Pidato Kemerdekaan AS Jadi Panggung Kampanye Trump
Pidato kenegaraan perayaan kemerdekaan AS justru dimanfaatkan oleh Donald Trump untuk berkampanye, bahkan bernuansa memecah belah dan sarat kepentingan politik.
Pidato kenegaraan untuk memperingati hari kemerdekaan di Amerika Serikat menjadi momen penting untuk diperhatikan. Umumnya pidato ini digunakan oleh presiden untuk menyampaikan pesan persatuan serta berbicara tentang persoalan negara yang sedang dihadapi. Namun, pada 2020 ini, pidato Presiden Donald Trump justru bernuansa memecah belah dan sarat kepentingan politik.
Pada 2020 ini, Trump mengadakan dua acara kenegaraan yang dilaksanakan pada Jumat (3/7/2020) dan Sabtu (4/7/2020) di monumen Mount Rushmore, South Dakota, dan Gedung Putih.
Sama dengan tahun sebelumnya, Trump menghadirkan pertunjukan atraksi jet tempur yang dilakukan Angkatan Udara AS. Tak lupa serangkaian acara pidato kenegaraan itu juga dilengkapi dengan letupan kembang api dan sorak-sorai dari ribuan pendukung Trump yang berkumpul.
Dalam pidato pertama, Donald Trump menyampaikan pidato yang cukup padat dengan durasi selama 42 menit dan teks sepanjang 3.690 kata. Adapun pidato kedua memiliki durasi yang lebih pendek selama kurang dari setengah jam dengan teks sepanjang 3.019 kata.
Padatnya pidato Trump ini juga disampaikan dengan bahasa yang relatif sederhana dengan tingkat kesulitan setara dengan kemampuan berbahasa murid SMA kelas 11-12.
Dari pemilihan katanya, terlihat Trump menitikberatkan pidatonya pada aspek sejarah. Beberapa kata kunci yang ada dalam pidato pertamanya meliputi history dengan frekuensi sebanyak 13 kali, justice, dan heroes dengan frekuensi sebanyak 9 kali serta law dengan frekuensi sebanyak 7 kali.
Selain keempat kata kunci di atas, ada beberapa kata kunci lain yang digunakan oleh Trump dalam pidatonya kali ini, seperti independence, patriots, liberty, dan left. Beberapa kata kunci tersebut juga dipakai oleh Trump di pidato kedua walau dengan frekuensi berbeda.
Meski disampaikan dua kali, jika ditelaah lebih dalam, semua pidato Trump pada perayaan kemerdekaan tahun ini berisikan enam tema. Di antaranya adalah sanjungan Trump terhadap angkatan militer AS, sejarah nasional AS, perlindungan nilai-nilai AS dalam bernegara, gelombang demonstrasi di AS, bahaya golongan sayap kiri, liberal, serta demokrat, dan dukungan kepada kepolisian AS.
Pidato Donald Trump dimulai dengan sanjungan kepada personel militer AS, khususnya Blue Angels, skuadron dari Angkatan Laut AS yang menyajikan pertunjukan akrobatik dalam acara perayaan kemerdekaan ini.
Dalam kedua pidatonya, Trump menyampaikan sanjungannya terhadap para veteran AS yang telah berjuang di medan tempur dalam perang AS di Korea, Vietnam, hingga Timur Tengah.
Tidak hanya itu, Trump juga menyampaikan rasa terima kasihnya terhadap personel kepolisian, petugas kesehatan, dan peneliti yang telah berjuang dalam melawan gempuran virus yang tengah melanda AS.
Setelah itu, Trump bercerita tentang sejarah nasional AS. Di depan monumen Mount Rushmore yang menampilkan wajah dari empat presiden legendaris AS, George Washington, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, dan Teddy Roosevelt.
Trump menyampaikan komitmennya dalam melindungi nilai-nilai luhur yang diperjuangkan oleh keempat bapak bangsa tersebut. Tak lupa komitmen ini pun disampaikan oleh Trump dengan bumbu kecemasannya terhadap gelombang demonstrasi yang tengah melanda AS.
Dalam pidatonya, Donald Trump memang tidak berbicara secara gamblang terkait dengan gelombang demonstrasi di AS. Alih-alih ia menggunakan frasa massa yang marah (angry mobs) untuk merujuk para demonstran yang hingga kini masih membanjiri jalanan di tiap bagian negara di AS.
Terlebih lagi para demonstran pun digambarkan sebagai penebar teror, kekerasan, dan vandalisme sehingga berbahaya untuk keamanan negara dan masyarakat.
Hal ini diperparah dengan fakta bahwa aksi demonstran pada awal minggu kedua Juni 2020 melibatkan aksi vandalisme dalam bentuk perusakan patung Christopher Columbus dan mantan Presiden AS Jefferson Davis.
Tidak hanya digambarkan dengan kesan yang buruk, para demonstran yang tengah memprotes kekerasan oknum aparat kepolisian dan rasisme di AS ini juga dianggap tidak memahami alasan di balik aksi mereka.
Trump menyatakan, massa yang marah tidak menyadari apa yang mereka lakukan. Tidak hanya itu, Trump juga berargumen, aksi yang dilakukan oleh massa tersebut merupakan ekses dari pandangan bias yang dipengaruhi golongan ekstrem kiri.
Menurut Trump, sejarah menunjukkan, masyarakat kulit hitam di AS bukanlah orang-orang barbar. Ia menyebut beberapa nama tokoh, seperti Muhammad Ali dan Martin Luther King, sebagai produk masyarakat AS yang inklusif dan toleran. Baginya, para demonstran yang mengamuk di AS saat ini telah mencederai nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para tokoh tersebut di masa lampau.
Maka, bagi Trump, golongan kiri menjadi biang keladi dari gesekan yang terjadi di tengah masyarakat AS. Dalam pidato ini, ia menuding golongan kiri telah menyusup ke dalam sekolah, redaksi media, hingga meja direksi perusahaan. Trump beranggapan, golongan yang ia sebut ”fasis kiri” ini mengancam siapa pun yang tidak seide dengan mereka melalui indoktrinasi, sensor, dan persekusi.
Parahnya, tudingan ini tidak hanya mengarah kepada golongan ekstrem kiri, tetapi juga golongan demokrat liberal yang jelas-jelas merupakan bagian dari partai yang akan bertarung dengan Republikan di pemilu mendatang.
Dengan begitu, Trump menyiratkan, anggota kepolisian dan penegak hukum menjadi pihak yang paling dirugikan dari serangkaian aksi massa yang tengah berlangsung. Maka, secara gamblang Donald Trump pun memberikan dukungannya terhadap para petugas hukum untuk terus menjaga keamanan negara dari para demonstran.
Tidak hanya itu, Trump juga mengundang dan memberi penghormatan secara khusus untuk keluarga dari David Dorn, pensiunan kepolisian kota Saint Louis, yang meninggal akibat ditembak oleh salah satu demonstran yang sedang menjarah.
Trump berargumen, aksi yang dilakukan oleh massa tersebut merupakan ekses dari pandangan bias yang dipengaruhi golongan ekstrem kiri.
Tidak sensitif, sarat kepentingan politik
Walau tampak didukung oleh ribuan simpatisan, pidato peringatan kemerdekaan oleh Trump tahun ini menuai protes. Kedua pidatonya dianggap tidak sensitif terhadap dua krisis yang sedang dihadapi AS, yakni pandemi Covid-19 dan gelombang demonstrasi. Ketidakpekaan Trump dalam menangkap dua krisis yang sedang berlangsung tersebut setidaknya terlihat dari dua hal.
Pertama, Trump gagal menunjukkan keseriusan menghadapi pandemi Covid-19. Pada pidato pertamanya di Mount Rushmore, Trump hampir tidak membahas situasi pandemi sama sekali.
Trump hanya menyebutkan kata ”virus” sebanyak satu kali, yang ia sampaikan seraya memberikan terima kasihnya kepada perjuangan tenaga medis dan ilmuwan. Selain itu, di pidato pertamanya juga tampak tidak mengindahkan protokol kesehatan.
Sementara pada pidato keduanya di Washington, Trump terkesan menyepelekan magnitudo pandemi tersebut dengan mengatakan bahwa hampir tidak ada kasus positif Covid-19 di AS yang berakibat fatal. Padahal, fakta menunjukkan sebaliknya.
Semenjak 25 Juni, AS sedang mengalami peningkatan tren pertumbuhan kasus positif harian. Hingga 4 Juli, setiap harinya kasus positif Covid-19 di AS bertambah dengan angka di atas 40.000 kasus.
Rekor pertumbuhan ini merupakan yang tertinggi semenjak AS mengonfirmasi kasus pertamanya pada pertengahan Maret. Tidak hanya itu, korban meninggal akibat virus tersebut juga telah mencapai jumlah lebih dari 132.000 jiwa dalam periode waktu yang sama.
Kedua, Trump juga gagal memahami sensitivitas isu gelombang demonstrasi yang tengah berlangsung di AS. Alih-alih menunjukkan simpatinya terhadap tragedi meninggalnya George Floyd, sebagai salah satu pemicu demonstrasi, Trump justru mendiskreditkan posisi para demonstran dengan menggunakan sebutan ”massa yang marah”.
Tidak hanya itu, Trump juga menihilkan nilai-nilai yang disuarakan oleh para demonstran di jalanan dan mengatakan demonstran tidak paham atas apa yang mereka lakukan.
Terlebih lagi, sembari membingkainya dengan narasi kepahlawanan dari tokoh-tokoh negara, Trump secara gamblang menuding para demonstran berusaha menghapus identitas serta nilai-nilai masyarakat AS dan menyatakan mereka merupakan musuh negara.
Nyatanya, serangkaian aksi demonstrasi memantik diskursus ketimpangan sosial yang selama ini masih kerap dianggap tabu untuk diperbincangkan. Serangkaian protes tersebut tidak hanya bertujuan meminta keadilan atas meninggalnya seorang warga kulit hitam.
Trump gagal memahami sensitivitas isu gelombang demonstrasi yang tengah berlangsung di AS.
Demonstrasi tersebut adalah upaya mendesak Pemerintah AS dalam menyelesaikan ketimpangan ras dalam hal ekonomi, sosial dan politik. Ironisnya, meski dituding telah mencederai perjuangan tokoh kulit hitam, para demonstran justru menyuarakan hal yang serupa dengan tokoh-tokoh tersebut di masa yang lalu.
Jika dipahami lebih lanjut, minimnya sensitivitas ini bisa jadi akibat dari kepentingan politik pribadi Trump. Contohnya, alih-alih mengendurkan ketegangan di tengah masyarakat yang sedang terbelah, kedua pidato Trump tahun ini seakan menciptakan garis imajiner yang memisahkan para partisannya dengan masyarakat umum. Siapa yang tidak sepahaman dengan Trump dan pendukungnya diberikan label ”kiri”, ”fasis”, ”liberal” dan ”demokrat”.
Contoh lain juga terlihat dari bagaimana Trump menempatkan militer di dalam pidatonya. Bukanlah hal yang baru ia berusaha untuk terus mendekat ke faksi militer AS. Pada Pemilu AS 2016, golongan tersebut memang menjadi salah satu pundi suara bagi Donald Trump.
Tidak hanya itu, langkah ini juga merupakan upaya Trump merangkul golongan militer yang marah akibat keputusannya melibatkan tentara aktif untuk meredam aksi massa yang telah berbulan-bulan melanda AS.
Kedua contoh di atas menunjukkan pidato kenegaraan pun disulap menjadi ajang kampanye gratis di tangan Donald Trump. Ke depannya, polemik dari pidato Donald Trump pada perayaan hari kemerdekaan AS tahun ini berpotensi untuk mengarah ke hal lain yang lebih serius.
Dengan narasi Trump yang kental dengan nuansa memecah belah, kemungkinan besar masyarakat AS akan pecah menjadi dua kubu besar hingga pemilu pada November. Kita lihat saja siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari pidato Trumph tersebut. (LITBANG KOMPAS)