Tantangan Bisnis Ritel pada Masa Transisi
Bisnis ritel berpotensi untuk bangkit kembali pada masa transisi menuju adaptasi kehidupan baru. Inovasi bisnis diperlukan untuk bisa kembali eksis, dan tentu saja tetap mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan.
Tatanan hidup baru masa pandemi menumbuhkan harapan bagi pelaku bisnis ritel modern untuk memulihkan usaha secara bertahap. Namun, beragam tantangan perlu diantisipasi dengan strategi baru agar bisnisnya kembali eksis dan bertahan.
Sama seperti sektor industri lain, selama hampir tiga bulan terakhir bisnis ritel dan pusat perbelanjaan di Tanah Air terpukul akibat merebaknya penyakit Covid-19. Tak hanya ritel besar yang menjadi korban, toko ritel kecil pun juga mengalami penurunan daya beli masyarakat.
Tekanan ekonomi itu bermula sejak kebijakan pembatasan wilayah (PSBB) diberlakukan di sejumlah kota untuk menekan penyebaran Covid-19. Ditambah lagi penerapan aturan untuk bekerja dan belajar dari rumah.
Dampaknya, tidak sedikit pusat perbelanjaan dan toko ritel nonpangan, seperti fashion, peralatan rumah tangga, dan barang konsumsi, mengalami kerugian besar. Sebagian yang lain bahkan harus tutup sementara karena omzetnya turun drastis. Di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, pusat perbelanjaan yang tidak aktif tercatat sebanyak 326 unit.
Penurunan omzet pelaku usaha ritel, merujuk dari laman katadata, anjlok antara 85 persen dan 90 persen. Meski begitu, jenis ritel ini masih mendapatkan penghasilan walaupun hanya sekitar 10 persen yang bersumber dari perdagangan elektronik.
Adapun gerai yang berada di luar pusat perbelanjaan, seperti supermarket, hipermarket, dan minimarket, omzetnya turun hingga 50 persen dibandingkan dengan saat kondisi normal. Umumnya, pendapatan gerai masih ditopang oleh penjualan makanan minuman dan kebutuhan pokok.
Penurunan omzet tersebut tidak terlepas dari perubahan pola berbelanja orang di pusat perbelanjaan. Perubahan itu terutama terasa pada masa Ramadhan dan Lebaran lalu.
Hari-hari menjelang Lebaran, yang biasanya menjadi puncak orang berbelanja, tak lagi menunjukkan angka penjualan yang tinggi. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mencatat, ”ukuran keranjang belanja” (basket size) konsumen malah mengecil.
Aprindo mencatat, sebelumnya pengunjung menghabiskan Rp 250.000-Rp 500.000 untuk berbelanja di supermarket per kunjungan. Konsumen hipermarket bahkan bisa berbelanja hingga Rp 1 juta sekali datang.
Namun, tahun ini keranjang belanja pengunjung tinggal 30-40 persen saja. Hal itu berarti konsumen hanya berbelanja sesuai dengan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, minyak goreng, bawang putih, dan telur.
Faktor pembelian impulsif atau belanja yang tidak direncanakan juga merosot drastis. Biasanya, faktor impulsif bisa mencapai 40 persen dari total transaksi dalam kondisi normal. Misalnya, ketika masuk toko ada promo buy 1 get 1 atau diskon 70-80 persen sehingga konsumen mengubah rencana belanja. Namun, kini konsumen cenderung membeli barang-barang pokok saja. Kondisi seperti itulah yang membuat pendapatan dan laba ritel mengalami penurunan yang cukup dalam.
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, seperti dikutip dari laman bisnis.com, mengatakan industri ritel di dalam negeri setidaknya kehilangan Rp 12 triliun dalam dua bulan terakhir. Hal ini disebabkan ditutupnya berbagai pusat perbelanjaan selama pembatasan sosial diberlakukan sejak akhir Maret lalu.
Kinerja melambat
Secara umum, merebaknya pandemi Covid-19 menurunkan kinerja sektor ritel, seperti tampak dari sejumlah survei. Menurut data dari CEIC, penjualan ritel sepanjang Januari hingga April lalu tumbuh negatif. Pada April, penjualan ritel tumbuh negatif hingga -11,8 persen, sedangkan sebulan sebelumnya, pada Maret, tumbuh negatif sebesar -4,5 persen.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan penjualan eceran pada April mengalami kontraksi yang sangat dalam. Merebaknya wabah korona di Tanah Air menjadi pemicu anjloknya penjualan ritel di dalam negeri.
Hasil survei Penjualan Eceran (SPE) dari Bank Indonesia menunjukkan, pertumbuhan penjualan ritel pada April 2020 tercatat minus 16,9 persen secara tahunan. Ini merupakan kontraksi paling dalam sejak Desember 2008.
Hampir semua pos penjualan ritel mengalami kontraksi. Pos yang paling dalam kontraksinya adalah penjualan bahan bakar -39% (yoy), barang budaya dan rekreasi sebesar -48,5% (yoy), dan barang lainnya, seperti sandang, sebesar -68,5% (yoy).
Bank Indonesia juga memperkirakan Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Mei masih akan terkontraksi. Bahkan, diperkirakan lebih dalam. Menurut Bank Indonesia, IPR atau penjualan ritel bulan Mei diperkirakan ambles hingga 22,9 persen (yoy). Tren IPR negatif ini sudah dimulai sejak Maret 2020 lalu yang mencapai -4,5 persen.
Pada Mei, komoditas subkelompok sandang diprediksi bakal melanjutkan tren negatif ke level 77,8 persen (yoy). Sementara pergerakan kelompok barang budaya dan rekreasi juga diprediksi -57,1 persen secara tahunan.
Pada kuartal I-2020, kontribusi sektor perdagangan besar dan eceran terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tercatat 10,68 persen, tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kuartal sebelumnya selama lima tahun terakhir. Selain itu, konsumsi domestik memberikan kontribusi lebih dari 50 persen terhadap PDB selama lima tahun terakhir. Pada triwulan I-2020, kontribusi konsumsi terhadap PDB tercatat naik hingga 58,14 persen.
Namun, pos yang kontribusinya besar ini tumbuhnya melambat menjadi 2,8 persen (yoy) dari kuartal sebelumnya 5 persen (yoy) sehingga ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun ini hanya tumbuh 2,97 persen (yoy). Angka ini jelas jauh lebih rendah dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 4,3 persen (yoy). Artinya, terpaut 100 bps lebih.
Penurunan di sektor perdagangan secara umum dan bisnis ritel secara khusus bisa berdampak besar pada perekonomian nasional sepanjang tahun ini jika tidak dicarikan solusi. Keberlanjutan industri ritel menjadi penting mengingat kontribusi besar konsumsi domestik terhadap perekonomian relatif besar.
Tatanan baru
Di tengah kondisi ekonomi seperti itu, rencana pelonggaran pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan bisa memberikan angin segar bagi pelaku usaha. Usaha ritel diharapkan bisa kembali pulih dengan dibukanya aktivitas ekonomi secara bertahap.
Kementerian Kesehatan telah menerbitkan aturan kesehatan baru pencegahan Covid-19 untuk tempat bisnis jasa dan perdagangan, yakni Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/335/2020, untuk mempersiapkan tatanan baru atau new normal.
Dalam aturan tersebut, protokol pencegahan penularan Covid-19 itu wajib dilaksanakan oleh pengelola tempat kerja, pelaku usaha, pekerja, konsumen, dan masyarakat yang terlibat pada sektor jasa dan perdagangan.
Sejumlah hal yang harus dilakukan oleh pengelola, antara lain, adalah pembersihan dan disinfeksi area kerja dan area publik setiap 4 jam sekali dan harus menyediakan fasilitas cuci tangan yang memadai dan mudah diakses.
Pekerja perlu memahami perlindungan diri dari penularan Covid-19 dengan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pekerja, konsumen, dan pelaku usaha yang suhu tubuhnya di atas 37,3 derajat celsius tidak diperkenankan masuk. Mereka juga wajib menggunakan masker dan pembatasan jarak fisik minimum 1 meter, meminimalkan kontak dengan pelanggan, dan mencegah kerumunan pelanggan.
Adapun untuk pengunjung, standar baru kesehatan mencakup pengaturan jarak sejak masuk ke dalam mal, yang mencakup pembatasan kapasitas lift, jarak di eskalator, serta antrean kasir. Selain itu, pembayaran transaksi mesti menggunakan sistem cashless demi menekan perpindahan fisik uang sebagai media penyebaran virus.
Langkah pemerintah tersebut tentunya memberikan harapan bagi pelaku di sektor ritel dan pusat perbelanjaan untuk memutar kembali roda usaha. Pembukaan kembali mal dan pusat belanja bisa mencegah terjadi penurunan sektor ritel yang lebih dalam. Kunjungan ke pusat perbelanjaan diharapkan akan tumbuh kembali dan akan mendorong penjualan di pusat-pusat perbelanjaan.
Strategi baru
Namun, pandemi Covid-19 juga mengubah pilihan konsumen dalam berbelanja, baik mengenai produk yang dibeli maupun cara pembelian. Selama penerapan pembatasan sosial, transaksi digital meningkat tajam dan diperkirakan tetap bertahan hingga masa normal baru.
Transaksi digital tumbuh pesat karena konsumen semakin dimudahkan untuk mendapatkan barang yang diinginkan tanpa repot keluar rumah. Bermodalkan telepon seluler serta kuota internet, konsumen bisa mencari berbagai kebutuhan sehari-hari secara mudah. Konsumen tidak perlu mengunjungi toko yang akan menyita waktu, tenaga, dan biaya transportasi.
Perubahan perilaku konsumen dengan beralih melalui daring itu bisa berdampak pada bisnis ritel yang hanya mengandalkan toko fisik. Tantangan ini terlihat sangat berat karena selama beberapa tahun terakhir ada beberapa perusahaan ritel terkenal yang memutuskan menutup toko-tokonya.
Selain itu, menumbuhkan dan menjaga loyalitas konsumen pada era digital saat ini, dianggap pengusaha ritel, kian sulit dibandingkan dengan era konvensional dulu. Sekali lagi karena barang kebutuhan sudah tersebar di berbagai online shop atau e-commerce dengan banyak varian dan harga yang lebih murah.
Baca juga: ”Tantangan Memajukan Ekonomi Digital”
Menghadapi perubahan tersebut, pelaku usaha di sektor ritel tak bisa lagi hanya mengandalkan cara-cara bisnis lama. Pelaku usaha perlu melakukan banyak terobosan dan inovasi untuk memulihkan bisnisnya.
Pelaku usaha perlu mempelajari strategi digitalisasi agar usaha mereka bisa mengarah ke ritel modern masa depan. Perilaku konsumen sejak masuk toko hingga bertransaksi perlu dipelajari secara detail. Jenis-jenis barang yang disukai dan area toko yang digemari harus dibaca dengan menggunakan teknologi dan ditindaklanjuti dengan menambah pasokan barang serta meningkatkan kenyamanan dan kebersihan.
Strategi lain yang bisa ditempuh adalah dengan menggabungkan layanan offline dan online. Saat ini, sejumlah gerai ritel modern mulai meluncurkan beragam produk baru agar tetap eksis dan bertahan. Salah satunya dengan layanan pesan antar bagi konsumen.
Baca juga: ”Memotret Pola Konsumsi Baru Sesudah Lebaran”
Di sisi kesehatan dan keselamatan, pengusaha ritel modern penting untuk memikirkan terobosan baru dalam mengoperasikan bisnisnya. Terutama terkait dengan protokol kesehatan yang mesti diterapkan, mulai dari kewajiban mengenakan masker, baik pengunjung maupun karyawan, menyediakan tempat cuci tangan, mengukur suhu tubuh, hingga menyediakan cairan penyanitasi tangan.
Pelaku usaha ritel diharapkan mampu memertahankan kelangsungan bisnisnya di tengah masa transisi. Tentu saja tetap terus memahami kondisi pasar, konsumen, pemasok, kompetitor, kebijakan pemerintah, serta mengikuti protokol kesehatan.