Waspadai Bencana Pendidikan di Tengah Ancaman Resesi
Ada hampir 24 juta pelajar di seluruh dunia tak dapat melanjutkan pendidikan sebagai dampak lanjutan pandemi Covid-19. Situasi ini hanya bisa diatasi jika negara-negara memberi perhatian serius pada bidang pendidikan.
Resesi ekonomi yang melanda sejumlah negara dikhawatirkan bermuara pada bencana pendidikan. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan, hampir 24 juta pelajar tidak dapat melanjutkan pendidikan sebagai dampak lanjutan pandemi Covid-19.
Pada awal Agustus lalu, PBB merilis proyeksi jumlah pelajar putus sekolah di tengah pandemi berdasarkan prediksi Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Sepanjang tahun 2020 diperkirakan terjadi lonjakan angka putus sekolah seiring penutupan fasilitas pendidikan di sejumlah negara.
Putus sekolah menjadi ancaman di setiap jenjang pendidikan. Untuk tingkat pendidikan pradasar, sebanyak 5 juta pelajar diperkirakan tak akan mengecap jenjang pendidikan di tahun ini. Sebagian orangtua masih khawatir mendaftarkan anak mereka yang telah memasuki usia sekolah pradasar itu ke sekolah.
Putus sekolah diproyeksikan menjadi ancaman yang lebih serius pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sebanyak 10,9 juta pelajar di jenjang ini diperkirakan tak dapat melanjutkan pendidikan.
Kondisi yang sama berpotensi terjadi di jenjang perguruan tinggi. Sekitar 7,9 juta mahasiswa dikhawatirkan tidak lagi menempuh pendidikan di bangku perkuliahan akibat pandemi. Sebagian pelajar jenjang pendidikan menengah juga diproyeksikan tak melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Hingga 3 Agustus lalu, terdapat 1 miliar pelajar di dunia yang terkena dampak penutupan sekolah di 105 negara. Jika dibandingkan dengan total pelajar terdampak, proyeksi jumlah pelajar putus sekolah mencapai 2,4 persen.
Menurut PBB, dunia pendidikan diperkirakan akan mengalami dampak yang cukup parah sepanjang sejarah akibat Covid-19. Dampak ini dirasakan secara merata di seluruh dunia pada semua jenjang pendidikan. PBB menyebutnya sebagai education catastrophe atau bencana pendidikan.
”Temuan ini menekankan kebutuhan yang mendesak untuk memastikan kesinambungan pembelajaran bagi semua dalam menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, khususnya bagi kelompok yang paling rentan,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay dalam pernyataan resminya.
Faktor penyebab
Ancaman putus sekolah tersebar di sejumlah negara, khususnya negara-negara di Asia Selatan, Asia Barat, dan sebagian wilayah Afrika. Sebelum pandemi, beberapa negara di kawasan ini telah memiliki persoalan dalam bidang keberlanjutan pendidikan. Pandemi Covid-19 memperparah kondisi itu.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan ada banyak pelajar yang tidak dapat melanjutkan pendidikan. Pertama adalah kondisi ekonomi di suatu negara yang terdampak karantina wilayah. Akibatnya, sejumlah keluarga tidak memiliki penghasilan untuk membiayai pendidikan anak.
Dunia pendidikan diperkirakan akan mengalami dampak yang cukup parah sepanjang sejarah akibat Covid-19.
Situasi diperparah karena sejumlah negara di dunia tengah mengalami perlambatan ekonomi dan ancaman resesi yang berdampak pada semakin sempitnya lapangan pekerjaan. Kondisi ini tentu menghambat pemasukan keluarga, baik yang berasal dari sektor pekerjaan formal maupun informal.
Faktor berikutnya adalah penutupan sekolah dalam kurun yang cukup lama.
Bagi beberapa negara, terutama Afrika, kondisi ini bisa berdampak pada meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak dalam pergaulan di luar lingkungan sekolah.
Selain itu, angka perkawinan usia anak berpotensi meningkat. Bagi keluarga yang tidak mampu untuk membiayai kehidupan sehari-hari anak, perkawinan menjadi opsi dengan harapan anak memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Perkawinan juga dapat terjadi karena kehamilan pada remaja selama masa penutupan sekolah. Kondisi ini pernah terjadi di Afrika Barat saat berhadapan dengan wabah ebola tahun 2014.
Lampu kuning
Proyeksi yang dirilis PBB menjadi lampu kuning bagi Indonesia. Kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan negara-negara di Asia Barat, Asia Selatan, ataupun Afrika dalam hal putus sekolah. Hingga kini, persoalan putus sekolah belum dapat dituntaskan dalam setiap tahun ajaran.
Berdasarkan sebaran wilayah, terdapat beberapa daerah yang memiliki tingkat kerawanan putus sekolah cukup tinggi. Tingkat kerawanan diukur dari perbandingan jumlah siswa pada setiap jenjang pendidikan terhadap jumlah siswa yang putus sekolah pada tahun ajaran 2019/2020.
Baca juga: Pemerintah Diharapkan Fokus Mencari Solusi Persoalan Pembelajaran jarak Jauh
Provinsi Maluku, Papua, dan Papua Barat menjadi daerah utama yang memiliki kemungkinan kenaikan jumlah pelajar putus sekolah selama pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, tiga daerah ini menempati posisi tertinggi dalam hal persentase pelajar putus sekolah dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Untuk daerah Indonesia bagian barat, perhatian utama perlu ditujukan pada Aceh. Dibandingkan provinsi lainnya di Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan, persentase pelajar putus sekolah di Aceh adalah yang tertinggi pada tahun lalu.
Berdasarkan jenjang pendidikan, potensi putus sekolah tertinggi terdapat di jenjang pendidikan menengah. Pada tahun lalu, 59.259 pelajar tidak dapat melanjutkan pendidikan, baik di tingkat SMA maupun SMK. Secara persentase, tingkat putus sekolah pada jenjang pendidikan menengah lebih tinggi dibandingkan jenjang pendidikan dasar.
Ketahanan pendidikan
Di tengah pertumbuhan ekonomi negatif yang dialami Indonesia, keberlanjutan pendidikan perlu menjadi prioritas utama. Demi menjamin keberlanjutan pendidikan secara inklusif, UNESCO memberi rambu kebijakan yang dapat dilakukan oleh suatu negara.
Ketahanan pendidikan perlu menjadi konsep utama yang diusung selama pandemi Covid-19. Negara perlu menjamin keberlanjutan pendidikan yang inklusif pada semua pelajar di setiap jenjang pendidikan.
Untuk daerah Indonesia bagian barat, perhatian utama perlu ditujukan pada Aceh.
Demi menjamin ketahanan pendidikan, anggaran negara pada sektor ini perlu diproteksi agar tidak dimanfaatkan untuk sektor lainnya yang tak begitu mendesak. Selain itu, sektor pendidikan perlu mendapatkan porsi khusus dalam setiap paket kebijakan yang dilahirkan.
Bantuan khusus untuk pendidikan juga perlu diberikan kepada anak-anak dari golongan rentan putus sekolah. Apalagi, selama pembelajaran jarak jauh terdapat tambahan kebutuhan biaya pendidikan berupa paket data dan gawai bagi pelajar yang belum memilikinya.
Manajemen dan sistem pendidikan pun perlu kembali ditata dan disesuaikan dengan kondisi saat ini. Penataan manajemen pendidikan harus diiringi daya jangkau pelajar di setiap daerah demi menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif.
Bagaimanapun, pendidikan adalah gerbang masa depan bagi suatu negara. Gerbang ini tidak boleh tertutup meskipun ada tantangan berat penyelenggaraan pendidikan selama pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)