”Bike Boom” dan Pasang Surut Sejarah Tren Sepeda
Buku ini coba menguraikan pasang surut mempromosikan sepeda sebagai moda transportasi arus utama di perkotaan. Pesan lain yang diungkap adalah menggugah kepedulian manusia untuk hidup selaras dengan alam.
Tantangan mewujudkan sepeda sebagai moda transportasi utama menjadi gagasan utama yang diangkat Carlton Reid dalam buku Bike Boom: The Unexpected Resurgence of Cycling. Penelusuran yang dilakukan sekaligus memotret linimasa sejarah naik turunnya tren sepeda dan peristiwa penting yang mengiringinya.
Sepeda saat ini kembali digandrungi oleh masyarakat dunia. Pandemi Covid-19 telah memberikan sisi positif, yaitu memunculkan minat masyarakat untuk bersepeda.
Bahaya penularan wabah korona membuat masyarakat menerapkan pola hidup, seperti menerapkan jaga jarak dan menghindari kerumunan di transportasi umum. Meminimalkan kerumunan di transportasi publik dapat dilakukan dengan menggunakan sepeda untuk melakukan aktivitas dan mobilitas.
Dengan bersepeda, masyarakat juga dapat berkontribusi mengurangi polusi udara dan suara. Hal ini karena sepeda tidak menggunakan bahan bakar yang menghasilkan asap, seperti kendaraan bermotor. Sekalipun memiliki keunggulan dalam hal ramah lingkungan dan menjaga kebugaran, bersepeda belum menjadi pilihan transportasi utama sebagian besar masyarakat dunia.
Kendala dan tantangan mewujudkan sepeda sebagai moda transportasi utama inilah yang diungkapkan oleh Carlton Reid. Uraian dalam buku ini dibuat berdasarkan urutan waktu sejarah pasang surutnya tren sepeda dan peristiwa penting yang mengiringinya.
Sebelum mengupas posisi sepeda dalam transportasi publik, penulis menegaskan terlebih dahulu soal siapa subyek yang layak disebut sebagai pesepeda. Pesepeda yang dimaksud dalam buku Bike Boom ini adalah seseorang yang mengendarai sepeda untuk bepergian sehari-hari.
Reid menekankan diksi sehari-hari dalam kategorinya. Karena itu, ia tidak memasukkan atlet sepeda, pesepeda rekreasi di akhir pekan dalam beragam bentuk, dan pengikut tren sepeda yang hanya muncul sesaat.
Mengawali uraiannya, Reid menjabarkan keruwetan dan kemampatan berbagai usaha mempromosikan sepeda sebagai moda transportasi arus utama di perkotaan. Selain bicara tentang tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan lanskap kota ramah sepeda, buku yang terdiri atas delapan bagian ini juga menyajikan ulasan keberhasilan negara-negara dengan angka pesepeda yang tinggi.
Reid mencontohkan keberhasilan negara Belanda dalam mengelola budaya bersepeda dan menyediakan fasilitas untuk pesepeda. Keberhasilan ini sekaligus menjadi gambaran, melalui komitmen tinggi dan kebijakan yang terpadu dari pemerintah, sepeda dapat menjadi bagian dari sistem transportasi kota.
Tidak heran, jika uraian dari penelusuran yang dilakukan Reid juga dilengkapi pesan-pesan advokasi yang dialamatkan kepada para pengambil kebijakan, perencana tata kota, dan kepada masyarakat tentang pentingnya penggunaan sepeda sebagai bagian kehidupan yang ramah lingkungan.
Nomor dua
Sudah lama sepeda menjadi bagian aktivitas masyarakat. Sepeda membantu mobilitas masyarakat berpindah dari satu tempat ke lokasi lain. Cikal bakal sepeda modern diperkenalkan oleh warga Jerman bernama Karl von Drais pada 1817. Namun, saat itu sepeda masih sangat sederhana. Sepeda versi Von Drais melaju dengan cara pengendara menjejakkan kakinya ke tanah.
Sepeda dengan bentuk yang kita kenal sekarang baru muncul pada 1880-1890-an. Sepeda itu disebut the safety bicycle. Sepeda tersebut lebih nyaman digunakan karena sudah terdapat pedal, rantai, gir, sistem pengereman, dan sadel empuk berpegas.
Reid merunut timbul tenggelamnya tren sepeda mulai periode the safety bicycle, yakni 1896-1897. Sepeda di Amerika Serikat dan Eropa pada waktu itu dipandang sebagai simbol kaum elite, penanda status, gaya hidup sehat, serta kemakmuran.
Sepeda sebagai bentuk dan cara baru dalam transportasi menarik perhatian kalangan luas. Sebagai teknologi baru yang diperkenalkan, sepeda hanya dapat dimiliki oleh kaum berduit. Semakin lama, makin banyak pabrik memproduksi sepeda, harganya pun semakin kompetitif.
Pamor sepeda sebagai tunggangan kelas atas tak bertahan lama. Setelah masa itu usai, semua orang mampu membeli sepeda. Ditambah munculnya kendaraan bermesin, perlahan-lahan hilanglah daya pikat sepeda. Sepeda kemudian hanya dipandang sebagai kendaraan anak remaja yang belum boleh bermotor.
Stigma sepeda semakin terpuruk di waktu-waktu selanjutnya. Sepeda dianggap sebagai tunggangan masyarakat kelas bawah, transportasi orang susah, dan hanya sebagai mainan anak-anak. Hal ini tidak hanya terjadi di AS dan Eropa, tetapi berlangsung di seluruh dunia, termasuk di Hindia Belanda.
Publikasi lain juga mengungkap fenomena serupa. Buku Jelajah Sepeda Kompas Melihat Indonesia dari Sepeda (2010) memperlihatkan, sepeda sudah terpinggirkan sejak awal 1900-an. Disebutkan, sepeda direndahkan martabatnya oleh kalangan klub sepeda motor Motor-Wielrijders Bond, Magneet.
Klub itu memiliki majalah dengan nama Magneet. Dinarasikan bahwa sepeda hanya cocok bagi brunie broeders atau saudara coklat. Sepeda dianggap menjadi tunggangan saudara coklat atau warga selain kaum Eropa. Hal ini melekatkan sepeda sebagai bagian dari masyarakat kelas sosial rendah.
Mengapa selalu gagal?
Penelusuran kilas balik sepeda yang dilakukan Reid juga mencoba merangkai sejarah ketenaran persepedaan dunia. Namun, dari sisi sejarah ini, marginalisasi sepeda dalam kancah transportasi publik semakin tergambar.
Beberapa momen tersandungnya sepeda dalam beberapa peristiwa sejarah diulas Reid, seperti yang terjadi di Jerman. Awalnya, Jerman membangun jalur sepeda pada era 1930-an.
Pesepeda yang dimaksud dalam buku Bike Boom ini adalah seseorang yang mengendarai sepeda untuk bepergian sehari-hari.
Namun, masa keemasan ini tidak berlangsung lama, segera tergeser oleh pembangunan jalur kendaraan bermotor berkecepatan tinggi. Kendaraan bermotor kemudian mengambil alih predikat sebagai raja jalanan saat itu, menggusur pesepeda.
Setali tiga uang kondisi perkembangan persepedaan di Inggris. Pada 1934, berkat inspirasi dari Belanda, negara berbendera Union Jack ini memulai pembangunan jalur sepeda. Letak jalur sepeda berdampingan dengan jalur arteri dan dilengkapi pemisah di antara kedua jalur.
Namun, lambat laun kebijakan transportasi publik di Inggris meminggirkan sepeda. Dua juta pengendara kendaraan bermotor dianggap lebih berharga dan dibela haknya. Sedangkan 12 juta pesepeda dipandang sebagai masyarakat kelas bawah. Pesepeda di Inggris kala itu harus puas dengan jalur sepeda seadanya.
Di Amerika Serikat, pada era 1920-1930-an, sepeda sempat naik daun. Namun, seiring berkembangnya industri otomotif, mobil semakin murah dan terjangkau, minyak murah serta melimpah. Sepeda mulai ditinggalkan dan bergeser sebagai mainan anak-anak.
Setengah abad kemudian, generasi baby boomers di AS menjadi pendorong terjadinya Great American Bike Boom 1970. Pabrik sepeda sampai kewalahan untuk memenuhi permintaan pasar. Kepopuleran sepeda dipicu oleh kesadaran gaya hidup sehat dan terjadinya pencemaran lingkungan.
Namun, gempita sepeda ini redup pada 1974 seiring dengan harga minyak dunia yang sebelumnya melambung berangsur normal. Sekali lagi, sepeda kalah dengan kendaraan bermotor.
Kendaraan bermotor dipandang lebih mentereng, selain itu iklan yang ditampilkan lebih agresif dibandingkan dengan sepeda. Di atas itu semua, kendaraan bermotor semakin murah dan terjangkau (hlm 5).
Reid menuliskan bahwa selama ini sepeda hanya ditenagai oleh tren saja. Sifat tren berubah-ubah layaknya mode yang timbul dan tenggelam. Tren tidak dapat dikendalikan dan sulit diprediksi.
Selain akibat tren, faktor kesungguhan masyarakat dalam bersepeda masih dipertanyakan. Alasan penyebab pesepeda tidak sungguh-sungguh dalam bersepeda setidaknya terdapat dua hal menurut penulis.
Pertama, dalih bahwa tidak tersedianya infrastruktur bagi pesepeda. Infrastruktur yang dimaksud di antaranya jalur sepeda yang layak, fasilitas parkir sepeda, dan fasilitas bersih diri.
Alasan kedua soal keamanan dalam bersepeda. Ancaman dapat timbul dari pengguna kendaraan bermotor dan pelaku kejahatan di jalanan.
Namun, dua alasan tersebut belum cukup kuat untuk mendorong minat bersepeda. Reid mengungkapkan, jika infrastruktur dan keamanan bersepeda sudah dipenuhi, belum tentu jumlah pesepeda serta-merta meningkat.
Ketersediaan fasilitas tidak akan otomatis mendorong orang untuk mengayuh pedal sepeda. Reid mengingatkan, bersepeda membutuhkan dorongan yang lebih dalam, yaitu kultural bukan hanya dari segi infrastuktur.
Budaya bersepeda
Hipotesis Reid tentang adanya faktor budaya sepeda dan popularitas sepeda ditemukan di negara Belanda. Berbeda dengan negara lain, seperti Inggris dan AS, Belanda relatif berhasil dalam membangun iklim bersepeda.
Belanda pada 1906 sudah menjadi negara dengan masyarakat pesepeda terbanyak. Jalur sepeda terus dibangun hingga 1930-an. Jalur sepeda pada mulanya dibangun demi kenyamanan dan kemudahan para pesepeda, bukan memisahkannya dari jalur kendaraan bermotor.
Pada 1960-an Belanda membatasi penggunaan kendaraan bermotor. Hal ini dikarenakan sering terjadi kecelakaan. Masyarakat Belanda, terutama para orang tua, mengkhawatirkan keselamatan anak-anak mereka saat di jalan.
Pemerintah Belanda sepakat untuk mengembangkan sistem transportasi yang aman, yakni dengan cara bersepeda. Upaya pengembangan infrastruktur si kereta angin membuat masyarakat Belanda tetap melirik moda transportasi ini. Saat aktivitas bersepeda di negara lain mulai loyo, pesepeda di Belanda justru melaju.
Sebagai gambaran keberhasilan Belanda dalam mengelola iklim bersepeda di negaranya, Reid membuat suatu perbandingan angka pesepeda di kota London dan Rotterdam. Angka pesepeda di kota London, Inggris, hanya 3 persen.
Sementara jumlah pesepeda di kota Rotterdam mencapai 25 persen. Untuk menyamai angka pesepeda di Rotterdam, Reid menghitung Pemerintah London harus bekerja keras menyediakan infrastruktur dan menumbuhkan budaya sepeda hingga 340 tahun. Lantas, di mana letak kunci keberhasilan Belanda ini?
Baca juga: ”Upheaval” Mengungkap Jati Diri Bangsa Melalui Krisis
Reid melihat, kegiatan bersepeda di Belanda itu sudah menjadi cara hidup. Bersepeda diibaratkan sama dengan kebiasaan mengosok gigi. Masyarakat melakukan kebiasaan menggosok gigi karena tahu manfaat dan hasilnya. Pembudayaan karakter bersepeda di Belanda dilakukan melalui pendidikan dan proses pembudayaan sejak usia dini.
Di tengah pandemi penyakit seperti saat ini, buku Bike Boom ini mengingatkan masyarakat untuk memiliki budaya hidup sehat sebagai cara meningkatkan imunitas tubuh. Selain itu, Carlton Reid juga menggugah kembali kepedulian manusia untuk hidup selaras dengan alam. Caranya, dengan menaruh perhatian pada transportasi perkotaan yang lebih ramah lingkungan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?