Tiga bulan lebih berada dalam ruang yang berjarak, mengusik segenap rutinitas mapan masyarakat. Adaptasi yang dilakukan cenderung memilah mereka ke dalam kelompok saling berseberangan sikap.
Oleh
Bestian Nainggolan
·5 menit baca
Tiga bulan lebih berada dalam ruang yang berjarak, mengusik segenap rutinitas mapan masyarakat. Adaptasi yang dilakukan cenderung memilah mereka ke dalam kelompok saling berseberangan sikap.
Pergulatan masyarakat sepanjang masa Pandemi Covid 19 hakikatnya menjadi suatu proses adaptasi di dalam menghadapi pola hidup baru. Sayangnya, lebih tiga bulan bergulat, penaklukan belum juga usai. Dalam kurun waktu tersebut, pandemi tidak hanya mengambil alih segenap otoritas pengendalian ruang sosial, tetapi juga mengubah segenap orientasi pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Dalam situasi semacam ini, masyarakat pun dibuat terpilah ke dalam perilaku yang saling bertolak satu sama lainnya.
Gambaran pola adaptasi kehidupan ”normal baru” masyarakat semacam ini tersirat dari hasil survei Kompas yang dilakukan 9-12 Juni 2020. Ada berbagai sisi menarik perubahan. Di satu sisi, misalnya, perubahan dalam pola pemenuhan kebutuhan berimplikasi pada pembentukan pola hidup rasional dan efisien. Pembatasan ruang jarak fisik melahirkan adaptasi terhadap ruang, waktu, ataupun alternatif pola kerja yang relatif efisien.
Dalam pola pemenuhan konsumsi, hasil survei ini pun menunjukkan upaya setiap responden dalam memprioritaskan skala pemenuhan kebutuhan hidup dengan mengalkulasi ulang segenap rencana kebutuhan. Prioritas pemenuhan kebutuhan primer cenderung dilakukan dan sekaligus menyisihkan yang lebih bersifat sekunder dan tersier.
Begitu pula, ruang-ruang interaksi, komunikasi serta wujud transaksi antarindividu yang terbangun dalam format tatap muka pun luruh. Kurun waktu pandemi, masyarakat menjadi semakin termediasikan teknologi.
Akan tetapi, pada sisi lainnya, pergulatan dalam kehidupan normal baru juga mengorbankan sisi lainnya, khususnya kehidupan sosial masyarakat. Paling mencolok, hasil survei ini menunjukkan bagaimana bangunan orientasi sosial responden yang terbentuk kini condong ke dalam kepentingan diri mereka masing-masing.
Pemenuhan kepentingan individu, terlebih yang berunsur proteksi diri, menjadi prioritas utama. Dalam survei ini, kepentingan menjaga dan melindungi diri sendiri dan keluarga, misalnya, menjadi perilaku yang paling banyak menyedot perhatian kurun waktu tiga bulan terakhir. Bahkan, dalam merancang aktivitas masa depan, kepentingan keluarga dan diri pribadi masih menjadi prioritas terdepan.
Perubahan sebagaimana yang tergambarkan dalam survei ini, tampaknya menjadi suatu keniscayaan. Namun, dalam pergulatan ini hasil survei menunjukkan tidak semua anggota masyarakat seragam menerimanya. Bagi sebagian pihak, misalnya, masa pandemi yang jelas telah mengambil alih sisi kehidupan yang sebelumnya mapan terbentuk, menjadi momok menakutkan.
Menjalani hari-hari yang berbeda dan harus beradaptasi dengan kehidupan ”normal baru”, dianggap menjadi suatu bentuk penyangkalan terhadap era keberhasilan pemenuhan kebutuhan di masa lalu. Itulah mengapa, jika dalam hasil survei ini derajat penerimaan (acceptance) mereka terhadap kehidupan baru menjadi paling rendah dibandingkan dengan kelompok sosial lain.
Konkretnya, bayangan semakin redupnya kemapanan membuat persepsi bagian terbesar dari kalangan ini selalu merasa ”tidak siap” dengan kehidupan baru. Bahkan, tidak hanya berhenti pada sebatas tidak siap, mereka pun menyatakan ”ketidakantusiasan” dalam menjalaninya.
Kalangan yang tergolong pesimistis ini faktanya masih relatif besar. Hasil survei menunjukkan, tidak kurang dari 43,9 persen responden masuk dalam kategori ini. Menariknya, bagian terbesar dari kelompok ini merupakan kategori responden yang memang elitis dalam strata kehidupan sosial masyarakat. Dari segi pendidikan, misalnya, tergolong berjenjang pendidikan tinggi. Begitu pula, umumnya mereka merupakan anggota masyarakat dengan latar ekonomi menengah, ditopang oleh pekerjaan sebagai karyawan, atau sebagian memang sudah memasuki purnakarya.
Dari sisi usia, yang juga membedakan dengan kelompok masyarakat lain, berusia di atas 41 tahun yang kerap diidentikan dengan generasi X hingga silent generation. Dari sisi jenis kelamin, kecenderungan proporsi kaum perempuan dalam kelompok ini relatif lebih banyak daripada kaum pria.
Dalam posisi yang bertolak, pandemi yang mengancam ruang mapan mereka nyatanya tidak harus diterima serba pesimistis. Terdapat pula kalangan yang menganggap normalitas baru perlu dihadapi dengan optimistis.
Dalam hasil survei ini, jumlahnya pun sebanding, tidak kurang 41,3 persen responden. Sebagai wujud dari sikap optimisnya, mereka merasa punya kesiapan dalam menghadapi perubahan. Sekalipun tiga bulan terakhir setiap sisi pola pemenuhan kehidupan tergerus, tetap saja rasa antusias menjalani perubahan terekspresikan.
Sebenarnya, kehadiran kelompok yang cenderung bersikap optimistis semacam ini menjadi nilai lebih dari suatu pergulatan. Pasalnya, adaptasi terhadap perubahan bagi kelompok ini tidak lagi terhalangi kabut mapan. Mereka dapat secepatnya merebut kembali kendali ruang kehidupan sosial yang tergerus. Hanya, perlu juga secara kritis ditelaah, apakah sikap kesiapan dan antusiasme yang terbangun mencerminkan suatu kekuatan modal yang riil dalam menjalani kehidupan normal baru?
Gugatan demikian menjadi relevan, terlebih jika ditelusuri umumnya kelompok ini merupakan kalangan dengan kekuatan modal relatif terbatas. Setidaknya, dibandingkan dengan kekuatan berbagai modal kelompok pesimistis. Berdasarkan hasil survei ini, misalnya, bagian terbesar responden tergolong kelompok milenial (berusia di bawah 41 tahun) dan berjenjang pendidikan menengah.
Dalam struktur kehidupan ekonomi, bagian terbesar merupakan kelompok bawah, dengan pekerjaan mengelola usaha kecil ataupun sebagai pekerja semi mandiri. Umumnya, proporsi kaum laki-laki lebih besar ketimbang perempuan. Dapat dikatakan, modal kekuatan mereka motivasi yang berujud pada respons kesiapan dan antusiasme menjalani kondisi normal baru.
Di antara kedua kelompok yang diametral berbeda, terdapat pula kelompok masyarakat yang tergolong samar pola penerimaannya. Jika dihitung, proporsinya relatif tidak besar, masih jauh di bawah kedua kelompok dominan. Kehidupan normal baru, terkadang bagi kalangan ini disambut antusias, menjadikannya sebagai suatu tantangan.
Akan tetapi, saat yang sama kalangan yang cenderung reaktif ini justru menyatakan ketidaksiapan menghadapinya. Sebaliknya, terdapat pula kelompok responden yang tergolong pasif, merasa kurang antusias menghadapi perubahan. Padahal, dalam kesempatan yang sama, mereka nyatakan pula kesiapan dalam meniti normal baru kehidupan.
Segenap sisi pergulatan masyarakat yang berujung pada pemilahan dan pengelompokkan inilah menjadi bagian dalam menata kehidupan normal baru. Tidak jarang, implikasi terhadap sisi politik turut menyertainya. Kehadiran negara ataupun pemerintah beserta segenap peran yang dijalankan, misalnya, dapat dirasakan berbeda-beda.
Pada setiap kelompok, negara dapat saja dirasakan menjadi solusi hingga patut diapresiasi. Atau, bahkan justru sebaliknya. Sepanjang pergulatan berkabut mapan ini masih berproses, semua kemungkinan terbuka. (LITBANG KOMPAS)