Di Normal Baru, Terlalu Dini Menyebut Kantor Bakal Mati
Masih ada banyak orang yang tetap menginginkan bekerja di kantor. Kebijakan bekerja dari rumah selama pembatasan sosial ternyata tak membuat banyak orang lebih menyukai bekerja secara jarak jauh.
Kendati ada keyakinan bahwa pandemi akan mengubah cara bekerja di Indonesia, ternyata masih ada banyak orang yang menginginkan bekerja seperti biasa di kantor mereka. Terlalu dini untuk menyatakan bahwa gedung kantor akan mati.
Bekerja jarak jauh (remote working) atau bekerja dari rumah (work form home) menjadi kebiasaan baru saat pandemi. Meski begitu, kebiasaan bekerja secara konvensional di gedung belum tergantikan bagi pekerja di Indonesia. Berjumpa secara fisik dengan klien, berinteraksi dengan rekan kerja secara langsung, dan hal-hal teknis di lapangan masih sangat diperlukan.
Wacana normal baru yang dicanangkan di lingkungan kantor memang sedang diadaptasi oleh sejumlah perusahaan. Posisi meja kerja yang berjarak, pemeriksaan suhu tubuh, atau pemantauan kesehatan karyawan menjadi beberapa hal yang dirumuskan dalam penerapan normal baru.
Teknologi digital memungkinkan bekerja jarak jauh atau bekerja dari rumah akan tetap berlangsung. Disrupsi dalam dunia kerja dipercepat dengan penerapan sistem kerja jarak jauh. Tak mengherankan, bermunculan opini tentang gedung kantor yang tak akan dibutuhkan lagi.
Selain itu, pemerintah mengeluarkan dua kebijakan protokol terkait hal ini. Pertama, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Kedua, Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/335/2020 tentang Protokol Pencegahan Penularan Corona Virus Disease (Covid-19) di Tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha.
Dua surat itu menyertakan rincian ketentuan hal-hal teknis dan kebijakan yang dapat diadaptasikan oleh perusahaan, khususnya perihal pembatasan fisik dan sanitasi. Namun, bagaimana sebenarnya respons masyarakat?
Tetap di kantor
Untuk mengevaluasi dan mengukur opini dan perilaku masyarakat, Litbang Kompas melakukan jajak pendapat pada 16-22 Mei 2020 kepada 1.007 responden di 17 kota besar di Indonesia. Hasilnya, hampir setengah responden (46,4 persen) memang menjalankan anjuran dari pemerintah untuk bekerja dari rumah. Ada pula yang terkadang masih ke kantor (16,7 persen) dan sama sekali tidak ikut bekerja dari rumah (36,9 persen) akibat kebijakan perusahaan atau jenis pekerjaan yang membutuhkan kehadiran di lapangan.
Tak dapat dimungkiri, peran teknologi menjadi vital ketika menerapkan sistem bekerja dari rumah meski berbeda platform digitalnya. Sebanyak 58,9 persen responden menggunakan media sosial (seperti Whatsapp, Instagram, dan Youtube) untuk berkoordinasi terkait pekerjaan atau mencari referensi. Adapun 24,5 persen responden memanfaatkan platform digital untuk melakukan pertemuan atau rapat kerja.
Hampir setengah responden (46,4 persen) memang menjalankan anjuran dari pemerintah untuk bekerja dari rumah.
Bagi mereka yang merasakan bekerja dari rumah, ada manfaat yang didapat. Paling banyak, responden mengaku, bekerja dari rumah dapat memperbanyak waktu bersama keluarga (51,3 persen). Selain itu, 11,9 persen responden merasakan manfaat waktu kerja yang lebih fleksibel.
Ada hal positif lain yang dirasakan responden selama bekerja di rumah dan diharapkan dapat dilanjutkan. Sebanyak 40,7 persen responden menyatakan, bekerja tanpa terikat jam kerja masih bisa dilanjutkan demi keseimbangan antara bekerja dan hidup pribadi. Selain itu, rapat secara daring dapat dilanjutkan (35 persen).
Meski demikian, ternyata lebih dari setengah responden (54,5 persen) menyatakan bahwa bekerja daring kurang efektif dibandingkan bekerja di kantor secara tatap muka. Hanya 37,3 persen responden menilai kerja jarak jauh lebih efektif.
Sikap ini muncul merata di semua generasi. Generasi Z (kurang dari 22 tahun) hingga Silent Generation (berusia lebih dari 71 tahun) menjawab senada, yakni bekerja dari rumah tidak efektif. Jawaban serupa juga diberikan oleh responden yang berstatus pekerja kantoran dan bukan pekerja kantoran.
Kendala
Opini responden tentang ketidakefektifan bekerja daring bisa jadi diperoleh dari pengalaman mereka selama bekerja dari rumah. Bila melihat faktor kendala, keterbatasan akses (internet, sarana kerja, atau ruang kerja) menjadi hal yang paling dikeluhkan oleh responden, yakni 35,6 persen. Kendala lainnya ialah biaya operasional yang harus ditanggung (seperti listrik, kuota internet, makan dan minum), kesulitan berkoordinasi dan melakukan pengawasan, kehilangan fokus kerja karena ada gangguan, serta ketidakjelasan batasan jam kerja.
Terlepas dari faktor urusan pekerjaan rumah tangga, kendala terbesar dalam bekerja dari rumah ialah biaya operasional. Ada sebagian perusahaan yang memberi insentif kepada karyawan selama bekerja dari rumah, tetapi tak sedikit pekerja tak mendapat insentif, bahkan upah mereka dipotong akibat penurunan pendapatan perusahaan selama pandemi.
Tiga dari empat responden menyatakan ingin tetap bekerja di kantor seperti sebelum pandemi. Sementara itu, tetap bekerja di rumah hanya diinginkan oleh 9,2 persen responden. Ada juga 8,9 persen responden yang menjawab kombinasi bekerja di kantor dan di rumah.
Keinginan masyarakat untuk kembali bekerja di kantor ditangkap dalam jajak pendapat ini. Ada hal-hal yang dinilai belum dapat digantikan ketika orang bekerja dari rumah.
Suara dari para pekerja tersebut patut diperhatikan sebagai evaluasi dan harapan setelah pemerintah memperbolehkan dimulainya lagi aktivitas di perkantoran. Seandainya terjadi bencana serupa dan keadaan memaksa penerapan bekerja dari rumah, perusahaan harus menyiapkan sarana dan prasarana agar karyawan bisa bekerja secara kondusif. Hal-hal yang harus diperjelas antara lain ketersediaan fasilitas kerja (seperti laptop/komputer, akses internet), aturan kerja, dan insentif.
Berbeda
Situasi di luar negeri berbeda dengan kondisi di Indonesia. Di Amerika Serikat, misalnya, menurut survei US Census Bureau American Community Survey, penerapan sistem kerja jarak jauh meningkat sejak 2008 hingga 2018. Sebanyak 4,1 persen masyarakat di AS menerapkan kerja jarak jauh pada 2008, sementara selang sepuluh tahun kemudian, pada 2018, jumlahnya meningkat menjadi 5,3 persen.
Meski kenaikannya tidak drastis, prediksi dari survei tersebut, hingga 2025 dan seterusnya, tren ini meningkat. Dengan kata lain, fenomena kerja jarak jauh di AS sudah terjadi sejak lebih dari sepuluh tahun lalu.
Karena itu, di Indonesia, ”normal baru” yang coba diterapkan pemerintah lebih banyak diartikan menerapkan kebiasaan anyar berupa menjaga kebersihan. Normal baru juga dipahami berkaitan dengan menjaga jarak antarmeja, memantau perjalanan dinas, atau perhatian lebih besar terhadap asupan gizi bagi karyawan.
Di Indonesia, normal baru yang coba diterapkan pemerintah lebih banyak diartikan menerapkan kebiasaan anyar berupa menjaga kebersihan.
Penerapan kerja dari rumah selama ini ternyata tak serta- merta mengubah sistem dan pola bekerja di Indonesia. Terlalu dini menyatakan bahwa kerja jarak jauh akan diberlakukan secara masif dan kantor bakal mati.
Meski demikian, kerja jarak jauh perlu diantisipasi. Perusahaan di Indonesia harus menimbang dan melakukan adaptasi kerja jarak jauh secara perlahan. Pertama-tama, tentu menimbang pro dan kontra bila sistem kerja jarak jauh diberlakukan. Kemudian bisa dimulai dengan merumuskan anggaran atau perhitungan untung rugi dari sisi operasional dan pendapatan perusahaan.
Yang tak kalah penting adalah merumuskan peraturan yang jelas terkait kerja jarak jauh. Selain itu, evaluasi berkala dan pembaruan aturan senantiasa diperlukan seiring penerapan kebijakan baru itu. (LITBANG KOMPAS)