Menimbang Opsi Pengetatan Kembali PSBB
Langkah pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar bukan tanpa risiko. Masih tingginya kasus Covid-19 menjadi alarm. Pengetatan kembali kebijakan PSBB bisa jadi opsi yang baik untuk dipertimbangkan.
Pemerintah Indonesia sudah memulai langkah menuju ”New Normal”. Meski terbukti berhasil memantik geliat ekonomi, semakin longgarnya mobilitas masyarakat akibat kebijakan ini membuat situasi Covid-19 di beberapa daerah justru memburuk. Dengan situasi pandemi yang kian mengkhawatirkan, opsi pengetatan PSBB patut kembali dipertimbangkan.
Upaya pemerintah sebetulnya tidak sepenuhnya abai dalam menyikapi kegentingan pandemi Covid-19 di Indonesia. Buktinya, dalam periode waktu yang sama, kapasitas pengetesan dapat ditingkatkan dengan cukup signifikan.
Pada pertengahan Juni silam, rerata mingguan jumlah tes harian di Indonesia berada di kisaran angka 8.500 orang. Angka ini bisa ditingkatkan pada minggu pertama Juli 2020 dengan rerata sebesar nyaris 12.000 orang atau mengalami peningkatan sekitar 38,8 persen.
Tidak hanya itu, jumlah pasien sembuh harian dalam periode waktu yang sama pun juga memiliki tren positif. Pada minggu ketiga Juni lalu, rerata mingguan jumlah pasien Covid-19 yang sembuh berada di angka 553 orang.
Angka ini terus bertambah pada minggu terakhir Juni dengan rerata sebesar 647 orang. Hingga minggu pertama Juli, rerata ini kembali bergerak naik sampai di angka 881 orang.
Alhasil, jumlah pasien aktif di Indonesia dalam kurun waktu yang sama pun dapat ditekan. Pada pertengahan Juni, rerata mingguan persentase pasien aktif dibandingkan dengan total pasien berada di angka 55,21 persen.
Angka ini terus menurun pada minggu ketiga Juni dengan rerata persentase sebesar 53,85 persen dan kembali turun pada minggu pertama Juli di mana rerata persentase berada di angka 50,27 persen. Menurunnya persentase pasien aktif ini menjadi penting karena dapat menurunkan beban kapasitas rumah sakit dalam menangani pasien Covid-19.
Namun, tak dapat dimungkiri bahwa situasi Covid-19 di Indonesia tampak semakin parah beberapa waktu terakhir. Jika dilihat, tren pertumbuhan kasus baru harian mengalami lonjakan yang cukup signifikan. Perkembangan yang cukup mengejutkan terjadi pada 9 Juni 2020 di mana terdapat penambahan kasus positif baru sebanyak lebih dari 1.000 kasus dalam satu hari.
Walau sempat turun pada tanggal 14, 21 dan 22 Juni, tren pertumbuhan kasus positif baru harian di atas angka seribu ini berlangsung secara konsisten hingga di minggu pertama Juli 2020. Puncaknya, rekor pertumbuhan kasus baru harian terjadi pada 9 Juli kemarin dengan jumlah kasus positif baru mencapai 2.657 kasus dalam satu hari.
Hal serupa juga terjadi dalam hal pertambahan korban meninggal akibat Covid-19. Walau relatif lebih tidak fluktuatif, jumlah orang meninggal akibat Covid-19 di Indonesia juga mengalami tren peningkatan dalam kurun Juni-Juli. Dalam periode waktu tersebut, jumlah kematian harian mencapai titik tertinggi pada 5 Juli dengan jumlah kematian per hari mencapai 82 orang.
Memburuknya situasi pandemi di Indonesia perlu diwaspadai. Jika tidak dimitigasi dengan tepat dan cepat, bukan tidak mungkin pandemi ini bisa menjadi bencana kesehatan berkepanjangan. Menurut prediksi dari COVIDAnalytics, bagian dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), puncak penularan Covid-19 di Indonesia masih jauh.
Apabila pemerintah tetap melanjutkan kebijakan pelonggaran PSBB, atau transisi menuju normal baru, kasus positif di Indonesia dapat mencapai lebih dari 45 juta kasus pada puncaknya di November tahun ini. Ramalan gelap ini bukan tidak mungkin untuk terjadi mengingat WHO telah mengonfirmasi penelitian yang menunjukkan bahwa Covid-19 dapat menular melalui udara.
Korbankan Kesehatan
Tak dapat dimungkiri, semakin parahnya situasi pandemi di Indonesia juga diakibatkan oleh kebijakan pelonggaran PSBB oleh pemerintah. Menurut laporan dari CSIS berjudul ”Evaluasi Kegiatan Ekonomi dan Intensitas Penyebaran Covid-19 di Masa New-Normal: Tinjauan atas Beberapa Indikator Cepat”, kondisi kesehatan di beberapa daerah memburuk semenjak PSBB dilonggarkan. Meskipun demikian, kebijakan tersebut juga terbukti berhasil memantik geliat ekonomi nyaris di semua provinsi di Indonesia.
Penelitian dari CSIS itu berusaha memetakan kondisi ekonomi dan kesehatan di tiap provinsi di Indonesia sebagai bentuk evaluasi kebijakan transisi menuju normal baru yang dikeluarkan pemerintah.
Untuk mengukur kondisi kesehatan, tim peneliti mempertimbangkan beberapa hal, seperti tingkat penyebaran pada saat tertentu, jumlah dan pertumbuhan kasus aktif, lamanya waktu ke puncak penyebaran, dan jumlah penduduk. Sementara untuk mengukur kondisi ekonomi, tim peneliti menggunakan beberapa indikator, seperti penggunaan energi listrik dan mobilitas masyarakat.
Hasilnya, tim peneliti membagi kondisi kesehatan dan ekonomi ke dalam empat kuadran. Keempat kuadran tersebut adalah Kuadran I (ekonomi membaik,kesehatan membaik), Kuadran II (ekonomi membaik, kesehatan memburuk), Kuadran III (ekonomi memburuk, kesehatan memburuk), dan Kuadran IV (ekonomi memburuk, kesehatan membaik).
Keempat kuadran ini kemudian dapat memetakan provinsi mana sajakah yang relatif berhasil melaksanakan transisi ke normal baru dan yang cenderung mengorbankan situasi kesehatan untuk menggenjot perekonomian.
Menurut hasil penelitian tersebut, memang hampir seluruh provinsi di Indonesia mengalami perbaikan kondisi ekonomi pasca-pelonggaran PSBB. Beberapa provinsi yang mengalami perbaikan secara signifikan meliputi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, NTB, DIY, NTT, dan Jawa Tengah.
Sementara itu, beberapa provinsi lain, seperti Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Maluku, dan Kalimantan Barat, mengalami perbaikan ekonomi tetapi dengan kecepatan yang relatif lebih lambat.
Dari segi kondisi kesehatan, beberapa provinsi yang mengalami perbaikan paling signifikan adalah Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Gorontalo, Kalimantan Barat, dan Bengkulu. Beberapa provinsi seperti Kalimantan Tengah, Banten, dan DIY juga mengalami perbaikan walau tidak signifikan. Adapun kondisi kesehatan beberapa provinsi lain, seperti Riau, Maluku Utara, dan Aceh, menjadi yang paling memburuk pasca-kebijakan pelonggaran PSBB.
Jika dibagi ke dalam empat kuadran, 19 provinsi telah masuk ke dalam kategori I atau mengalami perbaikan kondisi kesehatan dan ekonomi. Meski demikian, 13 provinsi masih masuk kategori II atau mengalami peningkatan kondisi ekonomi tetapi mengalami kondisi kesehatan yang memburuk.
Provinsi Aceh justru mengalami penurunan, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi. Artinya, dari 32 provinsi yang sempat mengeluarkan kebijakan PSBB, 14 di antaranya mengalami penurunan kesehatan setelah kebijakan pelonggaran dikeluarkan.
Pengorbanan tak sepadan
Perbaikan ekonomi tentu menjadi hal penting untuk diperjuangkan. Namun, seberapa besarkah trade-off kesehatan yang harus dibayar oleh pemerintah untuk mengengkol perekonomian? Selain itu, apakah pengorbanan itu sepadan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat contoh dari Eropa. Lebih spesifiknya ialah kasus terpuruknya kondisi kesehatan dan perekonomian Swedia. Kondisi kesehatan dan ekonomi salah satu negara yang tidak mengeluarkan kebijakan PSBB ketat ini bisa memberikan contoh bagaimana pilihan pemerintah dapat berakibat fatal di kala pandemi ini.
Swedia sedari awal memang tidak mengeluarkan kebijakan PSBB yang ketat, tidak seperti hampir seluruh negara di Eropa. Negara ini memilih jalan herd immunity dengan sedikit bumbu imbauan pembatasan sosial dengan alasan bahwa PSBB ketat, seperti lockdown, bukan merupakan solusi yang berkelanjutan.
Selain itu, mereka juga yakin kebijakan PSBB yang longgar akan meredam dampak pereknomian, yang juga dapat meredam memburuknya kondisi kesehatan akibat hilangnya jaminan kesehatan bagi para pengangguran baru. Argumentasi ini diperkuat dengan kepercayaan diri Swedia atas kemampuan infrasturktur kesehatannya dalam menghadapi beban pasien Covid-19.
Namun, nyatanya kepercayaan diri Swedia harus dibayar mahal. Walau sedang mengalami tren penurunan, jumlah kematian di negara tersebut terhitung cukup tinggi. Hingga 9 Juli, jumlah kematian akibat Covid-19 di Swedia berada di angka 5.500 jiwa atau setara dengan 7,4 persen dari total kasus.
Berbeda dengan tren kematian, tren pertumbuhan kasus baru di negara ini justru sedang mengalami peningkatan. Pada Juni lalu, pertumbuhan kasus baru di negara ini mencapai titik tertingginya semenjak kasus pertama ditemukan dengan penambahan sebanyak lebih dari 1.800 kasus dalam satu hari.
Memburuknya situasi kesehatan ini sayangnya tidak diimbangi dengan teredamnya dampak ekonomi secara signifikan. Meski Swedia menjadi salah satu negara di dunia yang berhasil menghindari resesi pada kuarter pertama 2020, pertumbuhan PDB pada periode waktu tersebut tidak berjarak terlalu jauh dari angka 0. Selain itu, menurut IMF, prediksi pertumbuhan PDB di negara tersebut pada 2020 pun diprediksi anjlok hingga di angka -6,8 persen.
Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal. Pertama, permintaan secara umum menurun. Dari segi konsumsi luar negeri, meski masih menuai untung dari ekspor pada Q1 2020, menurunnya permintaan produk Swedia tentu bukanlah hal yang mengejutkan melihat keterpurukan perekonomian Eropa dan dunia akibat pandemi ini.
Namun, yang mengejutkan justru permintaan dalam negeri yang juga ikut turun, yang terlihat dari tingkat inflasi di angka 0,5 persen. Parahnya, penurunan ini juga diikuti dengan penurunan aktivitas perekonomian yang terjadi lebih dalam dari prediksi pemerintah setempat.
Pengetatan kembali kebijakan PSBB bisa jadi opsi yang baik untuk dipertimbangkan.
Menurunnya aktivitas perekonomian ini menjadi aneh mengingat Swedia tidak mengeluarkan kebijakan PSBB yang ketat. Ternyata, meski tidak bersumber dari peraturan, penurunan aktivitas ekonomi ini diakibatkan oleh ketakutan publik terhadap situasi pandemi di Swedia yang kian memburuk. Publik yang takut ini pun enggan untuk datang ke kantor, berkunjung ke restoran, dan berbelanja ke pusat perbelanjaan.
Kesimpulannya, meskipun pemerintah suatu negara tidak mengetatkan aturan PSBB, pada akhirnya publik pun akan cenderung resisten untuk berjalan ke arah normal baru. Terutama, apabila publik dari negara tersebut memiliki kesadaran akan seberapa berbahaya ancaman dari Covid-19.
Selain itu, kebijakan pelonggaran PSBB yang digadang-gadang dapat melejitkan kondisi perekonomian itu terbukti tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Maka, terjawablah sudah pertanyaan itu bahwa pengorbanan atas kesehatan untuk menggenjot jalannya perekonomian itu tidak sepadan. Karenanya, mengingat kian gentingnya situasi Covid-19 di Indonesia, pengetatan kembali kebijakan PSBB bisa jadi opsi yang baik untuk dipertimbangkan. (LITBANG KOMPAS)