Optimisme dalam Senyap Perayaan Kemerdekaan
Merayakan hari kemerderkaan di tengah krisis bukan pertama kali dirasakan bangsa ini. Optimisme tetap harus dibangun, meskipun semarak perayaan 75 Tahun Indonesia berkurang akibat pandemi Covid-19
Sudah menjadi keniscayaan jika pandemi Covid-19 menyumbang duka di perayaan kemerdekaan tahun ini. Tak hanya itu, erupsi Gunung Sinabung baru-baru ini juga membekaskan duka. Meski demikian, peringatan kemerdekaan ke-75 harus tetap dimaknai sebagai momen membangun optimisme mempertahankan kemerdekaan.
Pandemi Covid-19 adalah krisis kesehatan yang juga memicu krisis ekonomi. Data Kementerian Kesehatan per 16 Agustus 2020 pukul 16.00 WIB mencatat, sudah 139.549 kasus terkonfirmasi di Indonesia. Jumlah tersebut naik 2.081 kasus dari hari sebelumnya. Laporan ini juga merinci 77.090 kasus suspek, 40.296 kasus dalam perawatan, 93.103 kasus sembuh, dan 6.150 kasus meninggal.
Krisis karena pandemi Covid-19 di Indonesia menempatkan perekonomian negeri di ambang resesi. Merujuk pada kajian Litbang Kompas berjudul ”Mengatasi Bayangan Resesi Ekonomi”, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2020 hanya 2,97 persen (yoy), bahkan kondisi ini juga terjadi pada kuartal II-2020 yang tumbuh negatif.
Rilis BPS pada 15 Juli 2020 juga menyebut terjadi peningkatan penduduk miskin. Presentase penduduk miskin pada Maret 2020 adalah 9,78 persen atau naik 0,37 dari tahun lalu. Dengan kata lain, ada 1,28 juta penduduk miskin baru di tahun ini.
Baca juga: Mengatasi Bayangan Resesi Ekonomi
Hasil diskusi panel ekonomi Kompas yang salah satunya tertuang dalam artikel ”Intervensi dan Inovasi, Kunci Atasi Resesi” menyebutkan, pemulihan ekonomi yang berjalan lambat tak lepas dari rendahnya penyerapan stimulus anggaran untuk pemulihan ekonomi.
Hingga awal Agustus, penyerapan stimulus fiskal sektor kesehatan senilai Rp 87,55 triliun baru 8 persen yang terserap. Sementara alokasi stimulus senilai Rp 120,61 triliun untuk sektor insentif usaha baru terserap sekitar 14 persen. Adapun anggaran senilai Rp 123,46 triliun untuk sektor UMKM baru terserap 26 persen.Krisis ini juga memicu banyaknya tindak kejahatan yang meresahkan masyarakat.
Baca juga: Intervensi dan Inovasi, Kunci Atasi Resesi
Tidak hanya pandemi, sejak 10 Agustus lalu masyarakat di sekitaran Gunung Sinabung, Kabuapaten Karo, Sumatera Utara, juga terpaksa menghentikan aktivitas karena letusan abu vulkanik. Letusan membuat berhektar-hektar lahan pertanian, termasuk lahan siap panen, rusak.
Laporan Kompas menyebut, erupsi Gunung Sinabung membuat 1.483 hektar ladang warga rusak dengan kerugian Rp 41,8 miliar. Kerugian diperkirakan meluas seiring erupsi susulan. (Kompas, 14 Agustus 2020)
Tak pelak, masyarakat Indonesia dirundung krisis kesehatan sekaligus krisis ekonomi. Jangankan untuk berpesta, dapat bertahan hidup di hari esok pun sudah sebuah kemewahan. Hari jadi kemerdekaanpun tak ayal dilaksanakan dalam nuansa yang kurang meriah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Agustusan di Tahun 2020
Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyampaikan, peringatan HUT kemerdekaan dirancang jauh lebih sederhana, tanpa pesta dan kemewahan. Padahal, Kementerian Sekretariat Negara sudah menyiapkan acara besar-besaran untuk HUT Ke-75 RI, termasuk upacara detik-detik proklamasi 17 Agustus (Kompas, 10/8/2020).
Kompas juga melaporkan tiadanya perayaan HUT Kemerdekaan RI di sejumlah daerah. Salah satunya di Kota Banjarmasin di mana pemerintah daerah mengimbau warga untuk tidak melaksanakan kegiatan yang mengumpulkan massa. Kegiatan hiburan rakyat dan aneka lomba ditiadakan untuk mencegah penyebaran Covid-19 (Kompas, 9/8/2020).
Hal yang sama juga ditemukan di tengah masyarakat di Dusun Gadean, Desa Salaman, Kabupaten Magelang. Gotong royong bersih-bersih kampung, pemasangan umbul-umbul di jalan, pemugaran gapura, hingga pentas seni tidak dilaksanakan. Hanya bendera merah putih yang berkibar di depan rumah tiap warga. Meski bukan merupakan zona berisiko, namun aktivitas menjelang 17-an turut diminimalisir demi memutus rantai penularan Covid-19.
Kuswanto (54), warga RT 002 RW 010 di dusun ini bercerita jika tahun ini tidak ada acara untuk perayaan kemerdekaan. Ia yang biasanya menjadi panitia agustusan menyampaikan bahwa rangkaian acara menjelang kemerdekaan tidak diselenggaran, ”bahkan acara tirakatan, doa bersama, juga tidak ada”, ujarnya saat ditemui Kompas pada Sabtu (15/8).
Sementara itu, rasa sedih diungkapkan Nashwa Hilda (15), gadis yang sedari kecil sudah tinggal di Gadean ini tidak pernah absen mengikuti kegiatan 17-an. Dari mulai mengikuti lomba-lomba hingga tampil menyanyi di pentas seni. Tahun lalu Ia bahkan baru saja menjajal untuk terlibat menjadi panitia. ”Sedih sekali karena gak ada hiburan dan gak kumpul sama teman-teman. Biasanya acaranya banyak, dari jalan santai sampai pentas seni,” ujarnya ketika ditemui Kompas pada Minggu (16/8).
Nashwa yang saat ini duduk di bangku SMA tidak hanya memaknai perayaan kemerdekaan sebatas senang-senang. Ia sadar bahwa momen 17-an sekaligus sebagai pengingat untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan yang sudah diperjuangkan oleh para pahlawan.
Agustusan di Tahun 1998
Perayaan senyap kemerdekaan ini bukanlah yang pertama. Momen perayaan 17-an bernuansa keprihatian juga terekam pada tahun 1998. Di tengah krisis ekonomi dan sosial, agustusan saat itu mesti dirayakan dalam nuansa keprihatinan.
Presiden BJ Habibie dalam Pidato Kenegaraan di Depan Sidang DPR pada 15 Agustus 1998 menyebut peringatan ulang tahun kemerdekaan harus berlangsung dalam suasana yang penuh keprihatinan. Nuansa keprihatinan yang demikian juga tak luput tercatat dalam arsip lama Kompas di hari-hari menjelang peringatan kemerdekaan.
Agustus di kala itu adalah agustus pertama bagi reformasi. Rumor akan adanya kerusuhan seperti halnya bulan Mei merebak menjadi hantu. Sejumlah warga etnis Tionghoa dikabarkan mencari tempat untuk berlindung, bahkan hingga ke luar negeri. Padahal, terlepas dari sentimen etnis kala itu, warga Tionghoa juga menjadi bagian dari masyarakat yang turut menyumbang kemeriahan 17-an.
Arsip Kompas pada 16 Agustus 1998 berjudul ”Agustusan Tanpa Layar Tancap” merekam absennya kemeriahan di Kelurahan Palmerah, Jakarta Pusat. Layar tancap yang biasanya digelar berkat pendanaan para pedagang keturunan Tionghoa pemilik deretan toko di depan Pasar Palmerah urung digelar. Kerusuhan dan penjarahan tanggal 14 Mei 1998 lalu telah membakar habis usaha yang telah mereka bangun bertahun-tahun.
Pada 17 dan 18 Agustus 1998, Kompas juga merekam sepinya perayaan di berbagai tempat. Pantauan Kompas kala itu di gang-gang di Jakarta menggabarkan kurang berwarnanya gapura, umbul-umbul, dan hiasan merah-putih. Lomba antarwarga yang biasanya meriah juga jarang ditemukan.
Di Jalan Arteri Jakarta Selatan, sebarisan anak yang mengikuti pawai pakaian adat berlalu dengan sedikit keceriaan. Warga di Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, juga dilaporkan tidak membuat gapura dan tidak menggelar acara panjat pinang. Sejumlah warga menyatakan krisis moneter sebagai penyebab tidak diselenggarakannya acara-acara untuk memeriahkan 17 Agustus.
Hal serupa juga terjadi di sekitaran Jakarta. Warga di Pamulang menyebut permintaan sumbangan pada warga juga tidak dilakukan karena krisis membuat ekonomi sulit bagi lapisan masyarakat bawah. Suasana lengang nampak terjadi di Kota Bogor.
Suasana sepi terasa karena minimnya kegiatan berbagai lomba yang dilaksanakan di kampung-kampung Bogor. Di Tangerang, bahkan lomba panjat pinang yang sebelumnya seperti menjadi tradisi Agustusan tidak terlihat dilakukan warga.
Krisis moneter di Indonesia berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand pada 2 Juli 1997. Krisis di Thailand cepat menjalar ke Indonesia karena berbagai faktor seperti hilangnya kepercayaan rakyat pada pemerintahan Soeharto, besarnya utang luar negeri, dan situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan.
Nilai tukar Indonesia terhadap dollar AS melemah dari 7.900 rupiah pada (6/1) lalu anjlok ke level 17.000 rupiah pada (22/1). Sementara itu, utang luar negeri per Maret mencapai 138 milyar dollar AS. Sementara cadangan devisa tinggal 14,44 miliar dollar AS. Jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk.
Meski pahit, krisis dan cobaan membuat bangsa ini semakin kuat. Di hari jadi yang ke-75 tahun ini, optimisme harus tetap berkobar di tengah kesederhanaan perayaan. (LITBANG KOMPAS)