Kilas Peristiwa pada Paruh Pertama 2020
Pelaksanaan pemilu AS yang semakin dekat pada November 2020 membuat politik negara tersebut menarik perhatian dunia pada paruh kedua tahun ini.
Paruh pertama tahun 2020 didominasi kekhawatiran akan pandemi Covid-19. Namun, di luar itu terjadi pula berbagai peristiwa yang mengguncang, seperti demonstrasi antirasisme di AS, demonstrasi prodemokrasi di Hong Kong, serta berbagai ketegangan di Timur Tengah hingga Asia Timur. Berbagai peristiwa ini menarik disimak karena bisa memberikan petunjuk akan arah dunia di paruh kedua tahun 2020.
Pandemi Covid-19 telah menyerang lebih dari 200 negara dan teritorial. Hingga 30 Juni 2020, telah lebih dari 10,4 juta orang terinfeksi penyakit itu dan lebih dari setengah juta di antaranya meninggal.
Negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia adalah Amerika Serikat (AS), Brasil, Rusia, India, dan Inggris. Jika dijumlahkan, ada 5,5 juta kasus positif Covid-19 di lima negara itu atau sekitar 53 persen dari jumlah kasus dunia. AS jadi negara dengan kasus positif terbanyak, yaitu lebih dari 2,6 juta kasus disusul Brasil dengan lebih dari 1,3 juta kasus. Sementara jumlah kasus di Rusia, India, dan Inggris ada di bahwa 1 juta.
Di AS, Brasil, dan Inggris, tingginya jumlah kasus ini diikuti banyaknya kematian. Kematian akibat Covid-19 di tiga negara itu lebih dari 230.000 jiwa atau setara dengan 45 persen dari jumlah kematian global akibat penyakit itu.
Hingga 30 Juni 2020, telah lebih dari 10,4 juta orang terinfeksi penyakit itu dan lebih dari setengah juta di antaranya meninggal.
Di Asia, situasi Covid-19 yang masih mengkhawatirkan, antara lain, terjadi di India, Iran, Pakistan, Turki, Arab Saudi, dan China. Dari segi jumlah kasus, India, Iran, Pakistan, Turki, dan Arab Saudi menjadi lima negara teratas dengan total lebih dari 1,3 juta kasus. Jumlah ini setara dengan 61 persen dari jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh Asia yang berada di angka 2,2 juta.
Jika dilihat dari angka kematian, India, Iran, Pakistan, Turki, dan China menjadi negara dengan situasi Covid-19 terparah. India menjadi negara dengan jumlah kematian tertinggi, yaitu hampir 17.000 jiwa. Jumlah kematian di kelima negara itu melebihi 41.000 jiwa atau setara dengan 74 persen dari total kematian akibat Covid-19 di Asia yang berjumlah sekitar 55.000 jiwa.
Jika dibandingkan dengan situasi global, situasi pandemi di Indonesia bisa dibilang kian mengkhawatirkan. Dengan sekitar 55.000 kasus positif Covid-19, Indonesia menjadi negara kesembilan dengan jumlah kasus terbanyak di Asia. Namun, dari segi jumlah kematian, Indonesia ada di posisi keenam di Asia dengan lebih dari 2.800 kematian.
Namun, hal itu bukan berarti tak ada harapan dalam mengatasi pandemi ini. Beberapa negara, seperti Jerman, Spanyol, Italia, dan Perancis, bisa menjadi contoh keberhasilan menanggulangi Covid-19. Pada Maret hingga April, pertambahan kasus positif Covid-19 di negara-negara itu lebih dari 2.500 per hari. Namun, dengan ketegasan pemerintah dan kepatuhan masyarakat dalam melakukan pembatasan sosial, penambahan kasus harian di negara-negara itu dapat ditekan hingga di bawah 1.000 kasus pada pengujung Juni 2020.
Peristiwa global
Selain pandemi Covid-19, ada beberapa peristiwa lain yang menarik diperhatikan pada semester pertama tahun 2020. Beberapa peristiwa itu masuk ke dalam kelompok demonstrasi, ketegangan geopolitik, perang dagang, dan pemilu.
Tahun 2020 masih menjadi tahun yang dihiasi aksi massa besar-besaran. Salah satu demonstrasi yang mengguncang terjadi di beberapa negara bagian di AS akibat meninggalnya George Floyd, seorang warga kulit hitam AS, akibat tindak kekerasan oknum polisi. Kematiannya pada 25 Mei 2020 membuat ribuan orang berunjuk rasa menentang rasisme dan kebrutalan oknum polisi.
Selain di AS, demonstrasi dengan tajuk ”Black Lives Matter” ini juga terjadi di negara lain, seperti Meksiko, Kanada, Jerman, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand.
Kematian George Floyd dan demonstrasi yang mengikutinya akhirnya menjadi momen yang menyingkap isu laten ketidaksetaraan yang masih menjadi api dalam sekam di sejumlah negara.
Selain demonstrasi bertema rasial, ada juga demonstrasi yang bertema politik, seperti demonstrasi mendukung demokrasi di Hong Kong. Demonstrasi itu menjadi rangkaian panjang resistensi publik Hong Kong terhadap sikap Pemerintah China yang terjadi semenjak September 2019.
Beberapa peristiwa yang mengeskalasi ketegangan geopolitik juga terjadi pada paruh awal 2020. Peristiwa itu, antara lain, penyerangan terhadap jenderal Iran, Qasem Soleimani, pada Januari 2020. Ia dibunuh melalui serangan udara pesawat tanpa awak di sekitar Bandar Udara Internasional Baghdad. Peristiwa ini sontak meningkatkan ketegangan antara Iran dan AS. Puncaknya, di pengujung Juni 2020, Iran mengeluarkan surat edaran penangkapan Donald Trump yang dianggap bertanggung jawab dalam terbunuhnya Qasem Soleimani.
Qasem Soleimani dibunuh melalui serangan udara pesawat tanpa awak di sekitar Bandar Udara Internasional Baghdad
Peristiwa lain yang memperburuk situasi geopolitik terjadi di Ladakh, Provinsi Jammu, dan Kashmir di India. Wilayah yang ada di perbatasan antara India dan China ini menjadi lokasi pertempuran di antara personel militer kedua negara itu pada pertengahan Juni 2020. Sebanyak 20 pasukan India meninggal dalam peristiwa ini.
Semester pertama 2020 juga diwarnai beberapa peristiwa terkait degan isu perang dagang. Sengkarut perang dagang antara China dan AS akhirnya menemui titik terang pada Januari 2020. Saat itu, kedua negara mencapai kesepakatan yang dapat menyelesaikan beberapa persoalan yang menjadi biang dari perang dagang selama tahun 2019.
Beberapa poin yang tercakup dalam perjanjian bilateral itu meliputi keterbukaan yang lebih terhadap perusahaan AS di pasar China, peningkatan impor China terhadap produk agrikultur dan energi, serta perlindungan yang lebih terhadap teknologi dan rahasia perdagangan AS di China.
Walau tidak menyentuh tarif yang diberlakukan AS terhadap produk dari China dengan nilai 360 miliar dollar AS dan disertai ancaman sanksi tambahan oleh Trump apabila China tidak memenuhi tuntutan, perjanjian tersebut tetap disetujui China.
Berhentinya perang dagang untuk sementara antara China dan AS bisa jadi berita baik bagi Trump yang berniat untuk ikut Pemilu AS pada November 2020. Namun, pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya teratasi dan ledakan demonstrasi antirasisme menjadi tantangan bagi Trump.
Meneropong paruh kedua 2020
Beberapa peristiwa yang terjadi pada paruh pertama 2020 berpotensi untuk kembali mewarnai paruh kedua 2020 mendatang. Pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya teratasi pada saat ini berpotensi menimbulkan kecemasan di dua hal pada paruh kedua 2020.
Pertama, yaitu kecemasan akan munculnya gelombang kedua pandemi. Salah satu negara yang diprediksi akan mengalami gelombang kedua pandemi ialah Iran. Pada April 2020, Pemerintah Iran sebetulnya telah berhasil menekan rerata pertumbuhan kasus baru mingguan di bawah 2.000 kasus. Namun, angka itu beranjak naik pada Mei dan semakin memuncak pada Juni dengan besaran rerata hingga lebih dari 3.574 kasus.
Salah satu negara yang diprediksi akan mengalami gelombang kedua pandemi ialah Iran.
Kedua, kecemasan soal kondisi perekonomian dunia yang terhantam oleh pandemi. Bank Dunia memperkirakan, perekonomian dunia akan tumbuh -6,2 persen pada 2020.
Semakin dekatnya Pemilu AS 2020 membuat politik AS juga akan menjadi isu yang menarik perhatian dunia pada paruh kedua 2020. Ini karena pengaruh presiden AS tidak berhenti pada wilayah negaranya, melainkan juga terhadap jalannya hubungan internasional. Maka, kontestasi di Pemilu Presiden AS pada November nanti, secara tidak langsung juga memengaruhi stabilitas politik dunia hingga empat tahun ke depan.
Beberapa peristiwa yang menyebabkan ketegangan geopolitik pada semester pertama 2020 kemungkinan besar juga akan berlanjut pada semester kedua 2020. Bahkan, bukan tidak mungkin apabila konflik yang berawal dari dimensi keamanan ini merembet ke dimensi lain, seperti ekonomi dalam bentuk embargo dan perang dagang. Ini mulai terjadi di India, di mana masyarakat yang geram akan aksi China menuntut Perdana Menteri India melakukan aksi balasan. Mereka juga secara mandiri memboikot produk-produk buatan China yang beredar di India.
(Litbang Kompas)