Memahami Resiliensi Masyarakat di Masa Pandemi
Kemajuan teknologi membuat resiliensi masyarakat saat ini diwarnai oleh informasi menyesatkan yang terjadi secara masif.
Sejarah menunjukkan bahwa sejak dahulu kala masyarakat Indonesia kreatif dalam menghadapi berbagai peristiwa, pandemi salah satunya. Masyarakat punya mekanisme ketahanan sosial yang dibangun bersama-sama untuk melalui situasi yang disebut bencana.
Pandemi oleh virus korona penyebab penyakit Covid-19 bisa disebut juga sebagai bencana. Disebut demikian karena kejadiannya tidak diprediksi sebelumnya, menimbulkan disrupsi di tengah masyarakat, melumpuhkan fungsi sosial, lingkungan, dan ekonomi yang ada, serta memerlukan sumber daya yang sangat besar untuk memulihkannya.
Pandemi oleh virus korona ini masuk dalam kategori bencana akibat interaksi antara ulah manusia dan perubahan alam. Sama halnya dengan perubahan iklim yang sekarang berlangsung.
Para ahli psikologi mendefinisikan resiliensi sebagai suatu proses adaptasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam menghadapi situasi yang menyengsarakan, trauma, tragedi, ancaman, atau hal lain yang menimbulkan stres di berbagai lingkup sosial (American Psychological Association). Dalam kelompok sosial masyarakat, resiliensi menumbuhkan dukungan bersama (social support) dan kohesivitas antara satu dan yang lain karena situasi yang dihadapi membuat masyarakat harus bersatu dan mencari jalan keluar bersama-sama.
Proses menuju resiliensi ini tidak terjadi secara instan. Ada beberapa fase yang timbul dan harus dilalui. Dimulai dari munculnya reaksi pengingkaran dan penolakan, mencari kambing hitam, hingga akhirnya timbul kesadaran dan mengakui kondisi yang dihadapi, lalu dicari resolusi untuk mengatasinya.
Dalam mengatasi kondisi bencana, sisi humanisme dikedepankan. Ada informasi bersama yang dianggap akurat yang menjadi landasan untuk saling mendukung. Kelompok membantu anggotanya yang lemah dan membutuhkan perhatian.
Dalam rentang waktu seabad lamanya, reaksi dan resiliensi dalam menghadapi masa pandemi sekarang tidak jauh berbeda dengan masa lampau. Ada persamaan dan perbedaannya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kita belum banyak mengalami kemajuan meski juga tidak bisa dikatakan mundur dalam beberapa langkah.
Baca juga: Mengukur Ketakutan Kita terhadap Virus Korona
Persamaan
Profesor Hans Pols, seorang pakar mengenai sejarah kesehatan Indonesia dari University of Sydney, bercerita pada forum kuliah daring yang diselenggarakan Center for Public Mental Health Universitas Gadjah Mada. Pada masa pandemi Flu Spanyol periode 1918-1920 yang juga melanda Indonesia, reaksi masyarakat pada awalnya juga mengingkari atau menolak. Flu Spanyol dianggap sebagai flu biasa. Tidak ada yang baru sehingga ditangani secara pasif.
Datangnya penyakit tersebut juga dianggap sebagai hukuman dari Tuhan bagi umat manusia. Demikian masyarakat memandang dari segi agama.
Untuk mengatasinya, masyarakat pada waktu itu ada yang melakukan ritual bakar kemenyan. Pengobatan-pengobatan tradisional dengan mengandalkan tanaman herbal yang banyak terdapat di sekitar juga tak kurang dilakukan, seperti meminum jus buah kelapa ”Sunan Lepen”.
Resiliensi masyarakat pada masa itu sebelum ditemukannya vaksin adalah melakukan segala upaya, sekreatif mungkin, untuk mengatasi flu baru tanpa bergantung pada pemerintah Hindia Belanda. Dengan pengetahuan yang sangat minim soal kesehatan dan penularan penyakit, masyarakat berusaha untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Ketika Indonesia berulang kali didera penyakit kolera, resiliensi masyarakat tampak dari upaya melakukan pembenahan kampung karena sanitasi yang buruk dituding jadi penyebabnya. Karantina diberlakukan pula bagi masyarakat Indonesia yang pulang dari melakukan ibadah haji, terutama berlokasi di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu, Jakarta).
Baca juga: Belajar Menangani Wabah Global dari Pandemi Flu Spanyol 1918
Terhadap wabah penyakit pes (plague atau black death), resiliensi dilakukan antara lain melalui upaya isolasi, penggunaan belerang, hingga perbaikan rumah masyarakat dengan menyingkirkan material dari bambu. Bambu dienyahkan dari material pembuat bangunan rumah karena bambu menjadi tempat berkembangbiaknya tikus yang menjadi penyebab penyakit pes.
Ketika penyakit malaria melanda, salah satu resiliensi masyarakat adalah dengan memasang kelambu agar terhindar dari gigitan nyamuk. Upaya lainnya adalah dengan menguras bak, menutup tempat penampungan air, dan membersihkan lingkungan agar tidak menjadi sarang nyamuk.
Bagaimana respons dan resiliensi masyarakat sekarang di masa pandemi Covid-19? Pada mulanya, pengingkaran terhadap wabah yang menyerang secara cepat ini juga terjadi sehingga upaya isolasi atau pembatasan sosial terlambat dilakukan. Juga muncul anggapan yang meremehkan tingkat keberbahayaan virus, yang bahkan muncul dari pejabat pemerintah, sehingga korban terus bertambah.
Meskipun ada pengingkaran, kepanikan sempat terjadi yang ditunjukkan dengan membeli persediaan bahan makanan dan produk kesehatan secara berlebihan (panic buying). Akibatnya, harga jadi melonjak. Kesalahan tafsir agama juga muncul ketika ada anggapan virus korona adalah tentara Allah yang diturunkan terkait penyiksaan kelompok Muslim Uighur di China.
Namun, resiliensi juga muncul dari kelompok masyarakat terkecil, seperti rukun tetangga atau kampung dalam mengamankan wilayahnya dari penularan virus korona. Pemasangan spanduk dengan berbagai macam kalimat interpretasi nan lucu dan pengamanan sudut-sudut kampung turut berhasil memonitor pergerakan warga. Tempat-tempat isolasi lokal di kampung dengan sumber daya terbatas pun bermunculan.
Perbedaan
Meski demikian, ada hal yang membedakan di tengah upaya resiliensi yang selalu muncul di tengah masyarakat. Perbedaan itu terletak pada faktor edukasi kesehatan masyarakat (public health). Pada masa lalu, edukasi kesehatan masyarakat masih minim akibat masih sedikitnya kaum terpelajar dan sulitnya menjangkau wilayah yang luas dengan sarana yang terbatas.
Sementara edukasi kesehatan masyarakat di masa sekarang sudah jauh lebih baik karena tingkat pendidikan masyarakat saat ini yang sudah lebih tinggi dengan sarana dan infrasruktur yang juga lebih baik.
Dengan kelebihan yang dipunyai sekarang, pada kenyataannya reaksi dan resiliensi yang timbul di masa pandemi kali ini tidak jauh berbeda dengan masa lampau. Bahkan, jika melihat banyak kejadian di berbagai daerah terkait perampasan jenazah pasien diduga terkena Covid-19, bisa dikatakan ada yang salah dalam resiliensi masyarakat sehingga memperburuk keadaan. Resiliensi masyarakat berjalan ke arah yang berlawanan.
Hans Pols melihat setidaknya terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian di Indonesia di masa pandemi kali ini. Ketiga hal tersebut adalah adanya pengabaian ilmu pengetahuan terkait wabah sehingga informasi yang beredar tidak akurat, meningkatnya hoaks, dan lemahnya kepemimpinan di berbagai tingkatan pengambil keputusan.
Baca juga: Mengenali Karakter Hoaks Covid-19
Ilmu pengetahuan terabaikan karena pengingkaran dan menginginkan cara cepat untuk keluar dari bencana Covid-19, di mana penemuan vaksin biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sementara model kepemimpinan dibutuhkan untuk pengambilan kebijakan yang cepat, efektif, dan konsisten dalam membendung penyebaran virus dan membangun kesamaan langkah tanpa saling mempertentangkan.
Terkait hoaks, laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informasi pada tanggal 17 Juni 2020 menyebutkan, tercatat 850 hoaks yang muncul sejak awal kehadiran pandemi di negeri ini. Secara rata-rata, 6-7 hoaks dibuat dan disebarkan setiap hari. Sebanyak 104 pelaku penyebaran hoaks tersebut telah ditindak oleh pihak kepolisian.
Mayoritas isi hoaks tersebut terkait dengan resep obat yang dapat menyembuhkan penyakit Covid-19. Disusul dengan kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang saling dipertentangkan.
Agar bisa berhasil melalui masa pandemi yang penuh dengan ketidakpastian ini, resiliensi di tingkat masyarakat lokal harus bisa ditingkatkan dengan arah pemahaman yang lebih benar. Untuk itu, tiga hal yang disampaikan Hans Pols tersebut harus bisa diperbaiki. (LITBANG KOMPAS)