Mengenal Pemuda Sukarni
Pemuda dalam perjuangan kemerdekaan mempunyai narasi penting dalam lintasan sejarah. Revolusi 1945 terjadi bukan karena peran cendekiawan yang teraleniasi ataupun kelas tertindas, melainkan oleh kesadaran kaum muda.
Sukarni termasuk tokoh sentral penggerak generasi muda pada masa revolusi 1945. Setelah Indonesia merdeka, Sukarni tetap berjalan di garis perjuangan untuk mengawal kemerdekaan. Kepedulian dan konsistensinya menjaga kemerdekaan ini patut menjadi model untuk generasi muda sekarang.
Pemuda dalam perjuangan kemerdekaan mempunyai narasi penting dalam lintasan sejarah. Menurut Benedict Anderson, dalam buku Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018), revolusi 1945 terjadi bukan karena peran cendekiawan yang teraleniasi ataupun kelas tertindas, melainkan oleh kesadaran kaum muda.
Salah satu pemuda itu adalah Sukarni, yang dikenal sebagai tokoh Rengasdengklok. Semangat Sukarni pada dunia pergerakan dimulai pada 1930, saat usianya menginjak 14 tahun. Pada tahun tersebut, Sukarni bergabung dalam organisasi Indonesia Muda. Pada tahun-tahun berikutnya, Sukarni juga aktif dalam organisasi lain, Suluh Pemuda Indonesia (SPI) dan Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia (Perpri).
Aktivisme Sukarni mulai dilirik pimpinan senior Partai Indonesia (Partindo) Ir Anwari, ketika Sukarni ikut membantu mendirikan Partindo di Blitar. Ia kemudian dikirim ke Bandung untuk menempuh latihan kader di bawah Soekarno. Pada 1934, Sukarni ditunjuk menjadi Ketua Indonesia Muda.
Semangat Sukarni pada dunia pergerakan dimulai pada 1930, saat usianya menginjak 14 tahun.
Pengalaman berorganisasi menjadikan Sukarni makin kritis terhadap kebijakan kolonial yang menindas. Oleh kolonial Belanda, Sukarni dicurigai melakukan kegiatan subversif menjelang pendaratan Jepang di wilayah Hindia-Belanda. Sukarni lari ke Kalimantan dan akhirnya tertangkap di Balikpapan.
Sukarni kembali pada masa pendudukan Jepang. Ia dan Chaerul Saleh dipercaya oleh Hitoshi Shimizu, pimpinan Departemen Propaganda Jepang (Sendebu), mengurus kegiatan pemuda di asrama yang terletak di Jalan Menteng 31. Tempat ini kemudian menjadi markas untuk melangsungkan pendidikan politik bagi pemuda.
Merujuk pada Dokumentasi Pemuda, Sekitar Proklamasi Indonesia Merdeka (1948), para pemuda di asrama Menteng 31 diam-diam juga mempelajari politik antifasis. Karena itu, bagaimanapun kerasnya usaha pembesar Jepang memengaruhi para pemuda, perlawanan berupa debat dan kritik terus terjadi.
Sosok Sukarni makin penting saat muncul upaya percepatan proklamasi kemerdekaan. Setelah berita kekalahan Jepang oleh pasukan Sekutu sampai ke telinga para pemuda, Sukarni dan tokoh muda lainnya seperti Chaerul Saleh, Adam Malik, Wikana, dan BM Diah segera menyusun rencana untuk mempercepat tercapainya kemerdekaan (Kompas, 19 Agustus 2006).
Terjadi perpecahan antara golongan tua dan golongan muda. Para pemuda menginginkan kemerdekaan Indonesia bukan hasil pemberian Jepang, sedangkan golongan tua bermain aman dengan tetap menjadi kolaborator Jepang.
Seteru ini memuncak pada 16 Agustus 1945, ketika para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke rumah milik Djiauw Kie Siong, pedagang di Rengasdengklok (Kompas, 28 Oktober 2013). Niatnya adalah mengasingkan Soekarno dan Hatta dari pengaruh Jepang.
Pemuda mendesak Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sukarni pun disebut sebagai sosok yang mengusulkan agar naskah proklamasi ditandatangani cukup oleh Soekarno dan Hatta dengan mengatasnamakan Bangsa Indonesia. (Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan, 2010)
Kelak, penculikan duo proklamator ini dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok yang menempatkan Sukarni dalam peta sejarah nasional Indonesia. Atas peristiwa ini pula, Presiden Joko Widodo menganugerahi Sukarni gelar pahlawan. Dalam rilis resmi Sekretariat Kabinet tertanggal 7 November 2014, gelar kepahlawan Sukarni diberikan atas perannya dalam penyegeraan proklamasi, perumusan naskah proklamasi, dan keberhasilannya menghimpun pemuda untuk mendukung proklamasi.
Penculikan duo proklamator ini dikenal sebagai Peristiwa Rengasdengklok yang menempatkan Sukarni dalam peta sejarah nasional Indonesia.
Ben Anderson menyebut Sukarni sebagai satu dari tiga pemuda yang paling terkemuka, bersama Chaerul Saleh dan Wikana, saat menjadi delegasi untuk sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sukarni tetap menunjukkan sikap kritisnya terhadap pemerintahan baru yang ikut dibangunnya. Ia bersama para pemuda Menteng 31 lainnya memprakarsai Rapat Raksasa di Lapangan Ikada (kira-kira di bagian tenggara Lapangan Monas sekarang) pada 19 September 1945. Peristiwa ini muncul karena ketidakpuasan terhadap kondisi dan struktur politik ketika itu.
Ia mengajukan mosi menuntut perubahan radikal dalam kepemimpinan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) agar selaras dengan kemauan rakyat. Tuntutannya kemudian dibahas dalam sidang pleno KNIP pada 16-17 Oktober 1945.
Merujuk pada buku Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, melalui cerita Hatta, Sukarni juga pernah menuntut Soekarno untuk mengundurkan diri. Alasannya, Soekarno memiliki titik lemah dalam kolaborasinya dengan sekutu setelah ia berpidato pada 31 Oktober 1945 yang menyerukan kebijakan untuk menenangkan sekutu.
Setelah kemerdekaan, Sukarni ikut mendirikan partai bersama Tan Malaka, yakni Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak). Dalam Soekarno: Biografi Politik (2017), Sukarni ditunjuk oleh Tan Malaka sebagai ketua Partai Murba. Pada Pemilu 1955, Partai Murba mendapatkan perolehan suara yang akhirnya mendudukkan Sukarni sebagai anggota Dewan Konstituante. Kariernya berlanjut menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat China sejak 1961 dan terakhir menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Kenangan Sukarni
Gedung Joang Menteng 31 di Jakarta dan Rumah Sunaryo 12 di Yogyakarta menyimpan jejak semangat muda Sukarni. Dua tempat tersebut menjadi saksi berlangsungnya diskusi dan pengambilan keputusan penting pada masa awal kemerdekaan.
Menteng 31 sudah dikenal umum sebagai tempat rapat-rapat pengorganisasian pemuda pada masa menjelang kemerdekaan. Merujuk Menteng 31 Membangun Jembatan Dua Angkatan (1966), rumah Menteng 31 diserahkan Shimizu kepada Sukarni untuk kepentingan pemuda (Kompas, 21 September 2007).
Kariernya berlanjut menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Rakyat China sejak 1961 dan terakhir menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Adapun rumah yang terletak di Jalan Sunaryo 12, Kotabaru, Yogyakarta (selanjutnya Rumah Sunaryo 12) juga memiliki peran penting dalam pergerakan Sukarni. Rumah ini mulai ditinggali keluarga Sukarni sejak 1938, sekaligus menjadi tempat berdiskusi tokoh-tokoh pergerakan.
Kenangan tentang Sukarni diceritakan oleh Parialuti Indarwati Sukarni (73). Wati, demikian ia biasa dipanggil, adalah anak ketiga dari lima bersaudara anak Sukarni. Pada Minggu (9/8/2020), secara daring, Kompas mengulik cerita mengenai rumah Sunaryo 12 ini. Wati menceritakan bahwa rumah Sunaryo 12 merupakan tempat tinggal masa kecilnya sebelum Sukarni, ayahnya, ditangkap Belanda. Berdasarkan cerita Wati, Rumah Sunaryo 12 juga menjadi tempat Sukarni, Adam Malik, Tan Malaka, dan para pelopor lainnya bertemu untuk mendiskusikan kemerdekaan.
Wati menuturkan, ia dan keluarga tinggal di Sunaryo 12 hingga tahun 1954 atau saat usianya delapan tahun. Rumah ini dulunya dilengkapi dengan galian lubang yang biasanya ditutupi dengan rerumputan untuk tempat ayahnya bersembunyi jika ada penggeledahan dari tentara Belanda.
Rumah Sunaryo 12 juga menjadi tempat Sukarni, Adam Malik, Tan Malaka, dan para pelopor lainnya bertemu untuk mendiskusikan kemerdekaan.
Wati menceritakan, ayahnya adalah seorang yang tenang dalam menghadapi kawan ataupun lawan. Ia adalah sosok yang selalu bersemangat dalam segala urusan, khususnya dalam mencari cara membantu rakyat. Cita-cita yang sejalan dengan garis ideologi Partai Murba, partai yang ia ketuai.
Semasa gerakan klandestinnya melawan Jepang, hidup berpindah-pindah menjadi hal yang lumrah bagi keluarga Sukarni. Wati menuturkan, ”Kami di tengah kehidupan yang always on the run dari Belanda ataupun Jepang. Bapak harus pergi dan dipenjara,” tuturnya.
Dari cerita Wati, sosok ayahnya adalah orang yang memiliki konsistensi dalam perjuangan kemerdekaan. Semangat muda Sukarni yang progresif dapat menjadi teladan, apalagi menjelang peringatan kemerdekaan, Agustus.
Tentu kita membutuhkan sosok-sosok Sukarni baru untuk mengisi kemerdekaan dengan tantangan zaman yang berbeda. Semangat juang pemuda 1945 perlu berkobar di dada pemuda milenial kini. (LITBANG KOMPAS)