Mengukir Masa Depan Pekerjaan sejak Bangku Sekolah
Pekerjaan dan pendidikan di Indonesia adalah dua hal yang sulit terpisahkan. Aktivitas siswa dalam belajar atau sekolah formal menentukan pekerjaan, baik pada saat ini maupun di masa mendatang.
Pada masa mendatang, proses pendidikan yang tengah dijalani para siswa didik saat ini adalah cikal-bakal pendukung pekerjaan. Dengan kata lain, pendidikan memiliki peranan penting dalam mengawal keberhasilan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan suatu negara.
Pendidikan yang semakin berkualitas pada gilirannya akan membawa suatu bangsa semakin maju. Dalam konteks tersebut, kualitas pendidikan diukur sebagai bagian dari pembangunan manusia.
Salah satu alat ukur terkait hal tersebut adalah indeks pembangunan manusia (IPM). Indeks ini merupakan indikator penting dalam mengukur keberhasilan suatu negeri dalam membangun masyarakatnya.
IPM menjelaskan bagaimana masyarakat mengakses hasil pembangunan setidaknya melalui tiga hal, yakni perolehan pendapatan dari pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan. Ketiga hal ini sangat berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Ilustrasinya, pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan berbanding lurus dengan tingkat perhatian terhadap kesehatan dan pendidikan. Hubungan antara ketiga komponen ini tak dapat dipisahkan.
Dalam konteks fokus pada pendidikan, proses belajar dan sekolah akan memperkuat kesadaran seseorang terhadap kesehatan. Pendidikan juga memperkuat keterampilan mencari atau menciptakan pekerjaan yang sejalan dengan harapan.
Kemampuan yang mumpuni ini berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan yang lebih baik sehingga mendorong kehidupan seseorang menjadi semakin layak. Jadi, pendidikan sekolah formal yang berbiaya murah dan berkualitas menjadi hal paling pokok diwujudkan apabila pemerintah bercita-cita meningkatkan kualitas bangsa.
Menurut data BPS, IPM Indonesia pada tahun 2019 naik 0,53 poin menjadi 71,92. Indeks sebesar ini masuk dalam kategori tinggi. Hal ini menandakan kualitas secara umum masyarakat Indonesia kian meningkat.
Salah satu yang menarik adalah harapan lama sekolah penduduk Indonesia kian bertambah menjadi 12,95 tahun. Artinya, lama waktu bersekolah anak didik semakin bertambah lama. Dengan kata lain, semakin banyak siswa didik yang ingin melanjutkan studi hingga jenjang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan kualitasnya dari sisi akademik.
Kondisi ini merupakan kabar gembira bagi Indonesia yang memiliki cita-cita menjadi negara maju pada tahun 2045. Sebagai negara maju tentu saja memerlukan banyak sumber daya manusia unggul di berbagai sektor. Salah satunya adalah pendidikan tinggi yang berkualitas.
Dengan modal pendidikan yang baik, peluang Indonesia untuk menciptakan masyarakat madani kian terbuka lebar. Masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban akan menjadi identitas bangsa di masa depan.
Berbanding lurus
Secara statistik, tingginya tingkat penghasilan dari pekerjaan yang digeluti seseorang berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Data BPS tahun 2019 menujukkan upah tenaga kerja lulusan sarjana rata-rata sebesar Rp 4,5 juta sebulan.
Nominal ini terpaut lebih tinggi mencapai kisaran Rp 1 juta dengan upah buruh yang hanya lulusan SMA atau SMK yang berkisar Rp 2,8 juta per bulan. Untuk jenjang lebih rendah lagi, upahnya kian minim. Hal ini menujukkan bahwa pendidikan itu sangat penting dalam hal meningkatkan standar upah para pekerja.
Baca juga: Normal Baru dan Tantangan Penganggur Baru
Hanya saja, profil pekerjaan utama itu juga menunjukkan dua persoalan besar dunia pendidikan. Persoalan pertama, banyak anak tumbuh dewasa dengan keberhasilan mengenyam pendidikan tinggi, tetapi gagal masuk di pasar kerja. Pengangguran di level sarjana tak bisa dikatakan rendah.
Tingginya jenjang pendidikan tidak serta-merta membuat seseorang mudah mendapatkan pekerjaan. Indikasinya terlihat dari jumlah pengangguran lulusan sarjana relatif cukup banyak, yakni mencapai 5,67 persen pada tahun 2019. Besaran ini lebih besar dari jumlah pengangguran lulusan SMP ataupun SD yang rata-rata di bawah 5 persen dari seluruh pekerja di level pendidikan yang sama.
Baca juga: Tantangan Revolusi 10 Juta Pekerjaan Baru
Melihat status
Dari data jumlah pekerja berdasarkan status pekerjaannya, kelompok yang mendominasi adalah golongan para buruh/karyawan/pegawai. Kelompok pekerja ini menempati sekitar 40 persen dari seluruh kelompok pekerja di Indonesia yang mencapai 126,5 juta orang.
Kelompok pekerja terkecil adalah golongan pengusaha yang dibantu oleh para buruh berbayar. Dengan kata lain, mereka adalah golongan pengusaha yang menggaji karyawan. Kelompok pengusaha ini jumlahnya sangat minim, yakni sekitar 3 persen atau sebanyak 4,3 juta orang.
Bila dipilah-pilah lagi, kelompok pekerja terbanyak yang dihuni golongan buruh/karyawan/pegawai sebagian besar merupakan pekerja yang memiliki pendidikan tinggi. Terbanyak, ditempati pekerja lulusan SMA atau SMK yang mencapai 20 juta orang. Kelompok karyawan selanjutnya ditempati para lulusan pendidikan tinggi seperti diploma dan sarjana yang mencapai 12 juta orang.
Baca juga: 1,25 Miliar Pekerja Terancam Kehilangan Pekerjaan, Krisis Terburuk sejak PD II
Jumlah pengusaha dari kelompok pendidikan tinggi level diploma dan sarjana itu hanya berkisar 724.000 orang. Bila dibandingkan dengan pengusaha dari jenjang pendidikan lebih rendah jumlah sangat timpang.
Setidaknya ada 3,6 juta pengusaha yang tingkat pendidikannya maksimal hanya mentok di jenjang SMA/SMK. Bahkan, jumlah pengusaha yang lulusan sekolahnya hanya sampai SD sangat banyak, yakni sekitar 1,3 juta orang.
Hal ini mengindikasikan semakin tinggi pendidikan akan mendorong seseorang untuk bekerja menjadi seorang karyawan atau pegawai. Sedikit sekali yang akhirnya berproses menjadi seorang pengusaha yang menciptakan lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja.
Hampir dapat dipastikan, sebagian besar pengusaha yang berpendidikan relatif rendah itu skala usahanya tergolong kecil atau mikro (UKM). Walaupun tidak menutup kemungkinan sebagian pengusaha tersebut akhirnya berkembang menjadi usaha menengah dan besar. Namun, jumlahnya kemungkinan relatif tidak terlalu banyak.
Sisi Lain
Sebenarnya, sektor UKM ini tidak dapat dilihat sebelah mata karena justru memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Sektor ini berkembang di segala penjuru daerah dan mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya.
Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada tahun 2018 menunjukkan, jumlah usaha UKM di Indonesia mencapai 64 juta unit usaha. Jumlah ini timpang sangat jauh dengan unit usaha menengah yang jumlahnya hanya berkisar 60.000 unit. Apalagi, dengan usaha besar yang hanya segelintir, yakni 5.500-an unit usaha.
Unit usaha kecil yang mencapai 64 juta itu mampu menyerap tenaga kerja hingga 113 juta orang. Berbeda sangat jauh dengan usaha menengah yang hanya membuka peluang sekitar 3,7 juta orang atau dengan usaha besar yang jumlah karyawannya sekitar 3,8 juta orang.
Dari sisi serapan tenaga kerja terlihat UKM merupakan sektor padat karya yang relatif tepat dikembangkan di daerah yang masih banyak terdapat pengangguran. Terutama di daerah yang memiliki ketimpangan koefisien gini relatif lebar.
Baca juga: Inovasi UMKM di Kala Pandemi
Inspirasi apakah yang dapat ditarik dari ironi pendidikan dan pekerjaan di Indonesia? Pendidikan merupakan hal terpenting yang harus diselesaikan oleh semua generasi bangsa tanpa terkecuali. Selain itu, orangtua dan guru diharapkan mampu mendorong kreativitas siswa agar mampu lebih optimal mengembangkan bakat mereka.
Bukan tidak mungkin, bakat inilah yang di masa depan nanti justru berbuah manis menjadi cikal-bakal sebuah rintisan sebuah usaha. Jadi, akan banyak bermunculan para pengusaha muda yang membuka lapangan pekerjaan. Golongan kreatif dan berbakat usaha ini akan menjadi tulang punggung perekonomian bangsa di masa mendatang.
Oleh sebab itu, setiap rumah tangga juga dituntut kreatif dan suportif untuk semua putra-putrinya terumata yang masih bersekolah.
Longgarnya waktu belajar pada masa pandemi ini karena pejaran tatap muka langsung di sekolah ditiadakan semestinya bukanlah halangan. Ketimpangan akses teknologi boleh jadi merupakan persoalan besar. Banyak komentar yang menilai sistem pendidikan model pembelajaran jarak jauh (PJJ) seperti saat ini akan menghasilkan kualitas pendidikan yang buruk.
Pendapat tersebut bisa jadi benar, tetapi jika langsung PJJ dinilai buruk dan memiliki mutu yang rendah jawabnya belum tentu. Apabila masing-masing sekolah dan orangtua anak didik berkolaborasi secara baik, bukan tidak mungkin akan menghasilkan mutu yang juga luar biasa.
Dengan pelajaran yang menyenangkan dari sekolah dan pendampingan yang tepat dari pihak keluarga, bukan tidak mungkin akan memacu para siswa lebih kreatif lagi. Siswa tak hanya sebatas mengikuti materi pendidikan formal, tetapi bisa belajar dari berbagai hal di lingkungan sekitar secara menyenangkan sehinga mengasah daya pikir mencari celah pekerjaan di masa mendatang. Itulah makna sejati dari proses pendidikan. (LITBANG KOMPAS)