Kebiasaan Memakai Masker pada Masa Depan
Upaya menjadikan masker sebagai bagian dari kesadaran hidup sehat membutuhkan perjuangan yang tak mudah, seperti halnya sosialisasi kondom pada HIV.
Pandemi Covid-19 memaksa orang menggunakan masker penutup wajah hampir di segala kesempatan. Tak mustahil penggunaan masker akan berlangsung lama. Bahkan, memakai masker bisa menjadi ”kebiasaan sadar” seperti penggunaan kondom untuk mencegah penularan HIV.
Awal Juni, sejumlah studi yang didukung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, penggunaan masker dan jaga jarak bisa menurunkan risiko penularan Covid-19 hingga 85 persen. WHO juga merilis panduan tentang siapa yang wajib mematuhi dua ketentuan itu.
Pertama, semua yang bekerja di fasilitas kesehatan, termasuk pekerja yang tak berurusan dengan Covid-19. Kedua, masyarakat umum, terutama dalam situasi yang sulit untuk menjaga jarak, seperti di angkutan umum, pertokoan, dan lingkungan yang ramai. Terakhir, warga berusia 60 tahun ke atas.
Tanpa gejala
Tak ada yang bisa memastikan sampai kapan orang memakai masker dan pelindung lain. Sampai saat ini, perkembangan kasus Covid-19 cenderung memperlihatkan penularan yang semakin cepat oleh orang sehat yang tak menunjukkan gejala.
Menurut David O’Connor, peneliti virus pada Universitas Wisconsin-Madison, tidak jarang berbagai tes hingga isolasi terlambat atau tak efektif karena gejala muncul sebelum orang merasa sakit. Dua riset menjadi alasan O’Connor.
Pertama, penelitian sejumlah ahli dari China yang menelusuri pola penularan dari 94 pasien yang terkonfirmasi Covid-19 dan 77 orang yang terbagi atas penular (infector) dan tertular (infectee). Salah satu kesimpulannya adalah indikasi porsi penularan yang signifikan sudah terjadi sebelum sampel yang terinfeksi menunjukkan gejala.
Riset kedua ialah perbandingan patogenesis (proses penularan mulai dari permulaan terjadinya infeksi hingga reaksi akhir) Covid-19, MERS, dan SARS pada sejumlah primata yang dirilis Sciencemag.org edisi 29 Mei 2020. Sampel primata meliputi sejumlah kera ekor panjang (Cynomolgus macaques) yang banyak hidup di Asia Tenggara.
Menurut Barry Rockx, peneliti Universitas Erasmus, Belanda, hewan pemakan aneka buah ini tak menunjukkan gejala seperti manusia yang tertular Covid-19, padahal patologi paru-parunya memperlihatkan kondisi tertular. Hal ini menunjukkan, terjadi penularan virus secara tersamar yang tidak mudah terdeteksi.
Mirip virus HIV
Pola gejala demikian juga terjadi saat wabah human immunodeficiency viruses (HIV) merajalela, yakni penularannya berlangsung saat orang merasa sehat. Berdasarkan pengalamannya meneliti HIV dan SARS-CoV-2, O’Connor mengusulkan agar penggunaan masker menjadi sebuah kebiasaan sadar. Kebiasaan sadar sama seperti memakai kondom untuk tujuan mengurangi risiko tertular virus HIV.
Brian Castrucci, ahli kesehatan masyarakat dari De Beaumont Foundation, AS, mencontohkan bagaimana publik AS menghadapi HIV. Ketika HIV menjadi epidemi, sebagian warga di negara itu mulanya tak terlalu khawatir. Namun, saat mengetahui bahwa penyakit ini bisa menular melalui hubungan seks yang tidak sehat, kondom pun diterima sebagai salah satu cara untuk menghindari penularannya. Sebagai catatan, HIV tetap menjadi virus yang menjangkiti manusia di berbagai belahan dunia hingga kini.
Covid-19 semakin berisiko menyebabkan kematian jika penderitanya memiliki penyakit bawaan, sementara penyakit-penyakit bawaan tersebut umum dialami manusia di seluruh dunia (lihat grafis). Artinya, peran masker sebagai sarana pencegahan penyakit menular menjadi sangat penting.
Budaya masker
Jauh sebelum terjadi pandemi Covid-19, penggunaan masker di Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Filipina, dan China bukan hal baru lagi. Sejak 1950-an sampai sekarang, rakyat di Jepang, misalnya, terbiasa mengenakannya dalam keperluan apa pun karena menjadi bagian dari sopan santun bersama.
Kondisi tak enak badan, belum berdandan, cuaca dingin, hingga polusi menyebabkan orang menggunakan masker. Wabah SARS yang merebak dari China pada 2002 juga membuat masker kian penting dalam hidup sehari-hari di Asia.
Jauh sebelum terjadi pandemi Covid-19, penggunaan masker di Taiwan, Korea Selatan, Jepang, Filipina, dan China bukan hal baru.
”Ada perasaan aman jika orang melihat Anda memakainya,” kata Yukiko Iida, peneliti pada Environmental Control Center di Tokyo, Jepang.
Budaya bermasker pun menjadi tren tersendiri di kalangan anak muda, terutama di Korsel. Ada semacam ”standar penampilan” (lookism), terutama pada perempuan, yang menjadikan mereka terbiasa ”menyembunyikan” wajah agar tak terlalu terlihat—atau dikomentari—di tempat-tempat umum.
Pertimbangan inilah yang sering menjadikan kaum muda memakai masker tidak selalu dengan alasan medis, tetapi aksesori.
Penggunaan masker yang meluas, terutama sejak masyarakat diminta mengutamakan pemakaian masker kain, memunculkan peluang bisnis. Mengutip bbc.com, sejumlah nama dan tokoh dunia menyemarakkan tren ini. Nancy Pelosi, Ketua DPR AS, sering tampil dengan motif masker atraktif atau berpola setelan baju-masker. Presiden Slowakia Zusana Caputova sering dipuji sebagai tokoh ”Modern Day Corona” karena sering mengenakan masker dalam acara-acara resmi.
Rumah mode Givenchy di Perancis mendesain paket masker dengan topi (cap) sekitar Rp 7,5 juta. Ada juga dalam format lain, yaitu trikini alias bikini dan masker, yang dirancang Tiziana Scaramuzzo dari Italia. Bahkan ada yang mengombinasikannya dengan perhiasan agar lebih glamor, seperti yang dilakukan desainer Sefiya Sjejomaoh.
Tren itu ibarat memberi sedikit ”kesejukan” di tengah kecamuk pandemi, seperti diungkapkan Shelly Horst, pendiri Room Shop Vintage di AS yang desain maskernya digemari. ”Ada nuansa gembira dan unik dengan mengenakannya di tengah masa yang menakutkan ini,” katanya.
Bagaimanapun, upaya menjadikan masker sebagai bagian dari kesadaran hidup sehat tetap membutuhkan perjuangan yang tak mudah, seperti sosialisasi kondom pada HIV.
Ide mengaitkan kebiasaan memakai masker seperti menggunakan kondom layak diperjuangkan. Ada kemiripan antara Covid-19 dan HIV. Pertama, orang bisa terinfeksi tanpa menyadarinya. Kedua, kondom dan masker sama-sama menjadi pelindung terhadap penularan. Ketiga, keduanya (kondom dan masker) memang bukan yang terbaik, tetapi setidaknya memberi proteksi dalam perilaku yang berisiko. Dengan catatan, semua harus menggunakannya secara bersama-sama. Pada akhirnya, kita memang harus mengenakan masker ataupun pelindung wajah. (LITBANG KOMPAS)