Menanti Solusi PDI-P Pasca-27 Juli 1996
Peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 masih membekas di benak masyarakat, terutama para korban.
Peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 masih membekas di benak masyarakat, terutama para korban. Sepatutnya, momen ini menjadi pengingat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk tetap berjalan di koridor revolusi memperjuangkan demokrasi Indonesia.
Sebulan lalu, melalui laman resminya, PDI-P mengeluarkan rilis media yang berisikan seruan prinsip dan arah partai. Melalui Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto, peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli dijadikan rujukan sebagai pijakan moral PDI-P. Semangat revolusioner kembali digaungkan dengan mengedepankan dialog dan musyawarah.
Memang, peran PDI-P dalam sejarah reformasi pada 1998 di Indonesia tidak dapat diabaikan begitu saja. Semangat revolusi ini tetap terpelihara hingga akhirnya PDI-P, yang berganti nama dari PDI, menang dalam pemilu serentak 7 Juni 1999. Pemilu ini menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Baca juga : Kudatuli, Luka Demokrasi, dan Penantian atas Sikap Negara
Setelah kemenangan itu, PDI-P terus membangun basis pendukung dan bersaing secara ketat dengan rival-rivalnya. Hingga kini, PDI-P sudah tercatat tiga kali memenangi pemilu, yakni pada 1999, 2014, dan 2019. Meski begitu, penyelesaian kasus Kudatuli belum juga menemui titik terang.
Setahun lalu, pada peringatan 20 tahun Kudatuli, Komnas HAM diundang PDI-P untuk duduk bersama di Kantor Sekretariat DPP PDI-P, Jakarta. Berdasarkan catatan Komnas HAM, sehari setelah terjadinya peristiwa Kudatuli, investigasi dilakukan di bawah pimpinan Asmara Nababan dan Baharuddin Lopa. Dalam investigasi tersebut ditemukan indikasi terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
Pasalnya, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, terdapat korban 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Kerugian materiil akibat peristiwa kelam ini diperkirakan Rp 100 miliar. Nama baik para korban yang dituduh sebagai pelaku pemicu kerusuhan pun belum juga direhabilitasi.
Lihat juga : Kudatuli, Sebuah Catatan Kelam Demokrasi
Intinya, terdapat berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran itu meliputi pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, serta pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Penyelesaian kasus ini memang pelik karena kerap menyeret sederet nama tokoh penting di Indonesia. Nama-nama tokoh politik seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Zacky Anwar Makarim, Haryanto, Joko Santoso, Alex Widya Siregar, dan Sutiyoso kerap muncul karena jabatan militer yang diemban mereka kala itu. Di sisi lain, isu tuduhan komunisme turut menyerang tubuh Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dipelopori Budiman Sudjatmiko.
Tudingan kepada aktivis PRD sebagai dalang Kudatuli bagai kisah yang dikubur dalam, tetapi tetap menyisakan luka bagi demokrasi. Terdapat kisah, sejumlah aktivis PRD yang lantang bersuara kemudian dijemput paksa oleh aparat, menjalani interogasi, diadili oleh Kejaksaan Agung, hingga mendekam di jeruji tahanan. Stigma negatif atas komunisme ini menjadi bayang-bayang bagi para aktivis PRD yang kala itu masih berstatus mahasiswa.
Skor kinerja kemajuan HAM di Indonesia masih rendah.
Di antara sejumlah aktivis yang diduga kuat dihilangkan seusai peristiwa itu, salah satunya adalah Wiji Thukul. Saat itu, ia mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Divisi Propaganda PRD dan editor Suluh Pembebasan (media rilis Partai Rakyat Demokratik).
Hingga kini, setiap tahun peristiwa Kudatuli diperingati oleh para korban dan pegiat HAM. Aksi Kamisan ke-594 pada 25 Juli 2019 pun secara khusus mengundang para korban dan saksi kasus Kudatuli untuk kembali mengingatkan agar peristiwa ini tidak dilupakan. Bahkan, pada 2004, peristiwa Kudatuli diperingati PDI-P secara besar-besaran di lokasi kejadian meski peringatan kala itu sarat dengan pesan kampanye setelah kekalahan PDI-P dalam pemilu April 2004.
Momen peringatan Kudatuli dari tahun ke tahun sepatutnya tidak berhenti pada orasi dan romantisisme elite politik saja. Diperlukan penyelidikan dan penyelesaian yang serius dari pemerintah. Jika dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan kasus pelanggaran HAM akan terus terjadi mengingat tumpulnya hukum yang berlaku.
Dalam Indeks Kinerja HAM 2019 oleh Setara Institute, ditunjukkan bahwa skor kinerja kemajuan HAM di Indonesia masih rendah. Dari skala 1-7 (tujuh adalah skor tertinggi), skor total yang didapat adalah 3,2. Artinya, persoalan HAM masih menjadi persoalan menahun dan tidak tertutup kemungkinan akan terus terjadi jika tidak ada tindakan serius.
Gejolak internal
Latar insiden Kudatuli kerap dikaitkan dengan peristiwa Kongres IV PDI di Medan (Kongres Medan) yang menetapkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Suara partai tidak bulat. Buktinya, pada 24-25 Juli 1993, dalam kongres yang sama, Kelompok 17 (Marsoesi, Jusuf Merukh, dan Duddy Singadilaga) menduduki arena kongres. Aksi ini berbuntut keputusan Menko Polkam Soesilo Sudarman mengatakan, Kongres Medan tidak sah dan akan digelar kongres luar biasa (KLB) di Surabaya.
KLB PDI di Surabaya digelar pada 2-6 Desember 1993 dan mempertemukan Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri sebagai tokoh kuat yang bersaing. Lagi-lagi, KLB PDI di Surabaya menemui jalan buntu. Dengan mengantongi sejumlah dukungan kuat, Megawati menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto.
Kepemimpinan Megawati kian dikukuhkan dengan Musyawarah Nasional (Munas) PDI pada 22 Desember 1993 di Kemang, Jakarta Selatan. Secara aklamasi, dirinya didukung para peserta munas. Meski begitu, gejolak belum selesai dan tubuh PDI masih rentan.
Lihat juga : Mengenang Kudatuli di DPP PDI Perjuangan
Terlebih, pihak eksternal partai, dalam hal ini pemerintahan Orde Baru, kurang ”setuju” dengan terpilihnya Mega. Di era Orba, siapa ketua umum partai politik, dalam hal ini Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan PDI, perlu ”restu” atau persetujuan Soeharto. Tampilnya pemimpin parpol yang bisa berkompromi diharapkan terus melanggengkan kekuasaan Soeharto yang sudah didukung Golongan Karya.
Sementara di kubu PDI pro-Megawati muncul Partai Rakyat Demokratik yang punya kesamaan visi untuk menyuarakan reformasi. Semua dukungan ini lantaran aksi Soerjadi yang membentuk panitia penyelenggara KLB berikutnya di Medan dengan dukungan 15 dari 27 anggota DPP PDI. Mayoritas hadirin di KLB ini pengurus inti DPC PDI yang dinilai mengingkari aspirasi konstituen mereka di sejumlah kota.
KLB di Medan pun akhirnya terlaksana pada 20-23 Juni 1996. Karena Megawati absen saat itu, Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Dugaan adanya campur tangan pemerintah saat itu menguat karena kongres ini diadakan setahun sebelum Pemilu 1997.
Setelah itu, para pendukung Megawati setiap hari menggelar mimbar demokrasi di halaman Kantor DPP PDI dan di sejumlah kota di Tanah Air. Aksi ini nyatanya turut menghimpun dukungan golongan prodemokrasi dari berbagai kelompok untuk menentang pemerintah Orde Baru
Aksi yang terus berlanjut ini dikabarkan mengancam pemerintah dan PDI kubu Soerjadi. Isu komunisme dan dukungan Partai Komunisme Indonesia (PKI) dari waktu ke waktu terus diembuskan. Akhirnya, tragedi kerusuhan pada Sabtu kelabu itu terjadi.
Penantian panjang
Imbas tragedi Kudatuli berujung pada penantian para korban dan pegiat HAM agar kasus ini segera diselesaikan. Harapan mereka pun turut disandarkan kepada PDI-P agar mampu bersuara lantang dan tidak lelah mendorong penyelesaian kasus ini. Faktanya, sudah dua periode PDI-P menduduki puncak pemerintahan dan tidak ada proses pengusutan lebih lanjut.
Kembali pada semangat revolusi yang digaungkan PDI-P, Kudatuli sudah sepatutnya menjadi momen penting yang tidak hanya dijadikan momen nostalgia revolusi. Sudah 24 tahun tragedi itu berlalu dan revolusi belum juga bertransformasi menjadi solusi.
Kudatuli sudah sepatutnya menjadi momen penting yang tidak hanya dijadikan momen nostalgia revolusi.
Jiwa dan gagasan perjuangan Presiden Soekarno perlu terus diingat, seperti yang ditulis dalam Pidato 1 Juni 1945. Di awal, Soekarno menyampaikan istilah philosofische grondslag atau fundamen, pikiran mendalam dan hasrat untuk menjadikan Indonesia merdeka. Dari sinilah Pancasila dilahirkan dan kemerdekaan menjadi mimpi seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja, hukum yang tegak atas pelanggaran HAM menjadi ”kemerdekaan” belum kunjung diperoleh.
Refleksi atas tragedi Kudatuli dan Pidato 1 Juni 1945 sepatutnya diterapkan dalam keputusan dan kebijakan partai dalam panggung politik hingga saat ini. Memang, dibutuhkan keberanian dan jiwa besar bagi PDI-P untuk dapat mengamalkan amanat Presiden Soekarno di kancah politik saat ini.
(LITBANG KOMPAS)