Momentum Kebangkitan BUMDes di Masa Pandemi
Desa berpeluang bangkit kembali pada masa pandemi ini. Kuncinya, desa lebih fokus mengurus potensi lokal, menguatkan lokalitas dan kelembagaan desa, serta mulai mengadopsi teknologi digital.
Badan usaha milik desa atau BUMDes yang selama ini menjadi andalan untuk meningkatkan perekonomian desa juga terkena imbas selama pandemi Covid-19 ini. Meski demikian, BUMDes masih berpotensi untuk bangkit kembali pada masa transisi adaptasi kehidupan baru ini dengan memanfaatkan teknologi digital.
Pandemi Covid-19 yang sudah melanda Tanah Air selama empat bulan ini telah memorakporandakan sendi-sendi ekonomi, tak hanya di perkotaan, tetapi juga merembet hingga ke peedesaan. Pandemi saat ini telah mengganggu mata rantai sektor usaha, baik produksi maupun distribusi.
Desa sebagai produsen bahan pangan dengan adanya pembatasan sosial terkendala dalam mendistribusikan bahan makanan ke kota sehingga petani pun terpuruk. Unit usaha lain di desa, seperti pariwisata, juga ikut terdampak.
Desa juga menghadapi persoalan kembalinya perantau dari perkotaan yang terpaksa pulang ke desa karena sudah tidak mempunyai pekerjaan. Hingga 8 Juni 2020, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) mencatat, terdapat 805.479 orang yang sebelumnya berdomisili di kota kembali ke desanya. Akibatnya, banyak tenaga kerja yang menganggur di desa.
Nugroho S Nagoro, Direktur Pengembangan Usaha Ekonomi Desa Kemendes PDTT, dalam webinar ”Desa sebagai Pilar Pemulihan Ekonomi Nasional Pasca-Covid-19: Membangun Desa dan Menangkap Peluang BUMDes” mengungkapkan, pandemi Covid-19 mengakibatkan munculnya lebih dari 5 juta ”orang miskin baru” di desa-desa seluruh Indonesia. Kemiskinan di desa meningkat dari 14,96 juta jiwa menjadi sekitar 20,06 juta jiwa.
Pandemi Covid-19 membuat desa menghadapi sejumlah tantangan. Perlu upaya dan strategi agar roda perekonomian desa tetap bergerak.
Salah satu penggerak ekonomi desa yang terdampak pandemi Covid-19 adalah BUMDes. Peran BUMDes sebagai lembaga ekonomi desa telah menggerakkan perekonomian desa, membantu menyelesaikan permasalahan warga dengan kegiatan usaha yang dimiliki, menyediakan kesempatan kerja bagi warga, serta menyumbang kas desa.
Berdasarkan data Kemendesa PDTT, BUMDes di Indonesia berkembang sangat signifikan. Jumlahnya saat ini 50.199 BUMDes. Artinya, 67 persen desa sudah memiliki BUMDes. Jumlah ini meningkat 50 kali lipat selama kurun waktu lima tahun sejak 2014 dan tersebar di semua provinsi. Sebanyak 37.125 BUMDes aktif bertransaksi.
BUMDes juga berkembang di sejumlah desa wisata. Sebagai catatan, hingga 2018, Indonesia memiliki 1.734 desa wisata. Angka ini meningkat 33 persen dibandingkan tahun 2014. Dari persebarannya, hampir separuh desa wisata berada di Jawa dan Bali.
Meski demikian, tak hanya desa wisata di Jawa dan Bali, seperti Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, dan Desa Kutuh di Badung, Bali, yang berhasil memajukan desanya melalui BUMDes pariwisata.
Desa Tebara di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, misalnya, juga berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan pendapatan asli desa (PADes) berkat usaha pariwisata yang dikelola BUMDes. Desa itu juga meraih berbagai prestasi.
Pada tahun 2018, BUMDes tercatat menyerap tenaga kerja sebanyak 1.07 juta orang. Omzetnya mencapai Rp 1,16 triliun per tahun dengan laba bersih Rp 1,21 miliar per tahun. Namun, masih banyak juga BUMDes yang belum berkembang.
BUMDes dibentuk oleh pemerintah desa untuk mendayagunakan seluruh potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pendiriannya diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Keberadaan BUMDes juga tidak lepas dari dukungan dana desa yang bisa digunakan untuk tambahan modal usaha. Alokasi dana desa tidak hanya dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, tetapi juga untuk pemberdayaan masyarakat, salah satunya melalui BUMDes. Sampai tahun 2019, sudah 39.226 kegiatan BUMDes yang dibiayai menggunakan dana desa.
Dana desa diluncurkan sejak 2015. Hingga 2019, sebanyak Rp 257,7 triliun anggaran yang sudah digelontorkan pemerintah bisa menggerakkan perekonomian 74.954 desa.
Dana desa tersebut telah meningkatkan pendapatan per kapita dari tahun 2015 yang hanya Rp 659.414 menjadi Rp 877.074 per bulan pada 2019. Angka kemiskinan pun menurun menjadi 12,85 persen, dari awalnya mencapai 14,21 persen pada 2015. Selain itu, angka pengangguran terbuka juga menurun hingga 3,45 persen.
Dampak pandemi
Namun, prestasi apik selama lima tahun tersebut tahun ini menghadapi tantangan dengan mewabahnya virus korona. Beberapa unit usaha BUMDes terpaksa mengurangi jam operasional, meliburkan atau menghentikan sementara karyawan, bahkan menutup usaha untuk sementara karena pendapatan berkurang.
Aktivitas beberapa unit usaha BUMDes yang berhenti bisa jadi akan menyebabkan angka kemiskinan dan pengangguran bertambah. Selain itu, mengganggu kestabilan usaha BUMDes yang selama ini berperan menjadi pilar perekonomian desa.
BUMDes pariwisata paling terpukul akibat pandemi ini. Penutupan sementara usaha pariwisata berimbas pada usaha pariwisata lain, seperti penginapan (homestay), UMKM yang berjualan di sekitar lokasi wisata, serta penghentian sementara karyawan dan pengelola BUMDes. Tercatat di laman Kemendesa.go.id, ada 1.709 hotel dan 3.429 penginapan di desa wisata yang bisa jadi ikut terdampak akibat pandemi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan revitalisasi BUMDes, terlebih pada BUMDes yang mengelola pariwisata dan produk unggulan untuk membangkitkan kembali perekonomian desa pascapandemi.
Baca juga : ”Mewujudkan Ekonomi Desa yang Kebal Korona”
Peluang
Pemerintah memprediksi, pariwisata akan kembali pulih tahun 2021. Namun, riset yang dilakukan Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) menunjukkan, 45 persen responden mempunyai harapan destinasi wisata domestik pada Juli-September bisa beraktivitas kembali.
Harapan dan momentum ini bisa dimanfaatkan industri pariwisata, termasuk desa wisata yang dikelola BUMDes, untuk mulai berbenah, membuat strategi baru, dan menyiapkan lokasi wisata menghadapi tatanan kenormalan baru.
Tempat wisata luar ruangan yang berhubungan dengan alam akan menjadi tujuan paling populer. Wisatawan juga lebih memilih melakukan perjalanan jarak dekat atau dengan waktu tempuh yang singkat. Oleh karena itu, wisata lokal akan kembali dicari.
Baca juga : Mengapa Tidak 10 Ponggok Baru?
Digitalisasi
Selain memaksimalkan desa wisata, mengairahkan produk-produk pertanian yang mengadopsi teknologi digital juga perlu dilakukan agar ekonomi desa bangkit kembali pascapandemi. Di Indonesia ada 65.325 desa atau hampir 90 persen desa yang mempunyai potensi sebagai desa pertanian pangan. Meski demikian, 13.577 desa belum terhubung dengan internet.
Kesulitan memasarkan produk-produk pertanian saat pandemi ini menjadi tantangan untuk memanfaatkan teknologi dengan mengubah penjualan dari luring (offline) menjadi secara daring (online). Terlebih fenomena pandemi ini menyebabkan pertemuan produsen dan konsumen di lapangan jadi terbatas.
Pandemi Covid-19 memberikan banyak pelajaran akan pentingnya pemasaran digital yang membuat perdagangan lebih adil. Penggunaan teknologi digital ini membuat pasar semakin terbuka dan transparan. Konsumen akan mendapatkan barang yang baik dengan harga relatif lebih baik, sedangkan produsen bisa menjual barang dengan keuntungan yang wajar.
Kesempatan ini bisa diambil dan dikembangkan BUMDes dengan memanfaatkan media sosial serta bekerja sama dengan berbagai usaha rintisan (start up) dan pelaku usaha digital untuk pembinaan BUMDes. Banyak kisah sukses yang diukir BUMDes dalam menggunakan e-commerce untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Salah satu contoh adalah upaya mitigasi dan penanganan dampak Covid-19 yang dilakukan BUMDes di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, dengan menghadirkan pasar desa berbasis daring dengan platform Pasardesa.id.
Kemendesa PDTT juga mendorong digitalisasi BUMDes ini dengan membangun big data yang lengkap meliputi produk, modal, hingga transaksi yang dapat dimanfaatkan oleh semua pemangku kepentingan untuk membangun kerja sama. Big data ini bisa menjadi modal dasar bagi dunia usaha untuk melakukan sinergi pengembangan bersama. Diperlukan pendampingan dan penguatan dari sisi kelembagaan dan usaha untuk mendukung keberlanjutan BUMDes.
BUMDes juga perlu difasilitasi untuk bisa bersinergi dengan koperasi, BUMDes lain, BUMN, ataupun swasta dalam fase pemulihan desa pascapandemi ini. Selain itu, BUMDes juga perlu mendapat dukungan dari pemerintah, lembaga keuangan, akademisi, dan masyarakat sebagai ekosistem BUMDes supaya kecukupan bahan kebutuhan pokok bisa terjamin dan kerawanan pangan bisa dicegah.
Desa sebagai pusat pangan harus diselamatkan dari wabah korona. Desa mempunyai peluang untuk bergerak lebih cepat bangkit dengan rendahnya kasus positif tertular Covid-19. Potensi pergerakan ekonomi desa sangat besar untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.