Peluang kemenangan pasangan calon di pilkada yang lahir dari jalur politik dinasti juga menyimpan ketidakpastian. Meskipun demikian, jaringan kekerabatan politik, terutama dukungan simpatisan yang dibangun oleh generasi pendahulunya, menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan dibandingkan dengan pasangan calon tanpa modal kekerabatan.
Hal ini tergambar dari data yang menyebutkan bahwa, sepanjang 2015-2018, misalnya, dari 202 pasangan calon yang memiliki modal sosial dari jalur kekerabatan politik tidak semuanya berhasil mengoptimalkan modal tersebut untuk meraih kemenangan di pilkada. Dari jumlah tersebut, memang sebagian besar (57,9 persen) berhasil memenangi kontestasi, tetapi sisanya (42,1 persen) gagal di pilkada. Hasil ini menunjukkan tidak semua calon yang masuk melalui jalur kekerabatan dalam kontestasi akan dengan mudah meraih kemenangan.
Salah satu fenomena kekalahan telak adalah kasus Pilkada Kota Makassar 2018. Saat itu, pasangan Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi Yustitia Iqbal adalah pasangan tunggal di pilkada. Munafri dikenal sebagai keponakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dengan berbekal kekerabatan politik dan calon tunggal, tentu tampak mudah bagi pasangan ini memenangi pilkada. Namun, faktanya, Munafri-Rachmatika gagal memenangi pilkada karena suaranya kalah dari perolehan suara kotak kosong. Kemenangan kotak kosong di Pilkada Makassar ini menjadi sejarah baru dan pertama kali terjadi. Hal ini menjadi gambaran, politik kekerabatan tak menjadi jaminan sebuah kemenangan meskipun rekam jejak mencatat sebagian besar pasangan calon yang memiliki bekal kekerabatan politik cenderung memiliki peluang menang lebih besar dibandingkan dengan calon yang tanpa bekal dinasti.
Tidak heran jika kemudian Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang diusung PDI Perjuangan sebagai calon wali kota di Pilkada Surakarta, menepis anggapan ia maju karena politik dinasti. Dalam pernyataannya, Gibran menyebutkan bahwa semua kontestan di pilkada ditentukan oleh pemilih. Sementara itu, pernyataan menarik disampaikan juga oleh bakal wakil wali kota Tangerang Selatan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang merupakan keponakan Prabowo Subianto. Saras menyebutkan, dia tidak mau munafik bahwa kemunculan dirinya sebagai salah satu kontestan di pilkada tak lepas dari faktor kekerabatan.
Meskipun tidak menjamin kemenangan, bekal politik dinasti tetap menggiurkan bagi partai untuk mengusung sosok yang memiliki modal kekerabatan. Secara aturan, tidak ada larangan praktik berpolitik dengan mengedepankan kekerabatan, apalagi sejak pelarangan praktik dinasti politik yang tertera di Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dihapus oleh Mahkamah Konstitusi. Alasannya, aturan itu dinilai mengandung muatan diskriminatif dan membatasi hak berpolitik warga negara. Dengan begitu, persoalan dinasti politik sebetulnya terkait dengan etika kepantasan berpolitik.
Perekrutan politik
Politik dinasti menyisakan problem terkait perekrutan politik, terutama di internal partai. Kasus rekomendasi terkait politik kekerabatan, diakui atau tidak, muncul di banyak daerah menjelang pilkada 2020. Selain nama Gibran di Solo dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo di Tangerang Selatan, muncul nama Bobby Nasution di Medan, Irman Yasin Limpo di Makassar, dan daerah lainnya.
Fakta ini memperkuat bahwa fenomena politik dinasti berdampak pada problem perekrutan politik. Bagaimanapun salah satu fungsi partai dalam sistem politik demokrasi adalah melakukan penyaringan terhadap orang-orang terbaik untuk berpartisipasi dalam proses politik. Pemberian rekomendasi yang terkesan pragmatis kepada sosok dengan kekerabatan politik, seperti halnya kepada Gibran, Saras, dan yang lainnya, akhirnya melahirkan pertanyaan tentang fungsi dan kedudukan partai sebagai wadah bagi kaderisasi serta proses perekrutan politik secara adil dan transparan.
Hasan dan Rahat (2006), dalam Jurnal Politika Vol 11, No 1 Tahun 2020, menjelaskan, ada empat hal penting dalam perekrutan politik oleh partai. Pertama, terkait siapa yang dapat dinominasikan. Kedua, siapa yang melakukan seleksi. Ketiga, di mana calon diseleksi, dan keempat bagaimana calon diputuskan. Berdasarkan empat komponen tersebut, terdapat model pengelolaan perekrutan oleh partai secara inklusif ataupun eksklusif, serta sentralistik atau desentralistik.
Fenomena Gibran
Kasus rekomendasi di Pilkada Solo menarik dikaji dalam pendekatan ini. Secara administrasi, proses seleksi sesuai dengan mekanisme yang berlaku di PDI-P. Munculnya nama Gibran sebagai calon kepala daerah yang direkomendasi oleh partai sebetulnya tidak begitu mengejutkan, apalagi jika mekanisme perekrutan politik dilakukan oleh ketua umum dan pemimpin partai di tingkat pusat (DPP).
Dari sisi elektabilitas, sosok Purnomo sebagai wakil wali kota saat ini sebetulnya tak kalah kuat dibandingkan dengan Gibran. Mulusnya jalan politik Gibran dalam seleksi untuk mendapat dukungan dari PDI-P memang kental dengan nuansa pengaruh politik dari sosok Presiden Joko Widodo. Bagi PDI-P, berbeloknya pemberian rekomendasi kepada putra presiden tersebut bukan pertaruhan besar. Kota Solo merupakan wilayah politik PDI-P dengan penguasaan kursi legislatif mencapai 89 persen.
Kuatnya penguasaan suara PDI-P di Solo mengindikasikan siapa pun calon kepala daerah yang diusung PDI-P memiliki kesempatan menang besar. Dominasi PDI-P di Solo juga kian kuat dengan dukungan dari hampir seluruh fraksi di legislatif yang memutuskan untuk berkoalisi. Koalisi gemuk di Solo bahkan hanya menyisakan satu partai, yaitu PKS, yang memilih untuk tidak bergabung.
Jelang persiapan masa Pilkada, sejumlah survei mulai memunculkan nama Gibran dalam bursa pencalonan Wali Kota Solo. Hasil survei Universitas Slamet Riyadi pada Juli 2019, misalnya, menempatkan Gibran sebagai salah satu tokoh populer di Kota Solo. Saat itu, tingkat elektabilitasnya tak cukup tinggi, hanya sekitar 13 persen, tetapi hal ini menjadi awal yang hebat bagi calon kepala daerah pendatang baru seperti Gibran.
Lembaga survei lainnya, Solo Raya Polling, mencatat kenaikan elektabilitas Gibran. Pada Juni 2020, elektabilitas Gibran naik mencapai 55 persen dibandingkan pada Januari yang 40,4 persen. Adapun tingkat elektabilitas Purnomo turun 10 persen menjadi 36 persen pada Juni 2020.
Terlepas dari segala dinamika politik yang dilewatinya, kini sosok Gibran telah muncul sebagai calon wali kota Solo. Segala keistimewaan langkah politik dan warisan popularitas yang melekat pada Gibran semestinya dijadikan pemantik optimisme untuk membuktikan secara nyata kepada masyarakat bahwa dirinya memang layak untuk dipilih.
(Litbang Kompas)