Membuka Kotak Pandora Keterpurukan Industri Mikro dan Kecil
Pandemi Covid-19 membuka ”kotak pandora” penyebab keterpurukan industri mikro dan kecil yang tidak hanya sebatas persoalan modal finansial.
Menjaga daya tahan industri mikro dan kecil sangatlah penting karena berdampak pada usaha mikro dan kecil sebagai basis terbesar perdagangan di Indonesia. Bantuan finansial bukanlah satu-satunya jalan keluar menjawab keterpurukan industri ini.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, hampir seluruh perhatian pemerintah dicurahkan untuk penanganan dampaknya. Bencana nonalam yang berawal dari persoalan kesehatan kini kian merembet pada persoalan ekonomi.
Pandemi yang disinyalir dapat berujung pada resesi ini telah melumpuhkan sendi-sendi perekonomian. Industri mikro dan kecil (IMK) adalah salah satu produsen barang dan jasa yang terdampak.
Keberadaan IMK sebagai basis produksi yang kemudian menjadi mata rantai perdagangan pendukung UMKM yang menjalankan aktivitas perdagangan, kini tak cukup tangguh untuk menunjukkan eksistensinya.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah menggelontorkan sejumlah anggaran untuk pemulihannya. Menurut publikasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), anggaran yang dialokasikan untuk pemulihan UMKM Rp 123,46 triliun.
Selama ini, IMK merupakan bagian erat dari keberadaan UMKM sebagai basis terbesar perdagangan di Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) menunjukkan hal tersebut.
Dari total UMKM 64,19 juta unit, 99,9 persen di antaranya adalah IMK. Penyerapan tenaga kerja pada IMK juga mendominasi, yakni 96,78 persen dari total pekerja UMKM.
Pada krisis sebelumnya, yakni tahun 1998 dan 2008, IMK menjadi salah satu penopang sektor hulu perekonomian Tanah air. Keberadaannya yang tidak terikat dengan kondisi global membuatnya mampu bertahan di tengah gejolak.
Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri Rosan Roeslani dalam forum webinar yang digelar Indef, 28 Juli 2020, mengungkap hampir separuh (48,6 persen) UMKM telah menutup usaha dari survei Asian Development Bank.
Sepertiga dari mereka (30,5 persen) mengalami penurunan permintaan domestik. Sekitar seperlima UMKM juga mengalami gangguan produksi atau rantai pasokan dan 14,1 persen UMKM mengalami pembatalan kontrak.
Selama ini, IMK merupakan bagian erat dari keberadaan UMKM sebagai basis terbesar perdagangan di Indonesia.
Rendahnya realisasi
Jika dibandingkan dengan sektor lain, UMKM mendapat bagian paling besar, yakni hampir mencapai seperlima dari total anggaran. Anggaran tersebut dibagi ke dalam beberapa pemanfaatan, antara lain subsidi bunga, restrukturisasi UMKM, insentif pajak, dan penjaminan modal kerja. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM menjadi salah satu prioritas agar kembali produktif.
Meski demikian, penyerapan anggaran tersebut masih sangat rendah. Dalam laporan yang dirilis oleh Kemenkeu terkait perkembangan pelaksanaan program PEN, hingga 10 Agustus, realisasi anggaran untuk mendukung UMKM baru mencapai 26,32 persen.
Salah satu kendala yang dihadapi adalah validasi dan verifikasi data. Hal ini terjadi karena program dukungan UMKM masih tergolong baru, berbeda dengan sejumlah program lain yang sudah pernah ada sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Persoalan data mendesak diatasi. Pasalnya, stimulus tersebut sejatinya sangat dibutuhkan oleh IMK di Indonesia. Bantuan yang disalurkan dapat dimanfaatkan IMK sebagai modal beroperasinya kembali usaha meraka.
Hal ini mengingat pembatasan sosial yang diterapkan selama beberapa bulan membuat IMK tidak dapat beroperasi. Sebagai dampaknya, perputaran uang usaha tersebut tidak maksimal, bahkan berhenti.
Hal itu berujung pada terbatasnya modal untuk memulai kembali usaha mereka. Sementara modal menjadi fondasi penting dalam menjalankan dan mengembangkan sebuah usaha.
Di sisi lain, bantuan yang diberikan dapat dimanfaatkan untuk membayar upah buruh, yang selama ini juga menjadi persoalan IMK. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sebuah publikasi terkait profil IMK tahun 2018, modal menjadi kendala utama IMK di Indonesia. Sebesar 29,32 persen IMK mengalami kesulitan dalam hal permodalan.
Selain modal, kekurangan dana bagi 3,77 persen IMK berdampak pada persoalan upah buruh. Mahalnya upah buruh melatarbelakangi hal tersebut.
Kedua kendala tersebut boleh jadi akan menjadi lebih ringan bagi IMK saat stimulus bagi UMKM dapat terealisaikan sesuai dengan pagu anggaran.
Subsidi bunga yang diberikan pemerintah bagi IMK juga memberikan kelonggaran sehingga dana IMK untuk membayar bunga kredit dapat dialokasikan menjadi modal usaha.
Dalam hal ini, IMK mendapat kelonggaran dengan adanya penundaan angsuran dan subsidi bunga 6 persen selama 3 bulan pertama dan 3 persen selama 3 bulan berikutnya yang berlaku sejak 1 Mei 2020.
Baca juga: Penguatan Industri Manufaktur di Tengah Pandemi
Bantuan teknologi
Hal lain yang menghambat operasional IMK selama ini adalah ketersediaan bahan baku. Bahan baku merupakan komponen utama yang habis digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa.
Merujuk survei yang sama, lebih dari seperlima IMK mengalami kendala bahan baku. Kesulitan bahan baku ini terutama disebabkan langkanya ketersediaan bahan baku. Kondisi tersebut menjadi semakin sulit bagi sejumlah daerah yang kurang strategis, misalnya yang jauh dari perkotaan.
Kendala infrastruktur dan transportasi membuat IMK semakin terbatas dalam mengakses bahan baku. Di sisi lain, harga bahan baku yang mahal juga mempersulit proses produksi IMK yang berujung pada tingginya harga produk.
Bukan hanya proses produksi, pascaproduksi pun menjadi tantangan bagi IMK. Hal tersebut dialami 21,11 persen IMK di Tanah Air. Saat ini, sejak pandemi Covid-19 melanda, pemasaran produk menjadi semakin sulit.
Usaha IMK yang notabene masih menerapkan sistem konvensional atau di luar jaringan kian terpuruk ketika jual-beli secara langsung dibatasi sebagai upaya pencegahan penyebaran virus.
Kondisi tersebut secara tidak langsung menuntut IMK melek terhadap teknologi. Pasalnya, salah satu cara tetap beroperasi baik dari sisi produksi hingga pascaproduksi adalah dengan menggunakan teknologi atau internet.
Dengan kata lain, dibutuhkan adanya transformasi digital pada usaha IMK. Terkait hal tersebut, pemerintah mempunyai target sekitar 2 juta pelaku UMKM Go-Digital sebagai upaya bertahan. Hal tersebut menjadi wajar dilakukan, mengingat internet menjadi sesuatu yang tidak bisa dipisahkan pada masa industri 4.0.
Baca juga: Teknologi Menyelamatkan UMKM
Ketimpangan
Kendati demikian, upaya tersebut boleh jadi menjadi kendala baru bagi IMK. Rendahnya literasi dan pengalaman berteknologi IMK Indonesia menjadi alasannya. Hal tersebut tergambar dari persentase penggunaan internet oleh IMK. BPS dalam surveinya menyebutkan, hanya 10,15 persen IMK yang menggunakan internet.
Angka tersebut sangat minim jika dibandingkan dengan sekitar 4 juta IMK yang disurvei, sementara jumlah IMK secara keseluruhan mencapai 64 juta unit. Rendahnya pendidikan para pemilik usaha IMK menjadi faktor rendahnya pemanfaatan teknologi tersebut.
Penggunaan internet oleh 10,15 persen IMK pun belum optimal. Proporsi terbesar penggunaan internet adalah untuk sekadar mencari informasi, seperti pengembangan usaha. Penjualan produk secara daring juga baru dilakukan seperempat IMK pengguna internet.
Sementara pemanfaatan untuk operasional masih sangat terbatas. Salah satunya untuk pembelian bahan baku yang selama ini menjadi persoalan IKM. Hanya 7,56 persen dari IMK yang menggunakan internet, memanfaatkan internet untuk membeli bahan baku.
Jarak jauh yang menjadi kendala ketersediaan bahan baku sejatinya bisa dijawab dengan adanya teknologi dan internet. Usaha IMK bahkan bisa membeli bahan baku lintas daerah dengan pembelian secara daring. Penjualan produk pun bisa menjadi lebih fleksibel.
Sayangnya, ketimpangan antardaerah lagi-lagi menjadi persoalan. Dari IMK yang memanfaatan internet, mayoritas masih berlokasi di Pulau Jawa. Pulau Sumatera memasuki urutan tertinggi kedua.
Sementara itu, tidak lebih dari 1 persen IMK di Papua dan Maluku yang melek teknologi dan memanfaatkan internet sebagai pendukung usaha mereka.
Hal ini selaras dengan publikasi BPS dalam Statistik Potensi Desa tahun 2018 yang menunjukkan bahwa 50 persen hingga 80 persen wilayah di Papua dan Maluku masih belum memiliki akses internet.
Mendesak dibenahi
Berlatar belakang persoalan-persoalan tersebut, tak dapat dimungkiri bahwa timbul keraguan di kalangan masyarakat akan keberlangsungan IMK di Indonesia. Hal tersebut tergambar dalam sebuah jajak pendapat Kompas yang dilakukan 4-6 Agustus.
Baca juga: Butuh Solusi dan Inovasi untuk Digitalisasi UMKM
Kegamangan tecermin dari 46,6 persen responden yang berpendapat bahwa IMK mampu bertahan di tengah pandemi. Sementara, hanya berbeda 0,05 persen, yakni 47,1 persen responden mengatakan bahwa IMK tidak akan mampu bertahan di tengah pandemi.
Jika dipetakan secara geografis, responden yang berada di Pulau Jawa lebih optimistis jika dibandingkan dengan responden di Luar Jawa.
Situasi tersebut menuntut fokus pemerintah untuk segera membenahi beragam persoalan yang mengimpit ruang gerak IMK. Industri skala ini tidak hanya persoalan modal yang berkaitan dengan nilai rupiah.
Hal lain yang tidak kalah mendesak adalah dukungan di sektor hulu, antara lain ketersediaan bahan baku. Literasi akan teknologi dan internet juga semakin krusial digunakan di masa pandemi.
Tak dapat dimungkiri, ke depan, IMK akan semakin dituntut untuk memanfaatkan teknologi, mengingat revolusi industri yang terus terjadi. Hal ini menjadi penting mengingat jumlah IMK yang mendominasi.
Bagaimanapun, berbicara mengenai IMK adalah menyangkut entitas ekonomi yang melibatkan populasi besar, tidak hanya sebatas data sampel yang digunakan dalam survei BPS di atas. Daya tahannya patut diperjuangkan, sebagai salah satu sektor yang sejatinya tidak banyak dipengaruhi oleh situasi global. (LITBANG KOMPAS)