Reklamasi, Untung atau Buntung?
Rencana reklamasi selalu dikaitkan dengan kepentingan publik. Namun, polemik terkait reklamasi selalu mengemuka, termasuk di kawasan pantai DKI Jakarta.
Reklamasi akan menambah cadangan lahan pengembangan kawasan untuk kepentingan publik. Namun reklamasi juga mengubah bentang alam.
Cerita polemik pelaksanaan reklamasi mengemuka beberapa tahun belakangan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2018 telah menghentikan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta dengan mencabut izin 13 pulau yang belum dibangun.
Namun, izin empat pulau (C, D, G, dan N) tidak dicabut karena sudah telanjur dibangun dan akan digunakan untuk kepentingan publik. Setahun kemudian, Pemprov DKI menerbitkan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk 932 bangunan yang pernah disegel di Pulau D. Izin diberikan karena pengembang berjanji akan memanfaatkannya untuk kepentingan publik.
Pulau C, D, dan G telah diubah namanya menjadi Pantai Kita, Maju, dan Bersama. Mengutip dari pemberitaan Kompas TV, Juli 2019, aktivitas dari ketiga pulau tersebut hanya ada di Pantai Maju yang dikelola menjadi pusat jajan kuliner.
Setelah polemik tersebut, setahun kemudian reklamasi di kawasan utara Jakarta kembali menjadi bahan perbincangan. Pemprov DKI Jakarta menerbitkan izin reklamasi perluasan kawasan wisata Taman Impian Jaya Ancol melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020.
Dalam surat yang terbit pada 24 Februari 2020 tersebut, kawasan wisata Dufan mendapatkan izin perluasan 35 hektar, sedangkan untuk Ancol 120 hektar. Disebutkan pula, untuk perluasan Ancol, lahan yang sudah terbentuk 20 hektar.
Lahan untuk perluasan Ancol tersebut terbentuk dari pembuangan lumpur dan pengerukan 13 sungai dan danau di Jakarta yang sudah dilakukan sejak 11 tahun yang lalu. Pembuangan sedimentasi ke Ancol tersebut tertera dalam perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dengan pengelola Ancol tertanggal 13/04/2009.
Baca juga: Ruang Abu-abu Reklamasi Ancol
Reklamasi Ancol
Menengok kembali pada cerita reklamasi Ancol tahun 1981. Reklamasi Ancol saat itu bukanlah yang pertama di Jakarta. Aktivitas reklamasi awalnya dilakukan pada 1979-1980 oleh PT Harapan Indah yang mereklamasi kawasan Pantai Pluit dengan penimbunan. Daerah baru yang terbentuk digunakan untuk permukiman mewah Pantai Mutiara.
Reklamasi Ancol dilakukan di sisi utara untuk pembangunan industri dan rekreasi. Setelah Ancol, giliran hutan bakau Kapuk yang direklamasi untuk kawasan permukiman mewah Pantai Indah Kapuk. Tahun 1995, menyusul reklamasi yang digunakan untuk industri, yakni Kawasan Berikat Marunda.
Setelah sisi utara, PT Pembangunan Jaya Ancol kembali merencanakan reklamasi untuk memperluas kawasan. Reklamasi yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala DKI Jakarta Nomor 812 Tahun 1980 tersebut terbagi dalam beberapa tahapan.
Tahap pertama adalah perluasan wilayah industri Ancol Barat dan pembuatan pulau I/semenanjung daerah rekreasi. Selanjutnya adalah reklamasi Ancol Barat, dilanjutkan dengan pembuatan pulau II di daerah rekreasi dan tahap terakhir adalah pembuatan rekreasi Ancol Timur.
Baca juga: Sengketa Pulau Reklamasi Masih Berlanjut
Pembangunan reklamasi tersebut selama delapan tahun untuk pengembangan wilayah Ancol dari semula 510 hektar menjadi 753 hektar. Proyek ini membutuhkan material urukan pasir sebanyak 8,6 juta meter kubik.
Mengutip dari pemberitaan Kompas (29/4/1997), Wali Kota Jakarta Utara mengeluarkan surat izin bagi PT Pembangunan Jaya untuk mengambil pasir tahap pertama sebanyak 800.000 meter kubik di perairan Teluk Jakarta.
Proses pengurukan pantai ini merupakan bagian dari proyek raksasa reklamasi pantai Jakarta seluas 2.700 hektar. Rencana reklamasi Pantai Utara Jakarta ini dilandasi oleh Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 dengan panjang pantai 32 kilometer dan lebar 1,5 kilometer.
Reklamasi tersebut mengubah Pantai Ancol berada di tengah daratan. Tanah uruk yang diperlukan sekitar 200 juta meter kubik. Tanah uruk diambil dari pasir laut dan juga dari sedimentasi 13 sungai di Jakarta. Tanah uruk dari sedimentasi tersebut sekarang menjadi 20 hektar lahan di seberang Ancol Beach City.
Baca juga: Nirwono Joga: Reklamasi Ancol bBerkutat pada Kepentingan Bisnis Wisata
Definisi Reklamasi
Sesudah reklamasi Ancol lanjutan mendapatkan lampu hijau, Gubernur Anies Baswedan dalam siaran pers video di akun Youtube Pemprov DKI Jakarta, pertengahan Juli lalu, menyatakan perbedaan reklamasi Ancol. Gubernur mengatakan, reklamasi Ancol berbeda dengan reklamasi 17 pulau yang izinnya telah dicabut pada 2018.
Dalam hal ini, reklamasi Ancol termasuk pada tipe yang menyambung dengan daratan. Dari bentuknya, reklamasi tersebut memang berbeda dengan 17 pulau.
Namun, aktivitas perluasan daratan tersebut tetaplah disebut dengan reklamasi. Beberapa definisi reklamasi dari berbagai sumber menyebutkan, reklamasi pada prinsipnya adalah pembuatan daratan baru di pantai, laut, atau bantaran sungai.
Reklamasi, menurut UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurukan, pengeringan lahan, atau drainase.
Baca juga: Janji Hentikan Reklamasi: Syarat dan Ketentuan Berlaku
Adapun menurut penelitian Ruchyat Deni Djakapermana berjudul ”Reklamasi Pantai sebagai Alternatif Pengembangan Kawasan (2013), reklamasi adalah proses pembentukan lahan baru di pesisir atau bantaran sungai.
Kawasan reklamasi berdasarkan bentuk fisiknya dibagi tiga. Pertama, menyambung dengan daratan, kawasan daratan lama yang berhubungan langsung dengan daratan baru. Kedua, terpisah dari daratan, memisahkan daratan lama yang berupa kawasan yang memiliki karakteristik khusus dengan daratan baru. Terakhir, gabungan antara terpisah dan menyambung dengan daratan.
Ada empat sistem yang bisa diterapkan untuk melakukan reklamasi, yakni dengan sistem polder, timbunan, kombinasi timbunan dan polder, serta sistem drainase. Reklamasi Ancol yang telah jadi 20 hektar tersebut dibangun dengan sistem timbunan yang menguruk pantai dengan sedimentasi danau dan 13 sungai Jakarta.
Bahan uruk yang digunakan untuk perluasan Ancol dan Dufan tersebut berbeda dengan reklamasi Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk, ataupun kawasan Ancol yang sekarang telah menjadi kawasan wisata.
Beberapa definisi reklamasi dari berbagai sumber menyebutkan, reklamasi pada prinsipnya adalah pembuatan daratan baru di pantai, laut, atau bantaran sungai.
Kepentingan Publik
Hampir setiap rencana reklamasi selalu dikaitkan dengan kepentingan publik. Menelusuri pemberitaan Kompas saat awal reklamasi dilakukan di Jakarta, disebutkan sebagai sarana untuk menambah ruang pembangunan Jakarta yang nantinya akan digunakan untuk pembangunan fasilitas publik, permukiman, kawasan industri, serta komersial. Pembangunan fasilitas tersebut semua untuk masyarakat ataupun akan memberikan multiplier effect bagi masyarakat.
Pada Oktober 1995 Gubernur Wiyogo Atmodarminto menyatakan, reklamasi merupakan satu-satunya cara menambah luas daratan Ibu Kota. Alasannya, perluasan ke selatan sudah tidak mungkin lagi karena merupakan daerah konservasi.
Hal senada juga disebutkan oleh Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja pada Juni 1996. Reklamasi pantai utara Jakarta seluas 2.700 hektar dimaksudkan untuk memberikan ruang bagi warga Jakarta dalam mendapatkan permukiman yang layak. Dengan adanya reklamasi, dimungkinkan bagi pantai yang semula tertutup manjadi terbuka untuk umum. Reklamasi atau penambahan luas daratan ditujukan untuk memperbaiki lingkungan.
Selain itu, alasan lainnya untuk mengembangkan kawasan utara Jakarta. Mengutip pemberitaan Kompas, Gubernur Sutiyoso pada 12 April 2003 menyebutkan program reklamasi pantai utara Jakarta seluas 2.700 hektar tersebut menyangkut beberapa masalah lain yang krusial. Masalah itu di antaranya komitmen kepada investor dan keuntungan dari reklamasi itu akan dimanfaatkan untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara.
Dalam Keputusan Gubernur Nomor 2485 Tahun 2015 yang mengatur pembangunan di setiap pulau, ada kewajiban bagi perusahaan pengelola pulau untuk membangun sejumlah fasilitas umum, seperti rumah susun, penataan kawasan, meningkatkan dan membangun jalan, membangun infrastruktur pengendalian banjir, termasuk pompa dan rumah pompa, waduk, saluran, dan pembangunan tanggul.
Gubernur Anies Baswedan dalam akun Youtube Pemprov DKI pun menyebutkan reklamasi ini untuk kepentingan publik. Selain untuk melindungi warga dari banjir Ibu Kota, juga akan menjadi tempat wisata yang bisa diakses publik.
Namun, dari beberapa proyek reklamasi yang telah dilaksanakan di Jakarta, belum ada yang benar-benar digunakan untuk kepentingan publik. Sebut saja reklamasipProyek Pantai Mutiara dan hutan bakau kapuk yang digunakan untuk permukiman mewah.
Menyusul reklamasi Ancol 1980-an yang digunakan untuk pariwisata. Meski demikian, untuk memasuki kawasan wisata pantai tersebut, masyarakat harus membeli tiket masuk yang harganya juga tidak murah, yakni Rp 25.000 per orang plus tiket sepeda motor Rp 15.000 dan Rp 25.000 untuk mobil.
Dampak Negatif
Reklamasi dengan tujuan apa pun, untuk perluasan wilayah, cadangan lahan, ataupun untuk kepentingan publik, tetap akan berdampak negatif pada lingkungan. Reklamasi pantai yang telah dilakukan di Pantai Mutiara, hutan bakau, dan Ancol pun juga telah merugikan lingkungan.
Sejumlah pihak menuduh reklamasi Pantai Pluit mengganggu sistem PLTU Muara Karang. Diduga, ini terjadi akibat adanya perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU.
Selanjutnya, bahan baku reklamasi yang dulu menggunakan pasir laut yang konon kabarnya berasal dari perairan Kepulauan Seribu. Meski tidak diakui oleh pemerintah, nyatanya sejumlah pulau tenggelam di perairan Untung Jawa, di antaranya Pulau Air Kecil, Payung Kecil, Ubi Besar, Ubi Kecil, Dapur, serta Gosong Pabelokan (Kompas, 18/8/1995).
Meski urukan yang dipakai sekarang tak lagi menggunakan pasir laut, sedimentasi dari sungai dan danau berpotensi menambah beban pencemaran Teluk Jakarta. Sungai dan danau di Jakarta hampir semuanya telah tercemar bahan polutan yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika ada polutan yang masuk ke waduk atau danau, polutan cenderung tidak berpindah dan turun ke sedimen (Kompas, 12/7/2020).
Sebelum menimbun sedimen dasar sungai/saluran/danau, harus diteliti dulu kualitasnya sehingga tidak menimbulkan pencemaran pada lingkungan sekitarnya. Hal tersebut merujuk hasil penelitian Mardi Wibowo dari Balai Teknologi Infrstruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai BPPT tahun 2017. Alasannya, biota laut, baik flora ataupun fauna, pun bisa mati karena timbunan tanah urukan tersebut. Hal ini bisa memengaruhi ekosistem yang ada.
Hal ini sudah terjadi di Jepang pada proyek reklamasi di sekitar Pelabuhan Tokyo. Mengutip paper penelitian Rene Kolman dari International Association of Dredging Companies (IADC) tahun 2012, pencemaran air disebabkan oleh urukan tanah dalam proyek reklamasi.
Pedoman Perencanaan Tata Ruang Reklamasi Kawasan Pantai yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum (2007) menyebutkan, pentingnya memilih material urukan yang bergradasi baik. Artinya, secara teknis mampu mendukung beban bangunan di atasnya.
Sumber galian yang biasanya dipilih adalah dengan melakukan pengeprasan bukit atau pulau tak berpenghuni. Cara lain yang relatif lebih aman dapat dilakukan dengan cara mengambil material dengan melakukan pengerukan dasar laut di tengah laut dalam.
Dampak lainnya, sistem hidrologi gelombang air laut yang jatuh ke pantai akan berubah dari sistem alaminya. Berubahnya alur air akan mengakibatkan daerah di luar reklmasi akan mendapat limpahan air banyak. Ke depan, kemungkinan akan terjadi abrasi, tergerus, atau mengakibatkan terjadinya banjir rob.
Paparan Alan Frendy Koropitan, pakar Ocean Modelling Institut Pertanian Bogor, tahun 2015, menyebutkan, reklamasi mengakibatkan sirkulasi arus di tengah teluk melemah dan menurunkan waktu retensi teluk dalam mencuci bahan pencemar yang masuk dari daratan.
Dampak yang timbul adalah sedimentasi, eutrofikasi, dan penumpukan logam barat. Sebenarnya, dalam Pedoman Perencanaan Tata Ruang Reklamasi Kawasan Pantai, sebelum memanfaatkan sebuah kawasan sebagai lokasi reklamasi harus ada sejumlah persyaratan, di antaranya penyusunan dokumen amdal, UKL/UPL, analisis dampak lingkungan lalu lintas, serta mengenakan biaya dampak pembangunan.
Namun, karena proses pengurukan tersebut merupakan perjanjian kerja sama antara PT Pembangunan Jaya Ancol dan Pemprov DKI Jakarta sejak 2009, ketentuan penyusunan dokumen amdal baru akan dilakukan. Pihak Ancol diberi kesempatan untuk memenuhinya dalam jangka waktu enam bulan sejak terbitnya keputusan gubernur.
Reklamasi di pantai utara Jakarta ini akan terus menimbulkan perdebatan. Pemerintah akan selalu beralasan reklamasi perlu dilakukan untuk perluasan wilayah yang ujungnya berdampak bagi kepentingan publik. Namun, kenyataannya selama ini, warga Jakarta tidak pernah merasakan langsung dampak positif reklamasi tersebut. Sebaliknya, mereka menerima dampak negatif yang perlahan mulai berpengaruh pada lingkungan. (LITBANG KOMPAS)