Kisah Vaksin Era Kolonial: Ditolak dan Dihindari
Sejarah mencatat, vaksin menjadi persinggungan antara penduduk Nusantara dan pengobatan modern. Penolakan vaksin menjadi lembaran kelam upaya perlawanan terhadap wabah.
Vaksin menjadi titik awal persinggungan antara penduduk di kepulauan Nusantara dan pengobatan modern pada awal abad ke-19. Dalam menghadapi cacar dan kolera, vaksin merupakan jalan keselamatan di tengah minimnya sarana pengobatan kala itu. Namun, pemberian vaksin ternyata sempat menuai penolakan dari masyarakat di zaman itu.
Beberapa abad silam, sebagian daerah di Indonesia pernah berhadapan dengan ganasnya penyakit menular. Posisi Indonesia yang terletak di jalur perdagangan internasional menjadi salah satu faktor penyebab penyebaran sejumlah penyakit.
Salah satu penyakit yang menjadi ancaman serius di beberapa wilayah di Indonesia beberapa abad silam adalah cacar. Menurut catatan Spanyol dan Portugis, cacar telah menjadi penyakit yang menyebabkan kematian sebagian penduduk di Maluku dan Ternate pada tahun 1558.
Anthony Reid, sejarawan Australian National University, dalam buku Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (1988) menuliskan, cacar merupakan penyakit yang sangat ditakuti di wilayah Asia Tenggara pada abad ke-16 dan ke-17. Sebagian penduduk di Pulau Kalimantan bahkan meyakini penyakit itu disebabkan oleh roh cacar yang menyerang setiap 40 tahun.
Penyakit cacar masuk ke Batavia pada tahun 1644. Pada abad ke-18 hingga abad ke-19, penderita cacar semakin meluas dan ditemukan di beberapa daerah lainnya di Pulau Jawa, seperti Bogor, Semarang, Banten, Priangan, Yogyakarta, dan Surakarta.
Peneliti senior KITLV Leiden, Peter Boomgaard, dalam tulisannya berjudul ”Smallpox, Vaccination, and The Pax Neerlandica, Indonesia, 1550-1930” mengungkapkan, terdapat beberapa faktor meluasnya penularan cacar di Indonesia pada era kolonial. Pertama, jalinan kontak dagang antara orang Eropa dan pedagang di setiap daerah. Kedua, sistem perdagangan budak yang saat itu masih diterapkan juga menjadi faktor penyebaran penyakit cacar di kota-kota pelabuhan.
Baca juga: Mengharap Vaksin
Vaksin cacar
Masifnya penyebaran penyakit cacar turut menjadi perhatian pemerintahan kolonial. Pengajar Sejarah Universitas Gadjah Mada, Baha’ Uddin, dalam jurnal Humaniora (2006) menuliskan, upaya pengobatan modern pertama dilakukan tahun 1779 oleh seorang dokter muda Belanda bernama J van der Steege.
Upaya pencegahan yang digunakan adalah variolasi, yakni dengan membangun antibodi dengan memanfaatkan virus cacar ringan. Upaya ini dilakukan pada 100 orang di Batavia hingga tahun 1781. Dalam tindakan ini, masih ditemukan satu anak yang meninggal akibat cacar.
Vaksin cacar akhirnya tiba di Batavia pada Juni 1804 setelah dikirim dari pusat pengembangan vaksin di Geneva, Swiss. Inilah vaksin pertama setelah cacar menyebar di kepulauan Nusantara selama lebih dari dua abad. Pada tahun yang sama, vaksin juga dikirim ke daerah lainnya, seperti Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya.
Saat Sir Thomas Stamford Bingley Raffles menjadi gubernur jenderal Hindia-Belanda, keputusan penting ditelurkan dengan melakukan vaksin secara besar-besaran di Pulau Jawa. Bogor, Pasuruan, hingga Banyuwangi merupakan beberapa target daerah perluasan vaksin.
Hingga tahun 1818, pemberian vaksin cacar atau pencacaran telah dilakukan kepada 50.420 penduduk di Pulau Jawa dan Madura. Jumlah ini terus meningkat hingga tahun 1820 menjadi 83.237 orang.
Pengiriman vaksin ke Batavia semakin masif pada tahun 1870. Vaksin diterima setiap dua hingga tiga bulan setelah lahirnya perhimpunan untuk memproduksi vaksin cacar di Belanda. Kelangkaan vaksin yang sempat dialami Batavia mulai teratasi.
Hingga tahun 1875, lebih dari setengah juta orang di Pulau Jawa telah divaksin cacar. Pencacaran ini meningkat hingga 10 kali lipat dalam kurun waktu setengah abad.
Baca juga: Menunggu Vaksin Covid-19
Penolakan
Pemberian vaksin cacar kepada penduduk di Jawa dan Madura tidak sepenuhnya berjalan mulus. Penolakan dilakukan oleh masyarakat yang saat itu masih memiliki tradisi dan ikatan erat dengan metode pengobatan tradisional.
Di Madura, misalnya, masyarakat setempat belum percaya dengan efektivitas vaksin dalam mencegah penyakit cacar saat awal kedatangan vaksin di Pulau Jawa. Pada beberapa pemerintahan lokal di Jawa, vaksinasi juga dilarang karena dinilai sebagai jalan untuk menolak takdir.
Berita bohong juga disebarkan di Madiun pada tahun 1831. Para orangtua tidak ingin mengantarkan anak-anaknya untuk diberi vaksin karena tersiar kabar bahwa anak-anak yang dikumpulkan akan dijadikan makanan buaya yang dipelihara oleh Residen Madiun (Baha’ Uddin, 2006).
Namun, kendala ini kemudian berhasil disiasati dengan merekrut mantri cacar. Para calon mantri sebelumnya diberikan pelatihan tentang vaksin agar memiliki pemahaman sebelum terjun langsung ke tengah masyarakat.
Kehadiran para mantri inilah yang mendorong banyaknya penduduk Jawa berhasil divaksinasi. Pemerintah kolonial saat itu melakukan pendekatan kultural di tengah kuatnya kepercayaan pada metode pengobatan tradisional. Secara perlahan, penduduk di Pulau Jawa mulai percaya dengan vaksin di samping metode pengobatan tradisional yang jamak digunakan.
Baca juga: Indonesia Terlibat Pengembangan Vaksin
Kolera
Saat vaksin cacar mulai diberikan kepada penduduk di Pulau Jawa, penyakit menular lainnya kembali muncul dan menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar penduduk dan pemerintah kolonial. Adalah kolera, penyakit infeksi saluran pencernaan yang kemudian merenggut banyak nyawa di beberapa daerah di kepulauan Nusantara.
Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011) menuliskan, penyakit ini menyebabkan 240 orang Eropa di Batavia meninggal pada tahun 1864. Ketakutan terhadap kolera pada dekade 1880-an bahkan juga digambarkan dalam sebuah karya sastra dari PA Daum yang berjudul Hoe Hij Raad van Indie Werd. Dalam novel itu, Connie, tokoh utama dalam cerita, digambarkan sangat takut tertular kolera sehingga menyimpan banyak obat yang belum terbukti khasiatnya.
Kolera ditanggapi beragam oleh orang-orang di Batavia. Sebagian penduduk mengadakan ritual massal untuk mengusir penyakit. Sementara bagi orang-orang China, dilakukan atraksi barongsai yang diyakini dapat mengantisipasi penyebaran kolera. Banyak hal yang dilakukan sesuai kepercayaan setiap kelompok masyarakat.
Dalam Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage (2005) disebutkan, hingga awal abad ke-20, kolera masih mengancam penduduk di Batavia. Pada tahun 1910-1911 terdapat 148 penduduk yang meninggal di kota Batavia lama. Jumlah penderita kolera meningkat di musim kemarau dan mulai turun saat musim hujan.
Baca juga: Pemerintah Pastikan Vaksin Diproduksi Domestik
Vaksin kolera
Patrick Bek dalam The Medical Journal of The Dutch Indies 1852-1942 (2017) menuliskan, penderita kolera dirawat di bangsal yang terpisah di setiap rumah sakit sipil dan militer. Upaya preventif juga dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kebersihan.
Vaksin kolera baru diperkenalkan pada tahun 1910 atau sekitar separuh abad setelah penyakit ini menjadi ancaman di Batavia. Uji coba terhadap vaksin dilakukan oleh AH Nijland dari Institut Pasteur.
Sejak Agustus 1910 hingga Januari 1911, sebanyak 45.295 vaksin telah disebarkan oleh Institut Pasteur. Berdasarkan uji coba yang dilakukan, pada tahun 1911 dapat disimpulkan bahwa kolera lebih mudah menjangkiti orang yang tidak divaksin dibandingkan kelompok yang diberi vaksin.
Namun, sama halnya dengan vaksin cacar, tidak semua orang bersedia diberi vaksin. Beberapa kelompok masyarakat justru menghindarinya. Bahkan, ada kecenderungan sebagian penduduk sengaja membayar orang lain untuk divaksin guna mewakili dirinya masing-masing.
Meski sempat ditolak, vaksinasi kolera terus dilanjutkan pada pertengahan tahun 1912. Hasilnya semakin terlihat berdasarkan data yang diperoleh. Bagi orang Eropa yang telah diberi vaksin, tidak ada angka kematian yang dicatatkan akibat kolera. Namun, angka kematian mencapai 53,8 persen bagi orang Eropa yang belum divaksin.
Upaya pemberian vaksin kemudian dilakukan secara masif. Pada tahun 1914, pemberian vaksin dilakukan di Rumah Sakit Cikini hingga di beberapa lokasi praktik dokter. Pemberian vaksin juga melibatkan para mantri dan para pelajar STOVIA.
Penderita kolera mulai berkurang mulai tahun 1919. Meski masih terdapat beberapa daerah lainnya yang terjangkit, penyakit kolera secara bertahap mulai dapat dikendalikan seiring masifnya pemberian vaksin.
Baca juga: Izin Komite Etik untuk Jamin Keamanan Ribuan Sukarelawan
Vaksin yang dinanti
Kondisi pada era kolonial dengan saat ini tentu sangat berbeda dalam menangani penyakit menular. Jika dahulu vaksin ditakuti, kini vaksin menjadi hal yang sangat dinanti dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Satu perbedaan yang paling mendasar adalah singkatnya waktu penyediaan vaksin. Jika dahulu penyediaan vaksin butuh waktu puluhan hingga ratusan tahun setelah penyakit menular ditemukan, kini vaksin telah memasuki tahap uji coba setelah kasus Covid-19 ditemukan kurang dari satu tahun.
Semoga, jika telah dapat dimanfaatkan, pemberian vaksin tidak lagi menuai penolakan seperti yang pernah terjadi di Indonesia lebih dari satu abad silam. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?