Masa Depan Partai Penguasa di Pemilu Singapura
Kemenangan partai penguasa, Partai Aksi Rakyat (PAP), yang menipis menunjukkan, kian rapuhnya partai politik penguasa di Singapura yang telah berkuasa selama lebih dari enam dekade tersebut.
Walau telah diprediksi sebelumnya, hasil Pemilu 2020 di Singapura menyingkap dua hal penting. Pertama, kemenangan partai penguasa, Partai Aksi Rakyat (PAP) yang menipis menunjukkan, kian rapuhnya partai politik penguasa di Singapura yang telah berkuasa selama lebih dari enam dekade.
Selain secara politis juga menjadi beban bagi partai penguasa, kompleksnya penerapan protokol kesehatan hingga menumpuknya antrean di tempat pemungutan suara menunjukkan sulitnya negara dalam menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi.
Dalam pemilu 2020, PAP kembali muncul sebagai partai pemenang. Dari 93 kursi parlemen yang diperebutkan, 83 kursi atau setara dengan 89,2 persen dari total kursi direbut oleh partai ini. Meski hasil pemilu menunjukkan dominasi PAP yang tak terbantahkan, perolehan PAP ini menjadi yang terburuk dalam dua dekade terakhir.
Hal ini tampak jika kita memperhatikan hasil pemilu dalam rentang 2001 hingga 2020. Pada 2001, PAP memenangkan 82 kursi dari total 84 kursi yang diperebutkan dalam pemilu. Perolehan tersebut setara dengan 97,6 persen dari keseluruhan kursi yang tersedia. Saat itu, hanya dua partai oposisi yang berhasil mendapatkan masing-masing satu kursi, yakni Partai Pekerja (WP) dan Aliansi Demokratik Singapura (SDA).
Hasil yang identik juga terjadi di pemilu berikutnya pada 2006. Saat itu, PAP kembali mendapatkan 82 dari 84 kursi parlemen yang diperebutkan. Partai oposisi yang berhasil mendapatkan jatah di parlemen juga sama, yakni WP dan SDA, dengan jumlah kursi yang sama dengan pemilu sebelumnya. Tak ayal, komposisi partai politik di parlemen Singapura selama dua periode pun sama persis.
Gejala tergerusnya dominasi PAP mulai terlihat semenjak pemilu 2011. Saat itu, meski kursi yang diperebutkan semakin banyak, perolehan kursi PAP justru menurun dibandingkan tahun 2006. Dari 87 kursi yang diperebutkan, PAP hanya mampu merebut 81 kursi atau setara dengan 93,1 persen.
Bersamaan dengan hal tersebut, WP pun semakin mantap menancapkan pengaruhnya di panggung politik Singapura. Setelah hanya mendapatkan satu kursi pada pemilu 2001 dan 2006, WP berhasil mengamankan 6 kursi dari 87 kursi yang diperebutkan pada pemilu 2011. Perolehan kursi WP yang melejit dari 1 persen menjadi 7 persen dalam kurung waktu satu periode tentu mengejutkan semua pihak.
Namun, tren positif WP ini terus berlanjut. Walau mengalami sedikit penurunan pada pemilu 2015, dengan perolehan 6 kursi dari 89 kursi yang tersedia atau setara dengan 6,7 persen, WP kembali menguat pada pemilu 2020.
Secara mengejutkan, WP berhasil mendapat 10 dari 93 kursi yang diperebutkan dalam pemilu. Artinya, WP berhasil menembus perolehan kursi sebesar 10 persen, sebuah rekor bagi partai oposisi yang belum pernah terjadi semenjak Singapura merdeka.
Dapil kunci WP
Dalam pemilu 2020, tiga dapil menjadi kunci kesuksesan WP dalam meraih kursi parlemen. Ketiga dapil tersebut adalah Aljunied, Hougang, dan Sengkang. Di ketiga wilayah tersebut, WP memenangkan suara dengan perolehan sebesar 59,93 persen, 61,19 persen, dan 52,13 persen. Jika dijumlahkan, ketiga wilayah ini mencakup lebih dari 295.000 DPT atau setara dengan lebih dari 11,81 persen dari total DPT Singapura pada pemilu 2020.
Jika dilihat dari ketiga Dapil tersebut, Hougang dan Ajunied menjadi wilayah tradisional WP. Dominasi WP di Hougang setidaknya telah nampak semenjak pemilu 1991. Semenjak pemilu tersebut, WP tidak pernah absen dalam memenangkan suara di wilayah ini.
Sementara itu, dominasi WP di Aljunied baru tampak pada pemilu 2011. Pada saat itu, kemenangan di Aljunied-lah yang menggenjot perolehan kursi parlemen WP. Berbeda dengan Hougang, Aljunied merupakan wilayah yang besar dengan jumlah DPT yang gemuk. Apabila kemenangan di Hougang hanya memberikan WP satu kursi, kemenangan di Aljunied memberikan WP empat kursi di parlemen.
Layaknya pada pemilu 2011, WP kembali membawa kejutan pada pemilu 2020 dengan memenangkan Sengkang. Sebuah wilayah yang bukan merupakan wilayah tradisional bagi WP. Serupa dengan Aljunied, Sengkang merupakan salah satu dapil dengan DPT yang gemuk.
Kemenangan di wilayah ini praktis membuat WP mengamankan 4 kursi tambahan di parlemen. Tidak hanya itu, kemenangan WP di Sengkan ini juga menyingkirkan beberapa politisi berpengaruh di Singapura, seperti mantan Menteri Pendidikan dan Menteri Transportasi Ng Chee Meng.
Dalam pemilu 2020, tiga dapil menjadi kunci kesuksesan Partai Pekerja (WP) sebagai partai oposisi dalam meraih kursi parlemen.
Kejutan WP di Sengkang ini diakibatkan oleh beberapa faktor. Pertama, konstituen yang telah kehilangan simpati kepada partai petahana. Tertangkap dari laporan The Strait Times, beberapa warga Sengkang yang sebelumnya memilih kandidat dari PAP merasa mereka ditelantarkan oleh kandidatnya. Mereka menyatakan, setelah masa pemilihan, para kandidat yang terpilih tidak pernah terlihat lagi di dapilnya.
Selain itu, salah satu faktor yang berhasil menggenjot perolehan suara WP di Sengkang ialah kemampuan partai tersebut mengangkat isu-isu baru yang lebih dekat dengan masyarakat. Berbeda dengan PAP yang memfokuskan kampanye pada keberhasilan PAP dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi, WP banyak berbicara tentang isu-isu di luar arus utama.
Strategi untuk mengangkat isu-isu di luar arus utama tersebut tidak terlepas dari kejelian WP dalam membaca perubahan demografi di Sengkang. Pada saat penyelenggaraan pemilu, 60 persen dari penduduk Sengkang berada di bawah usia 45 tahun.
Generasi milenial dan generasi z yang lebih melek politik dan isu global merasa aspirasinya tertampung ketika WP mengangkat isu-isu seperti kerusakan lingkungan, perlindungan terhadap minoritas, dan ketimpangan sosial.
Sulitnya menyelenggarakan pemilu
Walau terbilang sukses, penyelenggaraan pemilu di Singapura bukannya tanpa kendala. Penyelenggaraan pemilu di wilayah yang penduduknya tak sampai 6 juta orang ini bisa menunjukkan betapa sulitnya menyelenggarakan pemilu di kala pandemi, mulai dari kampanye yang sangat dibatasi, penerapan protokol kesehatan, hingga menumpuknya antrean di TPS membuat pemilu di Singapura kian kompleks.
Pertama, untuk menyesuaikan dengan situasi pandemi, Departemen Pemilu Singapura (ELD) melarang hampir semua kegiatan kampanye yang melibatkan aktivitas fisik. Beberapa di antaranya meliputi larangan untuk mengumpulkan massa, larangan untuk berkampanye dengan anggota tim lebih dari lima orang, larangan untuk mengadakan orasi atau acara musik menggunakan kendaraan, dan larangan untuk bersalaman saat berkampanye.
Sebagai gantinya, ELD memberikan kesempatan lebih banyak kepada para kandidat yang bertarung dalam pemilu untuk tampil di media massa, termasuk di televisi dan internet. Namun, hal ini menimbulkan permasalahan baru karena pemerintah memiliki pengaruh yang cukup kuat di negara tersebut.
Dengan pengaruh pemerintah di grup media, seperti Singapore Press Holdings (SPH), grup yang menaungi beberapa media besar seperti The Strait Times dan Business Times, tidak ada jaminan bahwa PAP sebagai partai penguasa tidak mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini.
Kedua, antrean di TPS yang mengular. Penerapan protokol Covid-19 di TPS selama pelaksanaan pemilu di Singapura praktis membuat proses pemilihan semakin lama. Warga yang ingin menyalurkan suaranya harus saling menjaga jarak dan melewati pengecekan kesehatan di TPS. Tak ayal, terjadi penumpukan antrean hingga sepanjang ratusan meter di beberapa titik TPS dan para pemilih pun harus rela menunggu berjam-jam untuk memilih.
Ruwetnya penyelenggaraan pemilu di Singapura ini bisa menjadi alarm bagi Indonesia.
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, ELD pun mengeluarkan pengumuman untuk memperpanjang waktu pengambilan suara di TPS. Meski mendapat dukungan dari masyarakat yang sempat takut tidak dapat memilih karena kehabisan waktu saat mengantre, langkah ini diprotes oleh beberapa partai politik.
Salah satu partai yang memprotes keputusan ini adalah Partai Kemajuan Singapura (PSP) yang menyatakan bahwa keputusan ini menyusahkan partai yang harus kembali memobilisasi petugas dan saksi di TPS yang telah terlanjur pulang ke rumah sebelum pengumuman dikeluarkan.
Ruwetnya penyelenggaraan pemilu di Singapura ini bisa menjadi alarm bagi Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia akan mengadakan pilkada pada akhir tahun nanti. Jika kondisi pandemi masih belum membaik secara signifikan, mau tak mau Indonesia pun harus menyiapkan pilkada dengan mempertimbangkan aspek kesehatan.
Apabila Singapura yang memiliki jumlah pemilih hanya 2,5 juta orang dan didukung oleh teknologi yang mumpun, masih kesulitan dalam menyelenggarakan pemilu, Indonesia tentu harus berpikir matang-matang apabila kukuh untuk tetap menghelat pilkada di tahun ini. (LITBANG KOMPAS)