Benci dan Rindu Politik Dinasti
Politik dinasti dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan merugikan. Namun, tak jarang praktik ini menjadi ”jalan pintas” bagi partai untuk mendulang kemenangan di pilkada meski pada akhirnya kompetensi tetap jadi kunci.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 9 Desember mendatang tidak lepas dari praktik politik kekerabatan. Meski kerap dikritik dan dinilai buruk, pandangan yang melihat praktik ini sebagai sesuatu yang wajar juga muncul dan berkembang di tengah persepsi publik.
Hasil jajak pendapat Kompas pada pekan lalu mencatat, sebagian besar responden memang gerah dengan praktik politik dinasti. Sebanyak 60,8 persen responden menganggap politik kekerabatan ini sebagai sesuatu yang buruk. Sikap ini bisa jadi dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap latar belakang pencalonan para kerabat pejabat di pilkada.
Jika dilihat dari sisi usia responden, misalnya, di kelompok responden usia muda (17-30 tahun), resistensi mereka terhadap politik dinasti lebih besar. Dalam kelompok responden ini, sebanyak 67,9 persen menilai politik dinasti sebagai praktik yang buruk.
Sikap berbeda terlihat di kelompok responden yang berusia di atas 50 tahun. Anggapan soal politik dinasti di kelompok tersebut justru cenderung terbelah. Sebanyak 47,3 persen dari kelompok ini menilai politik dinasti buruk, sedangkan sebagian lainnya (34,4 persen) menilai sebaliknya. Data ini menunjukkan isu soal politik dinasti cenderung dipersepsikan buruk oleh anak-anak muda dibandingkan dengan mereka yang sudah paruh baya.
Sebagian besar responden memang gerah dengan praktik politik dinasti. Sebanyak 60,8 persen responden menganggap politik kekerabatan ini sebagai sesuatu yang buruk.
Terlepas dari faktor usia, anggapan negatif terhadap politik dinasti juga tidak lepas dari persepsi yang melihat bahwa mereka yang maju hanya mengandalkan kedekatan kekerabatan semata. Sepertiga lebih responden (36 persen) beranggapan kerabat pejabat yang mencalonkan diri dalam pilkada semata-mata hanya mengandalkan hubungan kekerabatan tersebut.
Anggapan ini tentu tidak lepas dari munculnya sejumlah nama yang sebelumnya tidak memiliki rekam jejak dalam kerja-kerja publik tiba-tiba muncul dalam bursa pencalonan kepala daerah hanya karena nama-nama tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh ataupun pejabat publik.
Sebaliknya, hampir sepertiga responden lain (28,2 persen) justru cenderung tidak resisten dengan fenomena politik dinasti ini. Bahkan, mereka menilai praktik ini baik dan wajar saja sebagai bagian dari proses demokrasi yang memungkinkan siapa pun memiliki hak sama untuk dipilih ataupun memilih dalam kontestasi politik.
Pandangan kelompok responden ini selaras dengan persepsi mereka yang melihat sosok dalam bursa pencalonan pada pilkada Desember mendatang juga memiliki kapasitas, tidak sekadar mengandalkan sebagai kerabat pejabat.
Sebanyak 23,1 persen responden menganggap bakal calon kepala daerah ataupun calon wakil kepala daerah yang berasal dari kerabat pejabat publik tidak hanya bermodal kekerabatan semata.
Mereka juga didukung oleh kompetensi yang dimiliki, bahkan lebih dari sepertiga responden (34,4 persen) menilai mereka mencalonkan diri murni karena kompetensi pribadinya. Artinya, tidak mengandalkan hubungan kekerabatan tersebut.
Hampir sepertiga responden lain (28,2 persen) justru cenderung tidak resisten dengan fenomena politik dinasti ini. Bahkan, mereka menilai praktik ini baik dan wajar saja sebagai bagian dari proses demokrasi yang memungkinkan siapa pun memiliki hak sama untuk dipilih ataupun memilih dalam kontestasi politik.
Regulasi
Salah satu upaya untuk menjembatani antara sikap yang resisten dan terbuka dengan praktik politik dinasti ini adalah menggunakan regulasi yang ada. Tentu, jika kita merunut soal aturan main, terutama dalam pilkada, sampai saat ini tidak ada aturan yang melarang atau membatasi secara khusus politik dinasti ini. Salah satu aturan yang pernah dibuat adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada terkait larangan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana.
Sebelum dibatalkan, pasal itu melarang sosok yang memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu. Mereka boleh maju setelah melewati masa jeda satu kali masa jabatan.
Pasal tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai membatasi hak politik warga negara untuk dipilih sebagai kepala daerah. Dengan adanya putusan MK itu, baik calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah yang memiliki hubungan kerabat dengan petahana dapat maju dalam pilkada tanpa harus menunggu jeda satu periode setelah petahana tidak menjabat. Menariknya, regulasi yang mengatur khusus terkait politik kekerabatan ini dinilai oleh separuh lebih responden (58 persen) ke depan tetap diperlukan, baik berupa larangan maupun pembatasan.
Baca juga : Dinasti Politik dan Korupsi yang Berulang
Makin menguat
Tiadanya regulasi yang membatasi ataupun melarang pada akhirnya juga makin memperkuat praktik politik dinasti ini. Salah satunya ditunjukkan oleh peneliti dari Northwestern University, Yoes C Kenawas, yang khusus meneliti soal politik dinasti. Yoes mencatat ada peningkatan signifikan praktik politik dinasti di Indonesia, terutama setelah dilaksanakannya pilkada serentak.
Ada peningkatan signifikan praktik politik dinasti di Indonesia, terutama setelah dilaksanakannya pilkada serentak.
Data menyebutkan, pada Pilkada 2013 ada 39 kerabat pejabat publik yang maju dan memenangi kontestasi. Angka ini melambung tinggi pada Pilkada 2015 sampai 2018. Dalam rentang waktu tersebut, terdapat 202 calon kepala dan wakil kepala daerah yang merupakan kerabat pejabat publik. Dari angka tersebut, 117 orang berhasil terpilih dan 85 lainnya gagal. Artinya, lebih dari separuh atau 58 persen dari calon kepala daerah yang merupakan kerabat pejabat publik terpilih.
Menurut Yoes, menguatnya praktik politik dinasti didorong oleh empat faktor, yakni sistem pemilu yang ramah terhadap dinasti politik dan fokus ke sosok (person), institusi partai yang lemah dan memiliki hubungan dengan dinasti politik, masih rentannya praktik manipulasi, dan masih adanya segmen pemilih loyalis atau permisif terhadap praktik politik dinasti.
Tak ayal, mengusung calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat publik menjadi opsi yang praktis bagi partai. Alih-alih menyiapkan dan mengusung kadernya sendiri, partai akan cenderung memilih calon kerabat pejabat publik yang didukung oleh modal kapital, sosial, dan politik yang mapan.
”Jadi, ada simbiosis mutualisme antara parpol dan dinasti. Di satu sisi, dinasti membutuhkan parpol untuk endorsement dalam pemilu. Di sisi lain, parpol mengandalkan dinasti politik untuk dapat membantu pembiayaan operasional partai. Selain itu, dinasti politik juga pendulang suara yang besar dalam pemilu,” ungkap Yoes.
Ada simbiosis mutualisme antara parpol dan dinasti. Di satu sisi, dinasti membutuhkan parpol untuk endorsement dalam pemilu. Di sisi lain, parpol mengandalkan dinasti politik untuk dapat membantu pembiayaan operasional partai.
Relasi yang saling menguntungkan antara partai dan politik dinasti inilah yang pada akhirnya menjadikan praktik ini lebih banyak dirindukan oleh partai dibandingkan dengan harus dihindari. Apalagi, resistensi terhadap praktik politik kekerabatan bukan berarti menutup peluang mereka maju dalam pilkada. Jika dibarengi kompetensi yang mumpuni, peluang calon yang bermodal dinasti justru cenderung makin kuat. Jajak pendapat mencatat, sebagian besar responden (69,1 persen) mengaku akan memilih calon karena kemampuannya, tanpa peduli dia memiliki hubungan kekerabatan atau tidak dengan pejabat publik.
Pada akhirnya, kompetensi memang menjadi kunci dan modal bagi calon dan partai pengusung untuk berlaga di pilkada. Ke depan, tantangannya adalah bagaimana menjadikan kompetensi tetap menjadi ukuran yang obyektif bagi publik untuk memilih. Partai politik tidak semestinya hanya sekadar mengandalkan hubungan kekerabatan sehingga mereka cenderung lebih merindukan praktik ini dibandingkan dengan membangun kaderisasi politik di internal partainya.
Jika praktik ini semakin menguat tanpa dibarengi kompetensi, bukan tidak mungkin penilaian buruk yang sudah ada malah lebih mengental dengan terbangunnya ketidaksukaan publik pada praktik politik dinasti. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pilkada Dinasti Politik