Memastikan Perkembangan Anak di Tengah Pandemi
Dampak pandemi Covid-19 juga menyasar perkembangan anak di Indonesia. Selama masa pandemi, tiga persoalan besar yang dihadapi anak-anak adalah risiko infeksi yang cukup tinggi, ancaman kekerasan oleh orang terdekat
Dampak pandemi Covid-19 juga menyasar perkembangan anak di Indonesia. Selama masa pandemi, tiga persoalan besar yang dihadapi anak-anak adalah risiko infeksi yang cukup tinggi, ancaman kekerasan oleh orang terdekat, hingga keterbatasan pendidikan daring.
nak-anak menjadi salah satu kelompok rentan terinfeksi virus korona. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mencatat, anak-anak mampu menularkan virus kepada orang lain, sama seperti kelompok usia lainnya. Artinya, dalam beberapa kasus, mereka masuk dalam kategori kasus konfirmasi tanpa gejala atau orang tanpa gejala.
Indonesia mencatat ada 86.521 kasus infeksi Covid-19 hingga 19 Juli 2020, di mana 8,1 persennya adalah anak-anak. Artinya, dari 100 orang terinfeksi, di antaranya ada 8 anak ikut terinfeksi virus korona.
Baca juga : Anak-anak Tetap Tumbuh Kala Pandemi
Dibandingkan Amerika Serikat, persentase kasus anak-anak secara nasional jauh lebih besar. Data per 9 Juli 2020, persentase kasus positif anak sebesar 7,6 persen di seluruh AS. Di tingkat regional, tingkat kematian anak akibat virus korona di Indonesia tertinggi di seluruh ASEAN.
Selain kasus positif, laju kasus kematian anak secara nasional tercatat sekitar 1 persen. Artinya, jika ada 100 anak terinfeksi, maka ada 1 anak yang meninggal. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, kematian anak didominasi oleh komorbid pneumonia pada anak.
Risiko kematian pada anak juga tinggi sebab populasi anak dengan komorbid cukup besar. Jenis komorbid yang mendominasi adalah kurang gizi, anemia, diare, dan pneumonia. Selain itu, pelacakan kasus pada anak juga belum optimal.
Baca juga : Presiden Jokowi Minta Anak-anak Indonesia Tetap Semangat Belajar dari Rumah
Potensi anak-anak terinfeksi meningkat seiring dengan kurangnya literasi virus korona dari lingkungan sekitar, khususnya orangtua. Kondisi itu menunjukkan pentingnya pembinaan untuk anak-anak, khususnya yang masih di tingkat sekolah dasar.
Pembatasan jarak saat bermain atau bertemu orang lain sulit dilakukan secara rutin. Oleh sebab itu, memastikan anak-anak beraktivitas sesuai protokol kesehatan menjadi sangat penting. Minimal ada tiga hal, yaitu menjaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan.
Mempertimbangkan situasi infeksi virus pada anak, inovasi layanan kesehatan tingkat keluarga harus diutamakan. Selain itu, kesadaran orangtua untuk secara mandiri memantau anaknya juga sangat dibutuhkan.
Kekerasan
Polemik yang harus dihadapi anak-anak berikutnya di tengah pandemi adalah ancaman kekerasan. Praktik kekerasan terhadap anak yang terjadi terdiri dari kekerasan fisik hingga psikologis. Secara nasional, ada 9.565 kasus selama empat tahun terakhir.
Indonesia telah mengatur perlindungan anak melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Upaya menjamin keselamatan anak bernilai mutlak di hadapan hukum. Regulasi itu juga menjelaskan definisi anak, yaitu seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Perlindungan anak merujuk pada segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Baca juga : Satu dari Dua Anak di Dunia Mengalami Kekerasan
Sementara tindak kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Persoalan kekerasan anak tak terbatas secara nasional, tetapi menjadi masalah bersama di tingkat global. Laporan Status Global tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Anak 2020 yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menggambarkan situasi genting, di mana satu dari dua anak di dunia mengalami kekerasan.
Kondisi itu menggambarkan kegagalan publik dunia dalam mencegah kekerasan terhadap anak, mulai dari kekerasan fisik, seksual, hingga psikologis. Perjuangan untuk membebaskan anak dari ancaman kekerasan masih jauh dari kata usai.
Baca juga : Moderasi Konten Medsos untuk Cegah Eksploitasi Anak Korban Kekerasan
Selama masa pandemi, anak-anak dihadapkan pada risiko pelecehan dan kekerasan oleh orang terdekat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI pun mencatat tingginya angka kekerasan yang dialami anak selama pandemi.
Setidaknya ada lebih dari 2.800 kasus kekerasan anak di seluruh Indonesia hingga Juni 2020 dengan total korban mencapai 980 anak. Bentuk kekerasan anak paling dominan adalah kekerasan secara seksual (1.660 kasus).
Belajar daring
Tekanan terhadap anak di masa pandemi korona bukan hanya dari aspek kesehatan dan kekerasan. Bagi anak-anak, pandemi telah mengubah banyak hal, termasuk sistem pendidikan yang berubah ke sistem daring.
Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) mencatat sekitar 60 juta anak di berbagai jenjang pendidikan terpaksa harus belajar di rumah.
Sebagai upaya menekan penyebaran infeksi virus korona, Pemerintah Indonesia memutuskan memperpanjang penerapan pembelajaran jarak jauh hingga akhir tahun 2020. Hal serupa disarankan juga oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Selain jaminan kesehatan yang diutamakan melalui program belajar daring, pemerintah harus memastikan mutu pendidikan tidak turun. Sebab, pada beberapa kasus tertentu, anak-anak lebih mudah jenuh atau malas.
Baca juga : Tips Sukses Belajar Daring, Optimalkan 20 Menit Pertama dan Perhatikan Porsi Istirahat
Setidaknya ada tiga masalah utama penerapan belajar dari rumah, yaitu kualitas pendidikan dapat turun, siswa jenuh, malas, atau stres, demikian juga orangtua dengan pengalaman yang sama, serta daerah yang tidak punya akses teknologi makin tertinggal.
Kualitas pendidikan tidak sebatas diukur melalui selesainya tugas yang dikerjakan oleh siswa. Namun, sekolah harus dapat memastikan siswa memiliki kemampuan pemahaman yang makin meningkat setiap minggunya.
Mempertimbangkan dinamisnya sistem pendidikan saat ini di tengah pandemi Covid-19, pengawasan dan evaluasi pendidikan harus dilakukan secara rutin.
Kualitas pendidikan tidak sebatas diukur melalui selesainya tugas yang dikerjakan oleh siswa.
Penerapan pembelajaran jarak jauh juga memiliki implikasi psikologis kepada siswa, berupa perasaan negatif ketidakmampuan menguasai materi belajar. Siswa juga dituntut untuk cepat melakukan penyesuaian akademis di tengah keterbatasan interaksi sosial.
Ketidakpastian sistem pendidikan daring, mulai dari intensitas pemberian tugas, standar nilai, hingga evaluasi akademis dan bimbingan konseling, membuat situasi ini tidak mudah.
Masalah terakhir adalah akses internet yang tidak merata di seluruh Indonesia selain kepemilikan perangkat elektronik. Berdasarkan Statistik Telekomunikasi Indonesia 2018, provinsi dengan persentase penduduk dapat mengakses internet lebih dari 50 persen hanya DKI Jakarta (65,89 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (55,45 persen), Kepulauan Riau (53,74 persen), dan Kalimantan Timur (50,25
persen).
Situasi pandemi Covid-19 juga belum dapat dipastikan kapan akan berakhir. IDAI memberikan lima saran penting tentang bagaimana anak beraktivitas di tengah wabah.
Pertama, anak-anak dianjurkan untuk tetap berada di dalam rumah. Kedua, setiap orang yang kembali dari aktivitas di luar rumah wajib melepas dan membersihkan semua pakaian serta perangkat yang digunakan, kemudian mandi sampai bersih sebelum kontak dengan anak.
Ketiga, orangtua dan keluarga tidak membawa anak ke tempat umum, seperti taman, pusat rekreasi, perbelanjaan, atau tempat-tempat kerumunan. Keempat, apabila anak dibawa keluar rumah, anak menggunakan masker, pelindung wajah, dan sesering mungkin cuci tangan.
Baca juga : Infrastruktur Pendukung Belajar Daring di Jateng Bakal Dikebut
Terakhir, protokol kesehatan saat anak berada di luar rumah harus dilakukan dengan persiapan, seperti anak didampingi orangtua atau pengasuh, menjaga jarak 2 meter, menjauhi orang sakit, mencuci tangan sesering mungkin, serta menghindari memegang mulut, mata, dan hidung.
Ini semua perlu dilakukan untuk memastikan keselamatan dan tumbuh kembang anak di masa pandemi Covid-19.
(LITBANG KOMPAS)