebagai operator kapal.
Ketiganya harus saling berkoordinasi dan bekerja sesuai posnya masing-masing. Selain itu, perlu juga adanya kerja sama dengan pemerintah daerah di daerah 3T sekitar pelabuhan singgah tol laut. Mereka turut berperan sangat penting dalam pembuatan kebijakan daerah yang berkaitan dengan banyak hal.
Satu, memperkuat peran BUMD atau perusda agar tidak terjadi monopoli pengguna program tol laut. Mereka dapat menjadi penyeimbang harga sehingga harga eceran barang tidak ditentukan oleh kelompok pelaku usaha tertentu. Hal ini juga dapat mengantisipasi sentimen negatif masyarakat terhadap kelompok pengusaha tertentu seperti yang terjadi di Tampera.
Kedua, pemda bersama pelaku bisnis lokal baik pengusaha, BUMD, dan BUMDes mengoptimalkan komoditas unggulan di daerahnya, seperti beras di Kabupaten Buru, rempah-rempah di Maluku, serta ikan di hampir semua daerah 3T. Dalam jangka panjang dapat juga dibuat industri pengolahan sehingga dapat meningkatkan muatan balik dan ekonomi masyarakat setempat.
Sementara di tingkat kewenangan yang lebih tinggi, Kemenhub dan Kemendag perlu melakukan pengawasan ketat pada aplikasi Informasi Muatan dan Ruang Kapal (IMRK). Aplikasi buatan Pelni Logistics yang dirilis tahun 2018 ini berisikan data jenis barang, data pengirim, dan data penerima agar tidak terjadi monopoli muatan kapal.
Baca juga: Langkah Konkret Perbaikan Tol Laut Dinanti
Meski demikian, praktik nakal itu masih terjadi di lapangan. Modus itu dilakukan oleh sedikit pengusaha yang menguasai muatan kapal dengan nama yang berbeda-beda. Maka dari itu, IMRK harus didesain dapat menyeleksi hingga kepemilikan perusahaan. Pembatasan tegas kuota kontainer bagi pengirim dan penerima juga harus diterapkan.
Untuk mempercepat proses bongkat muat, infrastruktur pelabuhan khususnya di daerah 3T secara perlahan harus diperbaiki. Namun, sebelum itu dilakukan, pembenahan pada TKBN menjadi hal yang lebih krusial karena tidak jarang pelabuhan di daerah hanya ditemukan satu koperasi TKBN. Akibatnya, tidak terjadi kompetisi dalam hal biaya dan juga kualitas kerja.
Pada hakikatnya, program tol laut merupakan ide brilian dari pemerintah. Sebagai negara maritim, program ini seharusnya dapat menjadi sarana yang baik dalam memperluas akses antarwilayah di Indonesia. Melalui penelusuran sejumlah persoalan di dalam program tol laut ini, setidaknya dapat menjadi arahan untuk segera memperbaikinya. (LITBANG KOMPAS)