Menguji Nilai Ekonomi Wisata Virtual
Demi mengobati kerinduan terhadap pengalaman berwisata akibat pembatasan sosial, pemerintah dan sejumlah pihak swasta menggelar wisata virtual. Namun, dampak pengganda wisata pada umumnya minim diberikan oleh wisata.
Demi mengobati kerinduan terhadap pengalaman berwisata akibat pembatasan sosial, pemerintah dan sejumlah pihak swasta menggelar wisata virtual. Namun, dampak pengganda wisata pada umumnya minim diberikan oleh wisata virtual.
Di tengah upaya pemerintah membangkitkan kembali sektor pariwisata dengan penerapan protokol kesehatan, berlangsung sejumlah wisata virtual yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersama sejumlah pihak swasta. Komunitas Jakarta Good Guide (JGG), misalnya.
JGG merupakan salah satu penyedia jasa wisata virtual yang berdiri sejak 2014. Selama Juli ini, lebih dari 10 tur virtual telah digelar JGG. Tur virtual yang ditawarkan berupa wisata dalam dan luar negeri. Hingga pertengahan bulan ini, JGG telah menyiapkan sejumlah wisata virtual yang dapat diikuti melalui aplikasi Zoom.
Baca juga: Wisata Virtual Jadi Normal Baru Pariwisata
Berbeda dengan JGG, pemerintah melalui Kemenparekraf tidak mengadakan tur virtual ke luar negeri, hanya berupa wisata domestik. Menurut catatan Kemenparekraf, dua jenis daya tarik wisata yang disajikan adalah wisata alam dan wisata budaya. Keduanya dapat diakses dalam fitur Google Arts and Culture (GAC).
Di antara keduanya, wisata alam yang ditawarkan secara virtual masih sangat minim. Dalam fitur GAC, hanya ditemukan wisata alam Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur. Lainnya, wisata alam Kebun Binatang Ragunan yang diselenggarakan secara mandiri oleh pengelola Ragunan.
Sementara lebih dari 10 wisata budaya telah ditawarkan. Candi Borobudur dan Situs Manusia Purba Sangiran di Jawa Tengah, Monumen Nasional (Monas) di DKI Jakarta, Museum Tsunami Aceh di Aceh merupakan beberapa wisata budaya yang ditawarkan Kemenparekraf.
Baca juga: Tetap Bertualang Tanpa Meninggalkan Rumah
Dampak ganda
Aktivitas wisata berdampak ganda (multiplier effect) pada sektor lain yang terkait, salah satunya penyediaan akomodasi dan makan-minum. Sektor tersebut menjadi yang paling erat kaitannya dengan pariwisata, di mana pariwisata biasanya berupa perjalanan dan membutuhkan tempat untuk singgah, seperti hotel.
Di sisi lain, penyediaan makan dan minum, seperti restoran, juga mendapat bagian besar dari aktivitas wisata. Berdasarkan data BPS, laju pertumbuhan sektor tersebut kian meningkat seiring dengan semakin besarnya kontribusi pariwisata terhadap PDB.
Dalam data laju pertumbuhan tahunan yang dipublikasikan BPS ditunjukkan bahwa pada 2019 sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum bisa tumbuh sebesar 5,80 persen. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 5,68 persen dan tahun 2017 sebesar 5,41 persen.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Konsep Pariwisata Baru Pascapandemi
Selain penyediaan akomodasi dan makan-minum, subsektor perdagangan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas wisata. Sebagai contoh perdagangan dari hasil usaha mikro kecil di sekitar lokasi wisata. Secara tidak langsung, ekonomi usaha kecil yang berjalan di sekitar lokasi wisata dapat menyejahterakan masyarakat di wilayah bersangkutan.
Penyumbang devisa
Selain kontribusi terhadap PDB, pariwisata dipilih sebagai sektor unggulan karena kemampuannya menghimpun penerimaan negara dalam bentuk devisa dari kunjungan wisatawan asing ke Indonesia.
Kontribusi devisa sektor pariwisata ini sangat penting bagi kesehatan neraca pembayaran Indonesia. Merujuk pada publikasi BPS, terdapat pertumbuhan devisa 25 persen dari sektor pariwisata menjadi 16,43 triliun dollar AS. Pertumbuhan itu terus meningkat dari tahun ke tahun, di mana tahun sebelumnya hanya tumbuh 14 persen.
Meningkatnya jumlah devisa yang mampu dihimpun sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia. BPS mencatat, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 15,81 juta orang pada 2018. Rata-rata pertumbuhan kunjungan wisman tahun 2009 hingga 2018 sebesar 14 persen per tahun.
Baca juga: ”Virtual Tour”, Solusi Wisata Saat Pandemi
Sektor pariwisata juga menjadi salah satu sektor yang mampu mengatasi masalah pengangguran di Tanah Air. Sejak 2016, lebih dari 10 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor pariwisata. BPS mencatat, 12,73 juta orang bekerja pada setidaknya delapan subsektor yang berkaitan, antara lain perdagangan, agen perjalanan, penyediaan akomodasi, dan tak ketinggalan, penyediaan makan-minum.
Dampak berganda yang diberikan sektor pariwisata berujung pada ketertarikan investor pada bidang ini. Mengutip dari publikasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), rata-rata pertumbuhan investasi di bidang pariwisata pada 2013 hingga 2017 adalah 20 persen per tahun hingga mencapai 1,7 miliar dollar AS pada 2017.
Hilangnya pengganda
Tanpa diduga, pandemi Covid-19 memorakporandakan dampak pengganda yang selama ini berjalan dari aktivitas wisata. Tur virtual oleh berbagai pihak pun agaknya kurang mampu menggantikan peran wisata secara langsung dalam memberi kontribusi yang besar bagi ekonomi nasional. Aktivitas wisata yang dilakukan dari rumah secara daring hanya mampu berdampak pada beberapa sektor tertentu.
Sebagai gambaran, wisatawan daring yang akan mengikuti tur virtual membayar tiket secara daring. Harga yang ditetapkan oleh sejumlah penyedia jasa tur virtual berkisar Rp 25.000 dan Rp 100.000. Jika diasumsikan jumlah peserta tur virtual sama dengan jumlah kunjungan wisatawan Nusantara 2018 sebanyak 303,4 juta orang, pendapatan tur virtual sebesar Rp 7,5 triliun hingga Rp 30,34 triliun.
Barangkali masih banyak masyarakat yang belum mengenal tur virtual sehingga jumlah kunjungan tidak sebanyak yang diperkirakan.
Pendapatan itu pun boleh jadi hanya menjadi milik pihak penyedia jasa tur virtual dan sektor komunikasi informasi, mengingat metode yang dilakukan secara daring. Bahkan, barangkali masih banyak masyarakat yang belum mengenal tur virtual sehingga jumlah kunjungan tidak sebanyak yang diperkirakan.
Sementara, berdasarkan catatan BPS, total pengeluaran wisatawan Nusantara pada 2018 mencapai Rp 291,02 triliun. Nilai itu terbagi pada setidaknya delapan sektor yang berkaitan dengan aktivitas wisata.
Melihat hal tersebut, boleh dikatakan bahwa tur virtual hanya menjadi gaya hidup pada adaptasi kebiasaan baru, sebagai pengganti wisata yang masih banyak ditutup akibat pandemi. Boleh jadi fenomenanya tidak akan berlangsung lama jika pandemi telah usai dan aktivitas wisata kembali normal. Sebab, salah satu hal penting yang dicari dari perjalanan wisata adalah pengalaman bersentuhan langsung dengan alam atau daya tarik wisata lainnya.
Pengaruhnya terhadap perekonomian pun sangat minim. Meski demikian, bukan tidak mungkin juga tur virtual akan tetap menjadi pilihan sebagian orang demi menjaga kewarasan di tengah pandemi yang belum kunjung berakhir.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar tur virtual memberi dampak bagi perekonomian adalah dengan menyediakan paket wisata yang di dalamnya terdapat bonus bingkisan berupa oleh-oleh. Cara tersebut dapat dilakukan dengan mengirim oleh-oleh khas lokasi wisata terkait kepada peserta.
Oleh-oleh tersebut dapat dikirim dalam bentuk paket melalui kurir. Meski dampaknya tidak sebesar wisata secara langsung, setidaknya mampu menambah pemasukan sejumlah usaha kecil pendukung wisata dan jasa kurir serta transportasi. (LITBANG KOMPAS)