Pentingnya Mitigasi Risiko Wabah Covid-19
Kesiapan mitigasi wabah menjadi urgensi di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19. Upaya mitigasi wabah akan sangat berguna untuk merencanakan langkah berikutnya.
Pengukuran dan penerapan kesiapan mitigasi wabah menjadi urgensi di tengah ketidakpastian pandemi Covid-19. Merumuskan manajemen risiko di setiap fase, menentukan ukuran-ukuran penilaian mitigasi, serta menghadirkan paradigma risiko merupakan unsur penting dalam mitigasi wabah.
Fenomena pandemi tidak lepas dari terminologi dalam kebencanaan, yaitu termasuk dalam kategori bencana non-alam. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Terminologi bencana non-alam tentu tak lepas dari siklus penanganan bencana, terutama mitigasi wabah penyakit. Berbeda dengan bencana longsor, tsunami, atau banjir, yang bisa diperkirakan kapan akan berakhir dengan tahapan penanganan yang bisa presisi dalam satuan waktu.
Sebaliknya, situasi pandemi menunjukkan kadar ketidakpastian yang tinggi dibandingkan jenis kondisi krisis lainnya. Masifnya penularan, anjloknya perekonomian, hingga ancaman kelaparan menjadi ukuran-ukuran yang sangat dinamis di tengah ketidakpastian situasi pandemi.
Upaya mitigasi wabah akan sangat berguna untuk merencanakan langkah berikutnya di sisa tahun 2020 dan sebagai persiapan untuk memasuki tahun 2021. Situasi saat ini secara nasional belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan, ditunjukkan oleh pengendalian kasus infeksi dan kematian.
Hingga 29 Juni 2020, total kasus infeksi Covid-19 di Indonesia telah mencapai 55.092 kasus dengan persentase kasus meninggal sebesar 5,1 persen. Jumlah kasus tertinggi berada di Provinsi Jawa Timur (11.805 kasus), diikuti DKI Jakarta (11.237 kasus).
Indonesia juga menduduki posisi tertinggi di Asia Tenggara, bahkan penambahan kasus hariannya pun sangat tinggi. Urutan kedua kasus infeksi tertinggi berada di Singapura (43.661 kasus), diikuti Filipina (36.438 kasus) dan Malaysia (8.637 kasus).
Pengukuran dan penerapan kesiapan mitigasi wabah menjadi urgensi di tengah ketidakpastian pandemi. Setidaknya ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat cara perumusan hingga pentingnya mitigasi di tengah situasi wabah.
Pertama, manajemen risiko di tengah wabah berlaku di setiap fase, mulai dari fase interpandemic hingga fase transisi. Kedua, menentukan ukuran-ukuran pasti dalam penilaian mitigasi wabah. Ketiga, perubahan paradigma persepsi risiko menjadi mitigasi risiko wabah.
Fase pandemi
Wabah Covid-19 pada akhir tahun 2019 bukan pandemi satu-satunya yang berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan. Setidaknya ada 14 pandemi besar di seluruh dunia, mulai antonine plague: smallpox tahun 165-180, black death: bubonic plague tahun 1300-an, hingga H1N1 influenza pandemic tahun 2009-2010-an.
Dua epidemi besar yang cukup mengguncang dunia adalah SARS tahun 2002 dan MERS tahun 2012. Keduanya disebabkan oleh virus korona. Pandemi Covid-19 juga termasuk jenis penyakit yang disebabkan oleh virus korona.
Dalam situasi wabah atau pandemi, setidaknya terdapat empat fase utama, yaitu fase interpandemic, peringatan, pandemi, dan transisi. Seluruh fase tersebut harus dilakukan penilaian risiko agar upaya-upaya penanganan berjalan maksimal.
Fase interpandemic termasuk dalam proses kesiapsiagaan. Saat itu, infeksi sudah mulai muncul, tetapi penyebarannya belum masif. Penilaian risiko harus dilakukan dengan cara pengembangan kapasitas pendukung manajemen risiko kedaruratan.
Kapasitas pendukung manajemen risiko kedaruratan meliputi inventarisasi kesiapan layanan kesehatan, tenaga kesehatan, dan rencana-rencana pengobatan serta tindakan medis yang dibutuhkan. Setelah fase ini selesai, berlanjut ke fase peringatan dan fase pandemi.
Kedua fase tersebut termasuk dalam proses respons di situasi wabah. Fase peringatan mengutamakan pembentukan jaringan layanan kesehatan yang terpusat, termasuk perencanaan regulasi untuk mendukung proses penanganan wabah.
Fase pandemi merupakan titik klimaks dalam penyebaran virus di seluruh dunia. Skala respons yang digunakan bukan bersifat regional, melainkan secara global. Saat fase ini, otoritas kesehatan dunia akan mendeklarasikan status wabah sebagai pandemi.
Sementara fase transisi menunjukkan tahapan pemulihan setelah situasi pandemi. Semua sektor terdampak akan dihitung besar kerugian dan estimasi waktu yang dibutuhkan untuk kembali normal. Tahapan pemulihan harus dikerjakan dengan teliti sebab ancaman pandemi gelombang kedua masih mengintai.
Ukuran mitigasi wabah
Sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, mitigasi didefinisikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Secara umum, mitigasi dibedakan menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural. Dalam kaitannya dengan wabah, pendekatan yang digunakan sedikit berbeda dibandingkan merumuskan mitigasi bencana alam. Metode mitigasi struktural dan nonstruktural berjalan beriringan.
Mitigasi wabah dilakukan dengan klusterisasi parameter-parameter yang berhubungan langsung dengan peningkatan risiko infeksi. Setidaknya ada enam parameter yang digunakan untuk merumuskan mitigasi wabah.
Parameter pertama adalah pembatasan mobilitas dengan tujuan menurunkan penyebaran virus. Pembatasan pergerakan orang meliputi banyak hal, seperti penghentian transportasi umum, pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, mengurangi kegiatan di luar ruangan, termasuk tidak berkerumun.
Berikutnya, pembatasan kegiatan sosial ekonomi. Target parameter tersebut adalah aktivitas di sekolah, pariwisata, pusat kebugaran, hingga pekerjaan-pekerjaan di luar ruangan. Masyarakat beralih ke konsep bekerja dari rumah dengan intensif.
Parameter ketiga adalah pembatasan jarak fisik atau pembatasan sosial. Saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan jarak antar-individu 1,5-2 meter. Berikutnya, ukuran higienisitas untuk menghentikan penyebaran virus. Parameter tersebut meliputi cuci tangan minimal 20 detik, bersin ditutup lengan bagian dalam, hingga pemakaian masker.
Parameter berikutnya adalah komunikasi risiko. Kluster komunikasi digunakan untuk mengukur tingkat pemahaman, kepercayaan, dan penerimaan publik. Terakhir, mekanisme dukungan internasional yang diukur dengan intensitas bentuk kerja sama dan kapasitas sebuah negara.
Seluruh parameter tersebut digunakan untuk merumuskan rencana mitigasi di tengah pandemi. Secara historis, ukuran-ukuran mitigasi wabah telah digunakan. Apabila dilihat dari perjalanan penanganan pandemi, parameter pembatasan sosial ekonomi dipilih pertama kali pada 1 Januari 2020 saat makin banyak ditemukan kasus infeksi.
Dari persepsi ke mitigasi
Konsep pengurangan risiko adalah tujuan dari upaya mitigasi yang dilakukan. Langkah awal dari penurunan risiko dilakukan dengan membentuk persepsi publik yang benar. Oleh sebab itu, pergeseran dari persepsi ke mitigasi risiko menjadi langkah besar dalam penanganan situasi wabah atau pandemi.
Untuk kasus pandemi Covid-19, infeksi yang bermula di Wuhan, China, memaksa pemerintah lokal menutup Pasar Bahan Makanan Laut Huanan sebagai langkah mitigasi pada awal Januari 2020. Saat itu, negara-negara lain masih beraktivitas seperti biasa dengan persepsi risiko terhadap situasi wabah minim.
Setelah kasus infeksi pertama muncul di luar China, tepatnya di Thailand, banyak negara mulai meningkatkan upaya mitigasi situasi wabah penyakit. Penutupan perbatasan, menghentikan sementara kegiatan di sekolah, serta pembatasan kegiatan ekonomi diberlakukan di banyak negara.
Upaya mitigasi wabah akan sangat berguna untuk merencanakan langkah berikutnya.
Persepsi risiko menggambarkan kesiapan masyarakat dalam menghadapi pandemi yang ditunjukkan melalui perilaku sesuai protokol kesehatan. Persepsi risiko yang baik berkorelasi kuat dengan ketahanan individu dan keluarga.
Sementara mitigasi risiko menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah untuk menentukan langkah tegas penanganan pandemi. Kunci keberhasilan penanganan terletak pada pemenuhan standar penanganan pandemi, khususnya layanan kesehatan, di suatu wilayah.
Kebutuhan utama dari sisi layanan kesehatan di tengah situasi pandemi Covid-19 terletak pada pemenuhan obat, ventilator, dan validasi vaksin dalam waktu singkat. Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan semua pergerakan manusia terkontrol dan dievaluasi dalam jangka waktu tertentu.
Baca juga : Hidup Sehat Pascapandemi
Inggris, Belanda, dan Swedia menjadi contoh negara yang menerapkan strategi perlindungan penuh terhadap seluruh penduduknya, termasuk jaminan layanan kesehatan dan hasil tes yang dikerjakan dengan cepat dan tepat.
Penanganan pandemi penyakit berbeda dengan jenis bencana lainnya. Faktor ketidakpastian menjadi kendala yang besar untuk memastikan tahapan-tahapan penanganan. Oleh sebab itu, pemerintah harus memastikan setiap individu memiliki persepsi risiko yang benar seiring berjalannya upaya-upaya mitigasi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?