Pandemi melahirkan kesulitan baru bagi penyandang disabilitas yang selama ini juga tak mudah untuk menikmati fasilitas publik. Tak hanya soal bermobilitas, tetapi juga akses ekonomi yang membuat mereka semakin terpuruk.
Oleh
ALBERTUS KRISNA
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 membawa dampak di berbagai lini kehidupan masyarakat, tak terkecuali para penyandang disabilitas. Kesulitan yang dirasakan kaum difabel tersebut dalam kegiatan bermobilitas, di antaranya, mendapatkan pendamping, akses ekonomi, dan layanan terapi.
Berdasarkan survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) tahun 2018, jumlah penyandang disabilitas usia dua tahun ke atas sebesar 12,3 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini setara dengan 31,2 juta jiwa penduduk. Mayoritas penyandang disabilitas merupakan usia produktif (15-64 tahun) sebesar 62,5 persen. Kemudian disusul usia 65 tahun ke atas (27,5 persen) dan usia 2-17 tahun (9,9 persen).
Berdasarkan catatan BPS, mayoritas (69,9 persen) kaum difabel usia produktif bekerja di sektor informal. Mereka rata-rata bekerja di bidang jasa (46,4 persen), seperti pemijat, penjahit, dan kurir. Sementara sisanya ada di pertanian (43,3 %) dan industri (10,3 %).
Pemerintah telah menjamin akses setara di bidang ketenagakerjaan. Namun, nyatanya, ketersediaan lapangan pekerjaan formal masih menjadi tantangan. Diketahui melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, kantor pemerintahan wajib mempekerjakan penyandang disabilitas paling sedikit 2 persen dari total pegawai dan satu persen di perusahaan swasta.
Tidak banyak para difabel yang mendapatkan kesempatan bekerja formal karena terhambat sejumlah persyaratan. Salah satu di antaranya adalah standar minimum pendidikan tertinggi. Tahun 2018 paling banyak penyandang disabilitas usia produktif merupakan lulusan SD (35 persen) dan SMP (29,8 persen). Sementara lulusan perguruan tinggi hanya 6,7 persen.
Walau demikian, maraknya pekerja difabel di sektor informal justru menunjukkan hal yang positif. Dengan segala kondisi yang ada, mereka membuktikan ketrampilan dan kompetensinya di dunia kerja dan bisnis. Contohnya industri batik yang dimeriahkan banyak pembatik tunarungu di Rumah Batik Palbatu, Tebet, Jakarta Selatan.
Meski modal keterampilan telah banyak menopang kehidupan penyandang disabilitas selama ini, muncul kesulitan baru seiring adanya pandemi Covid-19. Hal ini tergambar di dalam hasil ”Laporan Asesmen Cepat Dampak Covid-19 bagi Penyandang Disabilitas Tahun 2020”terhadap 1.683 responden di 32 provinsi di Indonesia.
Survei yang dilakukan secara daring pada 10-24 April 2020 itu menunjukkan, kegiatan bermobilitas merupakan kesulitan terbesar yang dirasakan oleh 30 persen responden. Selanjutnya adalah kesulitan mendapatkan pendamping (20,0 persen), mengakses layanan terapi (11,9 persen), dan kesulitan bekerja (8,2 persen).
Mobilitas menjadi kesulitan terbesar seiring protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah. Satu di antaranya dengan pembatasan kapasitas dan pelarangan mengangkut penumpang di sejumlah sarana transportasi umum. Protokol ini kemudian menjadi kesulitan baru bagi penyandang disabilitas ketika mengakses bus, taksi, ataupun ojek daring.
Sementara itu, tidak semua protokol kesehatan dapat diterapkan pada penyandang disabilitas. Terkadang para difabel masih membutuhkan bantuan petugas atau penumpang ketika naik turun kendaraan.
Namun, selama pandemi, bantuan itu sulit diperoleh. Biasanya hal itu dapat diantisipasi dengan adanya pendamping, tetapi saat ini untuk mendapatkannya cukup sulit.
Kesulitan bermobilitas bukan merupakan hal yang baru bagi penyandang disabilitas. Sebelum wabah terjadi, masih ada fasilitas pendukung penyandang disabilitas di sarana transportasi yang belum memenuhi standar dan disalahgunakan. Mulai dari jalur kursi roda yang terlalu curam, guiding block tertutup pedagang kaki lima, hingga tempat duduk prioritas yang diserobot.
Mobilitas dan berbagai kesulitan baru lain selama pandemi turut membawa dampak yang kurang baik. Mayoritas responden (80,9 persen) mengaku, masa pandemi berdampak negatif bahkan merugikan bagi kelangsungan hidup mereka.
Jika dibagi berdasarkan jenis disabilitasnya, dampak negatif ini paling banyak dirasakan oleh tunanetra (86 persen). Diketahui penyandang disabilitas ini mayoritas bekerja di usaha jasa, seperti tenaga terapis. Kebijakan jaga jarak sosial selama pandemi kemudian turut memengaruhi minimnya pasien yang datang atau panggilan untuk memijat.
Dampak serupa banyak dirasakan penyandang disabilitas ganda (85,3 persen). Menurut hasil survei, para difabel ini banyak menggeluti pekerjaan di usaha perdagangan. Pandemi juga membuat susut kunjungan pembeli ke toko, kelontong, kios pasar, dan angkringan yang mereka usahakan.
Akibatnya tidak sedikit penghasilan penyandang disabilitas menurun. Kondisi ini pun diderita hingga 85 persen responden.
Lebih memprihatinkan lagi, mayoritas responden (45 persen) justru mengalami penurunan pendapatan sangat besar berkisar 50-80 persen dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya.
Berkurangnya pendapatan ini berpotensi mengguncang ketahanan ekonomi keluarga. Terlebih bagi 60 persen responden yang juga berstatus sebagai kepala rumah tangga. Dalam kondisi sulit ini, mereka tidak hanya menanggung dirinya sendiri, tetapi juga anggota keluarga lainnya yang rata-rata berjumlah 3-4 orang.
Masa-masa berat ini memang tidak mudah dilalui penyandang disabilitas. Namun, tidak ada kata mustahil mengingat mereka sebagai kaum berdaya dengan tingginya modal keterampilan.
Potensi usaha baru di tengah masa pandemi kiranya dapat menjadi opsi untuk terus melanjutkan kreativitas yang menghasilkan. Hal tersebut memerlukan dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat luas.
Penyandang disabilitas posisinya setara dengan masyarakat yang lain. Jauhkan stigma buruk kepada mereka. Mereka juga rentan terhadap virus penyebab wabah Covid-19. Mereka juga sumber daya produktif yang dapat berkontribusi penuh dalam pembangunan negara. (Albertus Krisna/Litbang Kompas)