”Rem dan Gas” yang Dinanti Publik
Sebanyak 49 persen responden jajak pendapat ’Kompas’ menilai kebijakan pemerintah menitikberatkan pada penyelamatan ekonomi. Adapun 62,4 persen responden berharap pemerintah lebih mengedepankan kesehatan.
Langkah pemerintah membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mendapat respons positif publik dalam membangun optimisme. Ibarat mengendalikan ”rem dan gas”, pengendalian kedua bidang strategis itu jadi ujian penting pemerintah.
Dukungan pada pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional ini terbaca dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Sebanyak 71,5 persen responden menyatakan sudah tepat langkah pemerintah membentuk komite ini.
Langkah ini dipandang mampu memompa optimisme agar masyarakat tak patah arang dalam situasi perekonomian yang diterpa krisis akibat pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo membentuk komite lintas kementerian untuk menyinergikan aspek kesehatan dan ekonomi. Presiden menyatakan, manajemen krisis menghadapi Covid-19 bak ”gas dan rem” saat mengendalikan kendaraan, keduanya harus berjalan seimbang.
Sikap optimistis tecermin dari separuh lebih responden (61,1 persen) yang menyatakan keyakinannya bahwa komite itu akan dapat memulihkan perekonomian masyarakat. Hampir 60 persen responden juga meyakini komite ini akan bekerja dengan baik.
Meskipun demikian, komite dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Dampak pandemi pada kesehatan masyarakat diikuti beban ekonomi sehingga memperberat tugas komite. Data Badan Pusat Statistik 5 Agustus 2020 mencatat, pada triwulan II-2020 pertumbuhan perekonomian Indonesia minus 5,32 persen secara tahunan. Angka ini anjlok dari capaian ekonomi triwulan sebelumnya, yakni 2,97 persen.
Serangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai upaya menyelamatkan perekonomian tak sepenuhnya berbuah manis. Sebanyak 38,2 persen responden menilai kebijakan pemerintah tidak memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat.
Tanggapan publik terkait penanganan Covid-19 saat ini juga berimbang. Sekitar 44,3 persen responden menyatakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sejauh ini menitikberatkan pada upaya penyelamatan kesehatan. Sementara 49 persen responden justru menilai pemerintah lebih fokus pada penanganan perekonomian.
Baca juga: Lindungi Anak Indonesia dari Covid-19
Meski demikian, separuh lebih responden (62,4 persen) sebetulnya lebih berharap pemerintah lebih mengedepankan aspek kesehatan agar dapat menekan penyebaran Covid-19. Terlebih ketika jumlah kasus Covid-19 terus melonjak.
Di sisi lain, upaya untuk terus mengedukasi dan meningkatkan kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan terus digencarkan. Pada 4 Agustus 2020, Presiden Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Dalam inpres tersebut, Presiden meminta gubernur, bupati, atau wali kota menyusun dan menetapkan peraturan yang memuat sanksi terhadap pelanggaran protokol kesehatan. Pemberian sanksi diharapkan memberikan efek jera dan membangun disiplin masyarakat untuk tertib menjalankan protokol kesehatan.
Di awal masa pandemi, sebetulnya pemerintah telah mengambil langkah tegas melakukan karantina kesehatan. Selama beberapa bulan, sejumlah wilayah dengan jumlah kasus yang tinggi telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran Covid-19.
Namun, upaya menerapkan disiplin kesehatan justru berbenturan pada kepentingan menjaga stabilitas perputaran roda perekonomian. Selama pembatasan jarak diterapkan, ekonomi masyarakat terpukul. Banyak usaha skala kecil, sedang, ataupun besar harus gulung tikar hingga berimbas pada pemutusan hubungan kerja. Di tingkat rumah tangga, hal ini juga dirasakan responden. Separuh lebih dari responden mengaku pendapatannya banyak berkurang saat Covid-19.
Optimistis dan pesimistis
Tak dimungkiri, salah satu hal yang dinilai memicu penurunan pendapatan adalah penerapan PSBB. Sebagian besar responden (76,7 persen) menilai penerapan pembatasan sosial ini di satu sisi memang demi memutus rantai pandemi Covid-19, tetapi di sisi lain juga merugikan masyarakat secara ekonomi.
Jika sudah begitu, tak ada pilihan selain harus membuka kembali keran aktivitas perekonomian masyarakat. Pelonggaran pembatasan atau normal baru di tengah penyebaran Covid-19 yang belum cukup terkendali adalah potret nyata betapa dilematisnya kebijakan yang dipilih menghadapi Covid-19.
Sayangnya, publik saat ini cenderung belum merasakan perbaikan kondisi sepanjang penerapan PSBB. Akibatnya, mereka menjadi gamang. Hal ini membentuk pola respons yang cenderung berlawanan dalam hasil jajak pendapat. Hal ini terlihat dari kelompok responden yang optimistis dan pesimistis.
Kelompok responden yang optimistis (43,2 persen), menilai kebijakan penanganan perekonomian yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi, efektif. Kelompok ini menilai kebijakan pemerintah sudah berdampak positif menggerakkan perekonomian masyarakat. Sebut saja pemberian insentif, seperti bantuan sosial, yang paling jamak ditemui dan hal ini dirasakan manfaatnya langsung.
Hal tersebut juga dikuatkan responden—yang mengetahui program bantuan sosial di masa pandemi, seperti pembagian sembako, pemotongan biaya listrik, hingga program kartu prakerja—yang dinilai cukup baik memberi stimulus ekonomi.
Satu dari sepuluh responden mengaku mengetahui kebijakan pemberian insentif pajak dan stimulus UMKM. Seperti diketahui, pemerintah meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional yang menyasar sektor UMKM.
Namun, di kelompok responden lainnya (52 persen) menilai sebaliknya. Kelompok ini cenderung menilai ketidakefektifan langkah pemerintah yang tecermin dari belum membaiknya kondisi perekonomian secara umum.
Lebih kurang lima bulan sejak diterpa Covid-19, perekonomian Indonesia masih lesu dan kini bahkan berada di ambang resesi. Di kelompok responden pesimistis ini, sebagian besar mengaku mengalami penurunan pendapatan selama masa pandemi.
Kondisi pandemi yang serba tak pasti kian memperberat kerja pemerintah dan komite penanganan Covid-19 untuk memulihkan perekonomian dan menekan angka penyebaran Covid-19. Ketidakpastian ini menjadikan langkah penanganan serba dilematis untuk mengedepankan pertimbangan pada aspek kesehatan atau ekonomi masyarakat.
Kini, masyarakat berharap kepada pemerintah, terutama dengan keberadaan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Kinerja terbaik dari komite ini begitu dinanti publik untuk menyelamatkan ekonomi dari jurang resesi. Inilah saatnya pemerintah memainkan ”gas dan rem” secara seimbang agar kepentingan kesehatan dan ekonomi tetap menjadi prioritas guna menjamin kehidupan dan kesejahteraan seluruh bangsa.