Menebak Arah ”Booming” Sepeda Setelah Pandemi
Permintaan sepeda meningkat setelah pembatasan sosial. Melihat jejak historisnya, ”booming” sepeda saat pandemi ini hanya bersifat sementara.
Sejak awal dibuat, sepeda berfungsi sebagai alat yang membantu manusia melakukan mobilitas dan aktivitasnya. Namun, bersepeda juga memiliki manfaat lain bagi kebugaran tubuh dan menjaga kualitas udara. Tidak heran jika sepeda tetap dilirik masyarakat walau belum banyak dijadikan moda transportasi utama.
Pandemi Covid-19 menunjukkan betapa penting menerapkan pola hidup sehat di tengah masyarakat, seperti menerapkan jaga jarak dan menghindari kerumunan di transportasi umum. Sepeda kembali terasa manfaatnya saat pandemi melanda dunia seperti sekarang ini.
Survei Global Web Index yang dirilis Maret 2020 menunjukkan, sebanyak 43 persen masyarakat Amerika Serikat dan Inggris lebih memilih berjalan kaki dan 30 persen lainnya memilih bersepeda ketika bepergian.
Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Eropa (UNECE) melihat peluang bagi sektor transportasi untuk menata sistem mobilitas pascapandemi. Penataan dilakukan dengan tujuan sistem transportasi yang ramah lingkungan, menyehatkan, dan berkelanjutan.
Pengguna transportasi umum di Eropa selama lockdown telah turun secara signifikan. Minimnya pergerakan manusia dan kendaraan saat pandemi turut menarik minat masyarakat untuk berjalan kaki dan bersepeda.
Pandemi telah membuat wajah kota sedikit berubah, lebih ramah bagi pejalan kaki dan pesepeda. Kota-kota di Inggris, seperti London, Birmingham, Manchester, Leeds, Liverpool, Bristol, Leicester, Sheffield, Newcastle, dan Cambridge, memberikan ruang lebih leluasa bagi masyarakat untuk berjalan kaki dan bersepeda.
The Cycling Inggris seperti dikutip BBC mengidentifikasi 160 kilometer jalan di kota-kota tersebut didedikasikan untuk jalur pedestrian dan jalur sepeda. Dukungan serupa diberikan pemerintah kota Paris, Perancis, yang menyediakan 650 kilometer jalur untuk sepeda.
Pilihan masyarakat melakukan mobilitas dengan berjalan kaki dan bersepeda bertujuan untuk menghindari kepadatan angkutan massal. Hal ini selaras dengan saran otoritas kesehatan untuk melakukan jarak fisik guna menghindari penularan virus korona.
Tidak heran jika era normal baru juga ditandai dengan munculnya minat masyarakat dunia terhadap sepeda. Toko-toko sepeda di Inggris mengalami peningkatan permintaan. Toko Broadribb Cycles di wilayah Bicester biasanya menjual 20-30 sepeda per minggu, kini 50 sepeda bisa terjual setiap hari. Berbarengan dengan itu, jasa reparasi sepeda di toko tersebut ikut kebanjiran pesanan.
Di Indonesia, penjualan sepeda melalui daring menunjukkan fenomena serupa. Sejak Maret hingga Juni 2020, Bukalapak mencatat peningkatan transaksi penjualan sepeda hingga 156 persen dibandingkan dengan kondisi biasanya.
Sepeda gunung dan sepeda lipat paling populer dicari. Tren peningkatan juga terjadi di toko daring Tokopedia dan Blibli.
Jejak tren sepeda
Sejak awal diperkenalkan, sepeda menjadi bagian mobilitas masyarakat. Sepeda dapat digunakan orang untuk berpindah dari satu tempat ke lokasi tujuan, baik untuk bekerja maupun berbagai keperluan. Karl Drais memperkenalkan sepeda kayu di Jerman pada 1817. Waktu awal dibuat, sepeda kreasi Drais belum menggunakan pedal, jadi pesepeda harus menjejakkan kakinya di tanah agar dapat melaju.
Perkembangan teknologi turut membuat sepeda makin modern. Sepeda kemudian dilengkapi dengan pengayuh atau pedal, desain rangka dan roda yang lebih proporsional, hingga ban ciptaan John Boyd Dunlop yang dapat diisi angin.
Sepeda dibawa masuk ke Indonesia oleh kolonial Belanda. Sebagai teknologi baru, sepeda segera menjadi primadona bagi para priayi pribumi, orang Eropa di Hindia Belanda, serta kaum elite pedagang (Kompas, 24/6/2010).
Tidak heran jika merek-merek sepeda pabrikan Eropa banyak beredar di Indonesia, di antaranya Gazelle yang diproduksi sekitar tahun 1916, kemudian merek Fongers buatan tahun 1930-an. Merek-merek lain di periode berikutnya adalah Hercules, Humber, Simplex, Hima, Hero, Rudge, dan Phillips.
Berkembangnya moda transportasi lain, seperti sepeda motor, mobil, kereta api, dan pesawat terbang, tidak menenggelamkan eksistensi sepeda secara mutlak. Bahkan, di beberapa waktu dan momen, sepeda mengalami booming.
Pada 2004 banyak diadakan acara sepeda santai dan balap sepeda di jalan raya. Acara sepeda santai banyak digelar dalam acara memperingati hari ulang tahun kota, lembaga, atau institusi pemerintah dan swasta. Misalnya, HUT Ke-457 Kota Semarang pada 2 Mei 2004 yang dimeriahkan dengan ajang sepeda santai dan diikuti oleh 20.000 peserta.
Demikian pula dengan kegiatan lomba sepeda. Ajang lomba sepeda international Tour d’Indonesia juga diselenggarakan pada tahun yang sama. Tren sepeda BMX naik daun pula pada tahun itu.
Euforia bersepeda berlanjut pada tahun 2005. Salah satu momen penting adalah deklarasi Bike to Work (B2W) di Jakarta pada Agustus 2005.
Popularitas kegiatan bersepeda juga terekam pada 2010. Salah satu faktor pendorongnya adalah tren sepeda gunung yang banyak diminati masyarakat.
Penjualan sepeda gunung di Kota Bandung meningkat 30 persen dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya (Kompas, 8/1/2010). Diler Polygon di Bandung mengaku pada tahun 2008 per bulan menjual 250 sepeda. Pada tahun berikutnya per bulan terjual 300 sepeda. Pada 2010 laku 400 sepeda per bulan.
Tren sepeda saat itu juga dimeriahkan munculnya jenis fixie atau sepeda dengan fixed gear di kalangan anak muda Indonesia. Tren selanjutnya adalah popularitas sepeda lipat. Sepeda lipat diminati karena faktor ukuran dan bentuk yang ringkas. Cocok untuk berkomuter multimoda transportasi. Sepeda dapat dilipat dan dibawa ke dalam kereta, bus, atau bagasi mobil.
Dalam satu tahun terakhir, informasi tentang sepeda yang banyak dicari masyarakat Indonesia dapat ditelusuri melalui Google Trends. Dengan memasukkan kata bicycle di Google Trends, muncul sepeda lipat merek Brompton dan outlet sepeda JC Bicycle sebagai kata kunci terpopuler. Outlet JC Bicycle yang berpusat di Kota Bandung merupakan penyedia sepeda impor kelas dunia beserta perlengkapannya.
Di luar sepeda Brompton dan outlet JC Bicycle, pencarian informasi lain sepanjang 29 Juni 2019-29 Juni 2020 adalah hari sepeda internasional serta bicycle crunch. Fenomena bicycle crunch merupakan aktivitas olahraga yang dilakukan sambil terlentang dengan gerak kaki memperagakan kegiatan mengayuh sepeda.
Pencarian informasi seputar bicycle crunch memberi gambaran manfaat sepeda bagi masyarakat. Selain itu, aktivitas tersebut menjadi obat kerinduan warga akibat kegiatan bersepeda yang selama tiga bulan nyaris terhenti akibat pembatasan sosial.
Moda alternatif
Ledakan tren penggunaan sepeda juga terjadi di negara-negara lain, seperti di Amerika Serikat. Carlton Reid dalam bukunya yang berjudul Bike Boom: The Unexpected Resurgence of Cycling (2017) merunut jatuh bangun tren sepeda di AS. Reid menelusuri riwayat booming sepeda sejak periode 1905-1939 di Amerika Serikat.
Gelombang popularitas sepeda di AS terjadi pada 1960-an. Sepeda muncul di tengah isu tentang pencemaran lingkungan yang banyak dibicarakan masyarakat AS. Beberapa protes bermunculan akibat maraknya penggunaan kendaraan bermotor yang menimbulkan polusi.
Lonjakan minat bersepeda kembali terulang pada 1970. Peningkatan permintaan sepeda ketika itu bersamaan dengan harga minyak dunia yang merangkak naik.
Majalah Time edisi 14 Juni 1971 turut memberitakan tentang lonjakan permintaan sepeda. Industri sepeda saat itu kesulitan memenuhi tingginya animo terhadap sepeda. Selain naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), ketersediaan jalur sepeda sepanjang 24.000 kilometer turut mengakomodasi kebutuhan pesepeda di AS.
Namun, pamor sepeda merosot pada tahun 1974 bersamaan dengan pulihnya harga minyak dunia. Sepeda mulai ditinggalkan dan masyarakat kembali mengendarai kendaraan bermotor.
Mencermati fenomena tren popularitas sepeda yang pernah terjadi, terlihat dua faktor yang menjadi pendorong. Pertama adalah model dan desain sepeda. Faktor kedua, sebagai alternatif moda transportasi.
Namun, dua faktor tersebut belum menjadi daya tarik yang cukup kuat untuk menggiring masyarakat menjadikan sepeda sebagai alat transportasi utama. Sebagai alternatif alat transportasi, pamor sepeda segera redup di saat moda transportasi utama kembali dapat diakses publik. Fenomena ini terlihat dari imbas kenaikan harga BBM seperti yang pernah terjadi di AS.
Desain dan model sepeda sebenarnya juga memberikan pesona bagi publik untuk membeli sepeda. Fenomena ini terlihat dari munculnya sepeda gunung, BMX, fixie, hingga sepeda lipat yang banyak dicari orang. Namun, fenomena ini juga tidak dapat membuat masyarakat berlama-lama mengendarai sepeda.
Baca juga : Penjualan Sepeda Melonjak di Banyak Negara
Salah satu penyebabnya adalah fungsi sepeda di mata publik. Sebagian besar masyarakat masih menjadikan sepeda sebagai sarana olahraga dan rekreasi. Hasil jajak pendapat Kompas pada 17-18 Maret 2019 menemukan 6 dari 10 warga Jabodetabek menggunakan sepeda sebagai sarana olahraga.
Selain itu, data komuter juga memperlihatkan masih minimnya penggunaan sepeda dibandingkan dengan moda transportasi lain. Publikasi BPS tentang Statistik Komuter Jabodetabek 2019 mencatat, hanya 7.651 orang di Jabodetabek yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Jumlah ini terpaut jauh dibandingkan dengan sepeda motor yang digunakan 2.062.546 orang atau mobil yang digunakan oleh 288.110 orang.
Tren sementara
Melihat statistik tersebut, sepeda belum menjadi moda transportasi utama yang paling banyak digunakan untuk pulang-pergi tempat kegiatan. Jika dipersentase dari seluruh moda transportasi, penggunaan sepeda masih di bawah 1 persen.
Kondisi serupa dialami oleh New York, AS. Komunitas yang bermobilitas mengendarai sepeda hanya 1 persen dari populasi kota New York. Sementara di tingkat negara, pengguna sepeda tertinggi di AS hanya 6 persen dari seluruh jumlah penduduk AS.
Popularitas sepeda sebagai moda transportasi utama masih memerlukan perjalanan panjang. Berdasarkan aspek historis serta penggunaannya, sepeda di Indonesia belum dapat ditempatkan sebagai moda transportasi secara konsisten dalam jumlah besar.
Sebagaimana saat terjadi kenaikan harga BBM, sepeda baru sebatas dijadikan alternatif masyarakat membantu mobilitas. Padahal, melihat manfaatnya, keberadaan sepeda dapat menjaga kebugaran dan mengurangi polusi.
Dilihat dari aspek kelestarian lingkungan hidup, sepeda seharusnya bukan hanya menjadi pelarian saat sedang menghadapi paceklik BBM. Bukan juga hanya sebagai pilihan sementara saat publik sedang menerapkan pembatasan sosial akibat pandemi.
Penggunaan kendaraan bermotor makin meningkat di kota-kota besar. Kenaikan jumlah kendaraan ini berkorelasi dengan polusi udara akibat pengunaan bahan bakar minyak. Sepeda dapat menjadi tawaran moda transportasi ramah lingkungan dan mendukung kelangsungan ekosistem lingkungan kota.
Fenomena ini terlihat di kota Kopenhagen, Denmark. Setengah dari populasi penduduknya telah menjadikan sepeda untuk bepergian. Kondisi jalan yang aman dan fasilitas yang mendukung membuat warga Kopenhagen menjadikan sepeda sebagai moda transportasi pilihan.
Pandemi telah memberikan sisi positif berupa memunculkan minat masyarakat untuk bersepeda. Jika ditindaklanjuti dengan kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan pesepeda, bukan tidak mungkin tren ini dapat berlanjut menjadi pola mobilitas baru masyarakat Indonesia di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?