Selama masa belajar di rumah, terjadi peningkatan penggunaan internet oleh anak. Peningkatan tak hanya disumbangkan oleh faktor pembelajaran jarak jauh, tetapi juga penggunaan untuk bermain.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Selama masa belajar di rumah terjadi peningkatan penggunaan internet oleh anak. Peningkatan tak hanya disumbangkan oleh faktor pembelajaran jarak jauh, tetapi juga penggunaan untuk bermain. Padahal, lingkungan internet ramah anak belum betul-betul terbentuk di Indonesia.
Di Indonesia, proses belajar dari rumah mulai dilaksanakan dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Surat ditandatangani pada 24 Maret 2020 dan dilaksanakan beragam di setiap daerah.
Terbitnya peraturan ini berdampak pada jutaan peserta didik yang tak lagi belajar di sekolah. Sebagai gambaran, jumlah peserta didik pada tahun ajaran 2018/2019 di sekolah negeri Indonesia sebanyak 45 juta siswa dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas. Adapun di level global, Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) menyebutkan, lebih dari 1,5 miliar anak-anak dan remaja terdampak oleh penutupan sekolah di seluruh dunia.
Sayangnya, penggunaan internet untuk belajar berisiko mengganggu fokus anak.
Pembelajaran dimediasi lewat jaringan internet melalui beragam platform digital. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, pekan lalu, merekam internet menjadi bagian dari kegiatan belajar anak di rumah. Sebanyak 31,5 persen responden dengan anak (memiliki anak atau tinggal dengan anak-anak) menyebutkan, internet paling sering digunakan untuk kegiatan belajar, khususnya untuk mengikuti kelas daring dari sekolah.
Aplikasi yang digunakan beragam. Kelompok responden dengan anak menjadi kelompok terbesar (48,4 persen) yang menyebut produk Google, seperti Classroom, Meet, Hangouts, dan Education, sebagai aplikasi yang dipakai untuk belajar daring. Hal itu disusul dengan aplikasi Zoom (32 persen) dan Microsoft (3,9 persen).
Fakta ini memperkuat tesis bahwa internet menjembatani proses belajar antara pendidik dan siswa yang terpisah akibat pandemi. Sayangnya, penggunaan internet untuk belajar berisiko mengganggu fokus anak. Misalnya, anak mudah tertarik untuk membuka aplikasi lain saat menunggu penugasan dari guru.
Hal itu diungkapkan oleh seorang ibu dengan dua anak yang duduk di bangku sekolah dasar, di Magelang, Jawa Tengah. Elly Prasetyowati (32) menyebutkan, dua putrinya mudah terdistraksi untuk bermain daring saat menunggu giliran tatap muka dengan guru. ”Anak diminta bersiap oleh sekolah saat akan menerima pelajaran. Jeda waktu itu sering dimanfaatkan untuk bermain gim atau menonton Youtube,” tuturnya, Senin (20/7/2020).
Penuturan Elly selaras dengan hasil jajak pendapat. Dalam menikmati waktu luang, internet menjadi hal yang tidak terpisahkan. Tingkat penggunaan internet, khususnya untuk bermain, meningkat. Peningkatan penggunaan internet ini diungkapkan oleh 75,5 persen responden dengan anak berusia 0-17 tahun.
Konten visual
Peningkatan kebutuhan internet, baik untuk bermain maupun bersantai, tersebar ke berbagai platform. Konten berbasis visual (gambar atau video) menjadi konten yang paling sering dinikmati.
Dari sisi kegiatan, sebanyak 30,7 persen responden dengan anak menyebutkan, menonton video, film, atau acara lain di perangkat yang terhubung dengan internet sebagai kegiatan bersantai yang paling sering dilakukan di rumah.
Sementara itu, sebanyak 22,2 persen responden dengan anak lainnya menyatakan, anak mereka paling sering bermain gim melalui perangkat yang tersambung dengan internet. Artinya, internet sudah menjadi separuh dari kegiatan bermain atau bersantai anak selain aktivitas fisik dan ketangkasan (offline).
Dari sisi aplikasi, sebanyak 53,7 responden dengan anak menyebut aplikasi yang paling sering diakses selama masa belajar di rumah untuk bersantai adalah Youtube. Aplikasi kedua adalah berbagai macam gim (19,1 persen) dan mesin pencari Google (10,2 persen).
Hal ini menunjukkan internet menjadi belantara yang semakin sering dijelajahi untuk belajar dan bermain. Frekuensinya meningkat di masa pandemi Covid-19 saat anak harus belajar dari rumah dan memanfaatkan internet sebagai sarana tatap muka dengan pengajar.
Meski demikian, internet tidak selamanya baik. Konsumsi internet yang semakin tinggi selaras dengan peningkatan risiko terpapar konten negatif. Orangtua, pendidik, dan pemerintah perlu mewaspadai hal itu.
Pendampingan dan pengamanan terasa sangat diperlukan karena internet di Indonesia belum sepenuhnya aman bagi anak. Beban ini tak hanya menjadi tanggung jawab orangtua, tetapi juga penyedia jasa teknologi dan pemerintah.
Dari sisi orangtua, pengawasan tak cukup dilakukan hanya dengan memanfaatkan fitur-fitur pengaman dan pembatasan yang disediakan oleh platform digital. Hal lain yang perlu dilakukan untuk memastikan anak mengonsumsi internet sehat ialah pengecekan berkala, berdiskusi, dan menemani anak secara langsung saat berselancar di dunia maya.
Lucia Sinta (48), ibu dua anak berusia 12 dan 15 tahun, yang tinggal di Depok, Jawa Barat, menekankan pentingnya berdiskusi dengan anak untuk hal yang dianggap tabu sekalipun. Ia menggunakan pendekatan santai tetapi tetap mawas ketika memantau penggunaan internet anak. ”Pengawasan kami lakukan dengan memeriksa history di HP dan laptop anak. Konten negatif dapat dihalau karena kami terbuka mendiskusikan apa saja dalam keluarga,” tuturnya, pekan lalu.
Selain orangtua, pemerintah juga perlu memberikan langkah ekstra dalam menjamin internet aman bagi anak. Unicef bersama para mitra, pada 15 April 2020, merilis catatan teknis yang mendesak pemerintah dan industri teknologi agar mengambil langkah serius untuk memastikan pengalaman daring anak aman dan positif selama pandemi. Dampak yang dikhawatirkan dari meningkatnya durasi memakai platform virtual adalah anak-anak rentan terhadap paparan konten berbahaya, kekerasan, penindasan siber, dan eksploitasi seksualitas.
Anak tetap membutuhkan teman dan panduan saat mereka bercengkerama dengan internet.
Setali tiga uang, jajak pendapat memberikan sinyal publik yang mengkhawatirkan jaminan akses internet aman untuk anak. Sebanyak 41,8 persen responden menilai jaminan ini masih buruk, bahkan 20,3 persen di antaranya menganggap sangat buruk. Artinya, separuh lebih responden berpendapat kualitas jaminan internet aman untuk anak masih dalam kategori memprihatinkan.
Sebagai sebuah refleksi, kondisi belajar di rumah harus dijadikan momen bagi orangtua dan pemerintah untuk membuat model pembelajaran yang mangkus dan sangkil. Edukasi pemanfaatan dan pengawasan penggunaan internet perlu ditingkatkan.
Jangan sampai internet memberikan kebebasan yang tak terbatas dan melenakan anak dari tugas belajar. Bagaimanapun, anak tetap membutuhkan teman dan panduan saat mereka bercengkerama dengan internet.