Jaga Optimisme Kejayaan Maritim Indonesia
Kendati persoalan di kelautan Indonesia masih bermunculan, bukan mustahil impian sebagai pusat maritim dunia dapat terwujud. Jangan sampai, kejayaan maritim hanya menjadi nostalgia kisah-kisah kerajaan di masa lalu.
Identitas Indonesia sebagai negara maritim di dunia sudah terpatri sejak Deklarasi Djuanda 1957. Namun, hingga saat ini, permasalahan perbatasan zona lautan internasional masih membayangi. Terlepas dari itu, optimisme kejayaan maritim Indonesia perlu terus dibangun.
Gagasan besar untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia muncul di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak periode pertamanya menjabat. Dalam pertemuan East Asia Summit Ke-9 di Naypyidaw, Myanmar, pada 13 November 2014, Presiden Joko Widodo menyampaikan gagasan ini di hadapan dunia internasional. Penyampaian pidato ini sekaligus menegaskan kembali kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah kelautan yang strategis.
”Pusat gravitasi geoekonomi dan geopolitik dunia sedang bergeser dari Barat ke Asia Timur. Sekitar 40 persen perdagangan dunia berada di kawasan ini. Negara-negara Asia sedang bangkit,” ungkap Presiden.
Ia melanjutkan, ”Indonesia berada tepat di tengah-tengah proses perubahan strategis itu, baik secara geografis, geopolitik, maupun geoekonomi.”
Disampaikan juga lima pilar untuk membawa Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. Kelima pilar ini sekaligus menjadi tawaran kerja sama Indonesia kepada dunia, baik dalam pengembangan ekonomi maupun pertahanan. Ide ini didasari pada luas perairan pedalaman dan perairan kepulauan Indonesia yang mencapai 3.110.000 kilometer persegi.
Perlu diingat, konteks saat itu ialah periode pertama Presiden Joko Widodo menjabat bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam visi dan misinya, kedaulatan maritim menjadi turunan dalam Nawacita pertama, yakni menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. Gagasan ini turut dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Merujuk pada pandangan Tridoyo Kusumastanto, analis kebijakan ekonomi kelautan, sejak lama Indonesia tidak memiliki gambaran besar mengenai kedaulatan maritim, terutama untuk mendukung sektor bisnis. Dalam bukunya, Kebijakan Tata Kelola Kelautan Indonesia (2010), ia menambahkan bahwa diperlukan terobosan untuk menanggapi perubahan besar dalam perdagangan internasional yang mengandalkan potensi maritim.
Oleh sebab itu, kehadiran cita-cita Poros Maritim Dunia dapat dilihat sebagai usaha Indonesia dalam menanggapi tantangan dunia internasional. Gagasan ini tetap dilanjutkan Jokowi pada periode kedua pemerintahannya. Dalam RPJMN 2019-2024, target Indonesia sebagai pusat peradaban maritim dunia dilesatkan jauh ke 2044 atau seabad setelah Indonesia merdeka.
Dalam RPJMN 2019-2024, Lima Pilar Poros Maritim Dunia diganti dengan Tujuh Pilar Kebijakan Kelautan Indonesia. Selain itu, secara bertahap gagasan ini akan diwujudkan mulai dengan pembangunan infrastruktur dan pengembangan potensi laut serta dasar laut. Kemudian, perlahan menjadi negara maritim yang kuat, maju, mandiri, dan akhirnya menjadi pusat maritim dunia.
Diplomasi
Konsep Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang dengan narasi hadirnya kerajaan-kerajaan besar, seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Medang Kamulan. Begitu pula dengan rajutan budaya tradisi suku Mandar dengan perahu candiknya. Bersama perahu bernama sandeq itu, orang Mandar dikenal mampu mengarungi samudra.
Keluhuran sejarah kejayaan wilayah maritim Indonesia disadari oleh para bapak bangsa, terutama Perdana Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja. Pada 13 Desember 1957, ia membuat pernyataan yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Isinya, pernyataan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia, menyatu menjadi satu kesatuan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelumnya, wilayah batas laut Indonesia mengacu pada peraturan masa Hindia Belanda, yakni Territoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonanntie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan itu, batas pulau-pulau yang ada di Indonesia ialah sejauh 3 mil dari garis pantai. Dengan dikeluarkannya deklarasi tersebut, Ordonansi tahun 1939 yang merupakan warisan kolonial tidak berlaku lagi.
Sebagai langkah lanjutan, deklarasi ini dibawa ke Konvensi PBB Pertama tentang Hukum Laut di Geneva pada Februari 1958. Diplomasi ini tidak berjalan mulus dan mendapat tentangan dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis, dan Selandia Baru. Adapun pihak pendukung ialah Filipina, Ekuador, dan Yugoslavia.
Tanpa gentar, deklarasi dibawa lagi ke Konvensi PBB Ke-2 pada April 1960, sesudah diterbitkannya Undang-Undang No 4/PRP/Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Hasilnya, pertentangan masih datang dari Amerika Serikat. Melalui para ahli hukum dan diplomasi di sejumlah forum internasional, Indonesia berhasil membuat perjanjian dengan Malaysia, Thailand, Australia, dan Singapura setelah Konvensi PBB tersebut.
Baca juga: Ironi Daerah Kepulauan
Di sisi lain, dunia internasional merasa perlu membahas ulang hukum kelautan. Pemikiran ini dipicu oleh sejumlah kejadian kala itu, misalnya beberapa negara di kawasan Asia-Afrika yang merdeka, kecelakaan kapal tangki Torrey Canyon (1967) di Selat Donver sehingga memicu polusi laut serta pertikaian antara Inggris dan Perancis, serta Perang Dingin yang membuat mobilisasi angkatan laut gencar dilakukan.
Akhirnya, pada 1982, Konvensi Hukum Laut PBB Ke-3 (United Nations Convention On The Law of The Sea atau UNCLOS 1982) mengakui deklarasi itu sepenuhnya. Kemudian, muncul Undang-Undang No 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982. Penerbitan undang-undang ini menegaskan pernyataan PBB bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan segala kekayaan di darat, laut, dan udara.
Tantangan
Masuknya kapal-kapal asing ke perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) bukan hal baru. Awal tahun ini, Indonesia terusik dengan konflik terkait masuknya kapal-kapal China di perairan Natuna Utara. Bahkan, pada bulan ini kejadian serupa terjadi lagi, kali ini berjumlah tiga kapal berisi 26 awak berkenegaraan Vietnam.
Dalam konferensi pers, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menyatakan keseriusannya dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal oleh negara lain. Selama masa kepemimpinannya, sebanyak 69 kapal telah ditangkap. Kapal ilegal yang ditangkap itu terdiri dari 52 kapal ikan asing dan 17 kapal berbendera Indonesia.
Baca juga: Menteri KP Nyatakan Siap Diaudit Soal Ekspor Lobster
Meski begitu, ada persoalan lain di bidang ekonomi kelautan. Salah satunya ialah kebijakan benih lobster yang pertengahan tahun ini mencuat ke publik. Melalui Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020, Edhy Prabowo membuka keran penangkapan benih lobster untuk budidaya ataupun diekspor.
Polemik pun bermunculan karena sebagian pihak berpendapat bahwa yang dibutuhkan saat ini ialah pengembangan budidaya lobster oleh masyarakat sehingga tidak terjadi monopoli oleh pengusaha besar. Terlepas dari polemik tersebut, kebijakan yang saat ini sudah diterapkan perlu terus dikawal.
Melalui Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2020, Edhy Prabowo membuka keran penangkapan benih lobster untuk budidaya ataupun diekspor.
Tantangan lain berupa potensi sampah plastik di lautan Indonesia. Dalam seminar daring bertajuk ”Sampah Laut Indonesia: Riset dan Kebijakan Penanganan Sampah Laut Indonesia” (18 Agustus 2020), Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) pada Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan menjabarkan potensi ancaman ini. Disampaikan, terdapat 6,8 juta ton potensi kebocoran sampah laut yang didominasi sampah plastik.
Kendati persoalan di kelautan Indonesia masih bermunculan, bukan mustahil impian sebagai pusat maritim dunia dapat terwujud. Jangan sampai, kejayaan maritim hanya menjadi nostalgia kisah-kisah kerajaan di masa lalu.
Optimisme perlu terus ditumbuhkan. Selamat Hari Maritim, yang jatuh pada 21 Agustus. Jalesveva Jayamahe, Di Lautan Kita Jaya!
(LITBANG KOMPAS)