Antisipasi Anak Putus Sekolah akibat Zonasi
Ketika distribusi sekolah telah merata, maka sistem kuota selayaknya tidak lagi diterapkan. Jangan sampai mimpi generasi muda untuk melanjutkan pendidikan terputus gara-gara penerapan sistem seleksi yang tak sempurna.
Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik pada satu sisi memiliki manfaat pada pemerataan kualitas pendidikan. Namun, di sisi lain dapat berdampak pada bertambahnya anak putus sekolah pada setiap jenjang pendidikan.
Penerapan sistem zonasi secara bertahap sejak 2017 memiliki banyak manfaat bagi pendidikan di Indonesia. Elitisme sekolah dapat digugurkan dan berganti dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan pendekatan pemerataan dan berkeadilan.
Namun, kondisi itu baru akan tercapai jika didukung fasilitas yang memadai dan merata. Salah satu unsur penting yang harus terpenuhi demi mencapai keberhasilan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru adalah ketersediaan sekolah. Tanpa hal itu, mustahil sistem zonasi diterapkan secara optimal.
Sayangnya, syarat utama ini belum terpenuhi hingga sekarang. Jumlah sekolah pada setiap daerah tidak terdistribusi merata. Dampaknya, muncul wilayah-wilayah yang tak terakomodasi dalam sistem zonasi.
Melihat jumlah sekolah di Indonesia, pola piramida masih terlihat jelas dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin sedikit jumlah sekolah yang tersedia. Kondisi ini menyiratkan perlunya kompetisi ketat untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, terutama untuk masuk ke sekolah negeri.
Kompetisi ini amat terasa pada jenjang sekolah menengah pertama. Pada tahun ajaran 2019/2020, Indonesia memiliki 23.594 SMP negeri. Padahal, pada tahun yang sama, terdapat 131.879 SD negeri. Artinya, terjadi penyusutan jumlah sekolah dalam jumlah cukup besar.
Sementara itu, menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun ajaran 2018/2019, dari 3,5 juta jumlah pelajar SD negeri yang lulus, hanya 2,5 juta pelajar yang diterima pada jenjang SMP negeri pada tahun ajaran berikutnya.
Kondisi serupa terjadi pada jenjang pendidikan menengah. Jumlah sekolah menengah berkurang dibandingkan dengan jumlah SMP negeri. Pada tahun ajaran 2019/2020, terdapat 10.500 SMA dan SMK negeri di Indonesia atau 44,5 persen dibandingkan dengan jumlah SMP negeri pada tahun ajaran yang sama.
Pada tahun ajaran 2017/2018, dari 2,4 juta lulusan SMP negeri, hanya 1,5 juta pelajar yang diterima pada SMA dan SMK negeri di tahun ajaran berikutnya. Artinya, sekitar 36 persen pelajar tak tertampung di sekolah negeri.
Putus sekolah
Kondisi ini menggambarkan sarana pendidikan yang belum merata di setiap jenjang pendidikan. Penerapan sistem zonasi justru dapat berimplikasi negatif.
Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah munculnya hambatan bagi pelajar dari keluarga prasejahtera yang berdomisili jauh dari sekolah negeri. Pada satu sisi, pelajar dari golongan ini kemungkinan besar gagal diterima karena kalah bersaing dari sisi jarak dengan pelajar yang berdomisili lebih dekat dari sekolah.
Pemerintah melalui Kemendikbud memang memberikan kuota afirmasi bagi pelajar dari kalangan masyarakat prasejahtera. Namun, kuota yang diberikan hanya 15 persen dari total pelajar yang diterima. Praktis, pelajar dari golongan masyarakat prasejahtera tetap harus bersaing demi mendapatkan tempat. Jika gagal di sekolah negeri, mendaftar ke sekolah swasta belum tentu dapat dilakukan mengingat keterbatasan finansial. Kondisi ini menjadi faktor pendorong anak putus sekolah karena gagal pada sistem zonasi.
Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah munculnya hambatan bagi pelajar dari keluarga prasejahtera yang berdomisili jauh dari sekolah negeri.
Menilik data Kemendikbud, pada tahun 2019, terjadi lonjakan kenaikan angka putus sekolah cukup signifikan. Pada tahun 2018, jumlah pelajar yang putus sekolah sebanyak 103.229 siswa, sedangkan pada 2019, jumlah melonjak menjadi 157.166 siswa.
Tentu saja seorang siswa mengalami putus sekolah tak semata gara-gara penerapan sistem zonasi. Problem ekonomi keluarga dan kondisi pandemi Covid-19 sangat mungkin turut berperan dalam pertambahan angka putus sekolah. Namun, kebijakan zonasi bisa jadi ikut memperburuk situasi itu.
Sekolah swasta
Melalui sistem yang kini diterapkan, prinsip pemerataan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. Pelajar dari keluarga mampu yang berdomisili dekat dengan sekolah negeri dapat merasakan pendidikan dengan biaya murah. Namun, pelajar dari keluarga prasejahtera yang jauh dari sekolah negeri harus membayar biaya lebih tinggi karena harus melanjutkan ke sekolah swasta.
Persaingan dalam sistem zonasi terlihat sangat ketat berdasarkan jarak kedekatan dengan sekolah. Pada SMA Negeri 1 Padang, Sumatera Barat, misalnya, pada pendaftaran tahap pertama, siswa terakhir yang diterima pada jalur zonasi hanya berjarak maksimal 780 meter dari sekolah. Artinya, pelajar dengan domisili yang lebih jauh dipastikan gagal masuk ke sekolah tersebut.
Dalam jangka pendek, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menggandeng sekolah swasta dalam penerapan sistem zonasi. Meski penambahan sekolah swasta tak serta-merta mencukupi kebutuhan sekolah, cara ini setidaknya menambah jumlah sarana sekolah, khususnya pada daerah padat penduduk yang tidak memiliki banyak sekolah negeri. Karena itu, subsidi pendidikan perlu diberikan kepada siswa agar tidak menanggung tingginya biaya pendidikan di sekolah swasta, khususnya bagi pelajar dari kalangan keluarga prasejahtera.
Evaluasi
Meski memiliki tujuan positif, sistem zonasi perlu dipersiapkan lebih matang. Kebijakan ini sangat berisiko jika hanya diterapkan pada tahap uji coba, terutama di daerah-daerah yang belum sepenuhnya siap dalam melakukan pemetaan sekolah.
Jika sistem zonasi tetap dilanjutkan, tak ada pilihan selain menyediakan fasilitas sekolah secara merata bagi peserta didik, baik dari sisi jumlah sekolah maupun prasarana penunjang. Selain itu, evaluasi aturan juga dibutuhkan jika dilakukan penambahan jumlah sekolah.
Ketika distribusi sekolah telah merata, maka sistem kuota selayaknya tidak lagi diterapkan. Suka tidak suka, sistem kuota pada akhirnya bermuara pada persaingan. Padahal, melalui semangat zonasi, para pelajar semestinya dapat bersekolah dengan tenang tanpa harus bersaing memperebutkan kuota, seperti jalur prestasi, afirmasi, dan zona perpindahan orangtua yang kini masih diberikan.
Kini, meskipun tahap penerimaan peserta didik baru telah usai, pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja sama untuk menyisir setiap pelajar yang kurang mampu, tetapi gagal bersaing masuk ke sekolah negeri akibat kendala jarak.
Jangan sampai mimpi generasi penerus bangsa untuk melanjutkan pendidikan terputus gara-gara penerapan sistem seleksi yang belum sempurna. (LITBANG KOMPAS)