Setelah ASEAN didirikan 53 tahun lalu, Indonesia masih berkutat dengan masalah kualitas pendidikan yang tertinggal dari beberapa negara tetangga di Asia Tenggara.
Oleh
MB DEWI PANCAWATI
·5 menit baca
Setelah ASEAN didirikan 53 tahun lalu, Indonesia masih berkutat dengan masalah kualitas pendidikan yang tertinggal dari beberapa negara tetangga di Asia Tenggara. Rendahnya mutu pendidikan berimbas pada lemahnya daya saing sumber daya manusia di tingkat regional ataupun global. Diperlukan upaya strategis agar pendidikan di Indonesia mampu mengatasi ketertinggalannya.
Pada tanggal 8 Agustus 1967, Indonesia bersama Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand menginisiasi berdirinya Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Perbara) atau lebih dikenal dengan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Perwakilan dari lima negara tersebut berkumpul di Bangkok, Thailand, untuk membuat kesepakatan yang dikenal dengan Deklarasi Bangkok. Deklarasi tersebut menegaskan kerja sama negara-negara Asia Tenggara dalam tiga pilar, yaitu politik keamanan, ekonomi, dan sosial budaya.
Pada 1984, keanggotaan ASEAN diperluas dengan bergabungnya Brunei Darussalam, disusul Vietnam pada 1995, kemudian Laos dan Myanmar tahun 1997. Terakhir, pada 1999, Kamboja menjadi anggota ke-10 ASEAN.
Salah satu tujuan dibentuknya ASEAN adalah memajukan pendidikan di kawasan Asia Tenggara dengan meningkatkan kerja sama pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi antar-anggotanya. Bentuk kerja sama yang terjalin antara lain pertukaran pelajar, pembentukan kurikulum sekolah di negara-negara ASEAN, dan sinkronisasi standar ijazah. Kerja sama diwujudkan pula lewat peningkatan ilmu pengetahuan di kalangan pemuda ASEAN dalam proses integrasi regional, pembentukan ASEAN University Network (AUN) yang menjadi jaringan kerja sama antar-universitas terkemuka di Asia Tenggara, serta pengembangan profesionalitas guru.
Indonesia, sebagai salah satu negara pendiri, berperan aktif dalam kerja sama tersebut. Namun, hingga usia ASEAN mencapai lebih dari setengah abad, performa pendidikan di Indonesia tak berubah secara signifikan.
Capaian bidang pendidikan Indonesia salah satunya bisa dilihat dari laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) tahun 2018. Laporan yang merupakan rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia itu menguji performa akademis siswa sekolah menengah dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains. PISA menempatkan Indonesia di papan bawah, yaitu peringkat ke-72 dari 78 negara. Posisi itu jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand, apalagi Singapura.
Kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains termasuk terendah di dunia.
Secara akumulatif, skor kemampuan siswa Indonesia hanya 1.146 poin. Angka ini merosot 3,4 persen dibandingkan dengan hasil PISA 2015 sebesar 1.186 poin. Bahkan, skor tersebut berada di bawah rata-rata OECD. Data menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains termasuk terendah di dunia.
Kondisi pendidikan di Indonesia juga bisa dilihat dari angka Indeks Pendidikan (Education Index) yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) dalam publikasi tahunannya bertajuk ”Human Development Report”. Berdasarkan rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah yang menjadi variabel penghitungannya, Indeks Pendidikan Indonesia tahun 2018 berada di posisi ketujuh dari sepuluh negara ASEAN. Indeks dengan skor 0,625 itu bahkan masih di bawah Vietnam dan hanya unggul dari Laos, Kamboja, serta Myanmar.
Indeks Pendidikan ini sangat penting sebagai salah satu parameter dalam menentukan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mengukur kesejahteraan penduduk suatu negara. IPM juga memberi gambaran bagaimana tujuan pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah secara berkesinambungan dan menilai implementasi dari strategi serta kebijakan pemerintah tersebut. Pada tahun 2018, IPM Indonesia berada pada urutan ke-111 dari 189 negara.
Di lingkup ASEAN, data IPM tahun 2017 menunjukkan bahwa tiga negara, yaitu Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia, masuk dalam kategori IPM sangat tinggi, sementara Thailand berada di kategori tinggi, dan sisanya, termasuk Indonesia, berada dalam kategori sedang.
Dilihat dari pertumbuhannya dalam 17 tahun terakhir pada tahun 2000 hingga 2017, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam mengalami pertumbuhan tercepat dengan nilai IPM meningkat sebesar 17,0 persen, 15,1 persen, 13,8 persen, dan 11,8 persen. Mereka diikuti oleh Singapura dan Thailand dengan peningkatan 11,2 persen dan 10,6 persen. Nilai IPM Indonesia, Filipina, dan Malaysia tumbuh sekitar 8 persen, sedangkan Brunei Darussalam meningkat sebesar 3,4 persen selama periode yang sama.
SDM di Indonesia masih kalah bersaing jika dibandingkan dengan negara lain.
Selain sebagai penyumbang yang signifikan bagi pembangunan ekonomi suatu negara, kualitas pendidikan yang baik akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas pula.
Dalam tataran ASEAN Community, bidang pendidikan yang merupakan dimensi kerja sama dalam pilar sosial budaya memiliki peranan penting guna membangun SDM terdidik, kompetitif, dan inovatif. Negara-negara anggota ASEAN akan memiliki daya saing yang kuat baik di tingkat Asia maupun global jika memiliki SDM yang berkualitas.
Kualitas pendidikan yang baik dari suatu negara akan berkorelasi positif terhadap daya saing negara tersebut. Hal ini bisa dilihat dari nilai Indeks Daya Saing Global (Global Talent Competitiveness Index/GTCI). GTCI adalah pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang dimiliki negara tersebut dengan salah satu indikatornya adalah pendidikan.
Dalam peringkat GTCI 2020, Indonesia berada di urutan kelima di antara negara ASEAN dan urutan ke-65 dari 132 negara di dunia. Bisa dikatakan bahwa SDM di Indonesia masih kalah bersaing jika dibandingkan dengan negara lain.
Salah satu cara meningkatkan daya saing tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang hingga saat ini masih menjadi masalah dan tantangan. Beberapa masalah yang membelenggu pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan dan kompetensi guru yang perlu diperbaiki.
Dalam catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, uji kompetensi guru (UKG) pada 2015-2017 memiliki angka rata-rata yang kurang dari 70 untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dari 3,9 juta guru, terdapat 25 persen guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52 persen belum memiliki sertifikat profesi.
Padahal, guru yang berkompetensi baik diharapkan mampu memenuhi hak-hak belajar anak, mengoptimalkan kualitas pendidikan siswa agar mampu bersaing di dunia global. Untuk itu, pemerintah harus fokus pada upaya strategis peningkatan kualitas guru sebagai garda terdepan pendidikan. Tanpa perbaikan kualitas guru, kualitas pendidikan yang memadai pun akan semakin jauh panggang dari api. (LITBANG KOMPAS)