Sinyal Waspada Anomali Pertumbuhan
Pertumbuhan minus pada triwulan II-2020 adalah sebuah anomali dalam konjungtur pertumbuhan kuartalan.
Inilah kali pertama pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan II tercatat minus sejak 2015. Apakah hal ini adalah sinyal bahwa perekonomian Indonesia sudah sedemikian mengkhawatirkan?
Kali ini, pertumbuhan ekonomi triwulan II justru menjadi titik kontraksi ekonomi Indonesia. Fakta ini merupakan sebuah ironi, mengingat setiap triwulan II pertumbuhan ekonomi justru lebih sering tercatat menempati puncak tertinggi.
Puncak tertinggi pertumbuhan yang biasa terjadi di triwulan II umumnya tak lepas dari pengaruh dua faktor. Faktor pertama ada momentum masa panen raya padi yang terjadi sepanjang Maret-April. Faktor kedua adalah momentum hari raya Lebaran yang mendorong lonjakan konsumsi.
Anomali yang terjadi pada pertumbuhan ekonomi triwulan II-2020 tak lain disebabkan pandemi Covid-19. Hari raya Lebaran yang biasanya menjadi salah satu momentum peningkatan konsumsi masyarakat secara nasional tergerus oleh pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Setidaknya ada dua provinsi dan 22 kabupaten/kota yang menerapkan PSBB sampai dengan akhir April 2020. Masa PSBB tersebut berakhir di awal Juni 2020. Sementara, periode puasa dan mudik Lebaran dalam kondisi normal berlangsung sepanjang Mei hingga awal Juni, mengingat hari raya Idul Fitri berlangsung di akhir Mei 2020.
Baca juga: Konsumsi Tertekan Jelang Hari Raya
Sebagai akibat dari bencana kesehatan tersebut, perekonomian mengalami tekanan dari dua sisi. Dari sisi demand, terjadi penurunan permintaan akibat meluasnya berbagai bentuk pembatasan sosial sebagai upaya memutus rantai penularan Covid-19.
Sisi ekonomi yang terkait dengan distribusi dan mobilitas penduduk terdampak nyata. Hal ini tecermin pada kontraksi sejumlah sektor, antara lain transportasi serta penyediaan akomodasi dan makan-minum. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kedua sektor tersebut mengalami pertumbuhan minus paling dalam, yakni 30,84 persen dan 22,02 persen, secara berurutan.
Melemahnya permintaan di sejumlah sektor industri juga berujung pada sisi supply yakni penyusutan skala produksi perusahaan. Hal tersebut tergambar dari penurunan signifikan pertumbuhan sektor industri pengolahan.
Sektor penyumbang seperlima PDB nasional tersebut tercatat mengalami pertumbuhan minus 6,19 persen. Sebagai dampaknya, sektor perdagangan yang tidak lepas dari industri pengolahan turut merosot tajam hingga minus 7,57 persen.
Dengan kata lain, gejolak pada sisi permintaan dengan segera diikuti oleh penyesuaian dari sisi penawaran. Kedua sisi tersebut saling memperkuat pertumbuhan ekonomi ke arah negatif.
Baca juga: Penguatan Industri Manufaktur di Tengah Pandemi
Situasi Global
Melihat anomali tersebut, wajar jika kekhawatiran menguat mulai dari masyarakat, dunia usaha, hingga pemerintah. Situasi ini tecermin dari minusnya pertumbuhan ketiga komponen PDB sisi pengeluaran tersebut.
Sektor rumah tangga, penyumbang lebih dari separuh PDB sisi penegeluaran, tercatat mengalami penurunan pertumbuhan hingga minus 5,51 persen. Hal serupa dialami dunia usaha dan pemerintah.
Pertumbuhan perdagangan tercatat minus 11,66 persen pada ekspor dan minus 16,96 persen pada impor. Sementara, pengeluaran pemerintah, yang masih tumbuh positif sebesar 3,75 persen triwulan sebelumnya, juga terkontraksi hingga 6,90 persen.
Namun, benarkah kontraksi ekonomi yang terjadi saat ini merupakan sinyal kejatuhan ekonomi Indonesia? Kesimpulan demikian agaknya masih terlalu jauh jika membandingkan situasi perekonomian Indonesia dengan sejumlah negara lainnya.
Hal tersebut tecermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dipublikasikan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Organisasi kerja sama ini membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 dengan skenario single hit.
Skenario tersebut memperkirakan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara sampai akhir tahun 2020, jika tidak terjadi gelombang pandemi kedua. Indonesia, bersama sekitar 47 negara lainnya, diperhitungkan dalam proyeksi tersebut.
Baca juga: Resesi Terparah sejak Depresi Besar, Korona Tekan Ekonomi Warga Miskin
Menimbang skenario
Dasar-dasar skenario proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh OECD tersebut kemudian dapat dielaborasikan menurut beberapa aspek. Elaborasi yang disusun ditujukan untuk mengomparasikan lebih detail situasi ekonomi Indonesia dengan sejumlah negara yang memiliki kemiripan karakteristik dalam aspek terkait.
Setidaknya ada empat aspek yang dapat dianalisis lebih jauh dengan mengelaborasikan data proyeksi pertumbuhan ekonomi oleh OECD tersebut. Pertama, aspek komposisi penduduk. Aspek ini mengelompokkan negara-negara dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa hingga 300 juta jiwa.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, yakni 273,52 juta jiwa. Dalam kriteria terkait, Indonesia menempati posisi pertama.
Pakistan, Brasil, dan Nigeria masuk ke dalam kriteria sama. Jumlah penduduk negara-negara itu masing-masing 220,89 juta jiwa, 212,56 juta jiwa, dan 206,14 juta jiwa secara berturut-turut.
Kedua adalah aspek berdasarkan kelas ekonomi. Menurut publikasi Bank Dunia awal Juli lalu, Indonesia masuk ke dalam kelas ekonomi menengah atas menurut pendapatan (upper middle income).
Negara dengan pendapatan per kapita sebesar 4.046 dollar hingga 12.535 dollar AS per tahun akan masuk ke dalam kelompok tersebut. Pendapatan per kapita di Indonesia adalah 4.050 dollar AS per tahun.
Sejumlah negara lain yang turut diproyeksikan OECD juga masuk ke dalam kelompok ekonomi tersebut. Beberapa di antaranya Argentina, Kosta Rika, dan Brasil. Dalam aspek ini, Kosta Rika menjadi negara dengan pendapatan per kapita tertinggi, yakni 11.700 dollar AS per tahun.
Baca juga: OECD: Jika Gelombang Kedua Covid-19 Terjadi, Ekonomi RI Bisa Minus 3,9 persen
Lebih ringan
Jika dibandingkan dengan empat negara tersebut, pukulan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih ringan. OECD mencatat, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 adalah minus 2,8 persen. Sementara, Argentina minus 8,3 persen, Brasil minus 7,4 persen, dan minus 4,1 persen untuk Kosta Rika.
Berikutnya adalah aspek kelompok negara ekonomi menengah atas di kawasan ASEAN. Hanya ada tiga negara yang masuk dalam aspek ini, yakni Malaysia, Indonesia, dan Thailand.
Malaysia menjadi negara kelas menengah atas dengan pendapatan per kapita tertinggi di ASEAN, yakni 11.200 dollar AS. Pada posisi kedua adalah Thailand dengan 7.260 dollar AS.
Kali ini, pertumbuhan ekonomi triwulan II justru menjadi titik kontraksi ekonomi Indonesia. Fakta ini merupakan sebuah ironi, mengingat setiap triwulan II pertumbuhan ekonomi justru lebih sering tercatat menempati puncak tertinggi.
Namun, proyeksi pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut tidak jauh lebih baik dari Indonesia. Menurut proyeksi OECD, pertumbuhan ekonomi Malaysia pada 2020 akan turun hingga minus 3,9 persen, sementara Thailand jatuh lebih dalam menjadi minus 6,7 persen.
Yang terakhir adalah gabungan antara aspek ekonomi dan komposisi penduduk. Brasil menjadi satu-satuya negara dengan jumlah penduduk yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Di sisi lain, Brasil juga masuk dalam kelompok ekonomi menengah atas.
Jika dibandingkan, perekonomian Indonesia ke depan diprediksi akan jauh lebih baik dari Brasil. Berdasarkan proyeksi OECD, pertumbuhan ekonomi Brasil akan jatuh lebih dalam, hingga hampir tiga kali lipat dari Indonesia.
Secara umum, dari keempat aspek tersebut, tampak bahwa proyeksi pesimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia belum terlalu mengkhawatirkan jika dibandingkan negara-negara tersebut. Bahkan, berdasarkan skenario single hit yang dikeluarkan OECD, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan ekonomi dunia. (LITBANG KOMPAS)