Lima Dekade ”Kompas” Merawat Bahasa
Pers menjadi rujukan dan model penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk masyarakat. Selama lima dekade, harian "Kompas" turut berperan merawat bahasa Indonesia.
Di tengah banyaknya kekeliruan penggunaan bahasa Indonesia, media massa berperan penting dalam mengoreksi, merawat, dan mengembangkannya. Selama lima dekade, harian Kompas hadir turut merawat dan mengembangkan bahasa dengan beragam rubriknya.
Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa juga berperan sebagai pemersatu bangsa. Akan tetapi, belum semua masyarakat menggunakan bahasa dengan baik dan benar.
Di kalangan masyarakat, ada sebagian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia sepenuhnya dalam obrolan sehari-hari. Sering kali bahasa asing digunakan dan dicampur dalam obrolan tersebut. Alasannya beragam, mulai dari kepentingan pekerjaan hingga pergaulan.
Fenomena tersebut menurut mantan Pelaksana Tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono dalam Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XI Tahun 2018 mencerminkan mentalitas bangsa yang tidak percaya diri. Padahal, menurut dia, bahasa lahir dari akar budaya suatu bangsa.
IB Putera Manuaba, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, dalam tulisannya juga mengingatkan kedudukan penting bahasa Indonesia. Dalam sejarah jelas tercatat bahwa Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 mengikrarkan pemuda menjunjung bahasa Indonesia (Kompas, 27/10/2018).
Bahasa Indonesia juga dikukuhkan sebagai bahasa negara dalam Pasal 36 Bab XV UUD 1945. Jauh sebelumnya, bahasa Indonesia lahir dan tumbuh dari kesadaran kebangsaan yang pada 20 Mei 1908 diakui sebagai bahasa persatuan yang sarat akan nilai nasionalisme.
Kekhawatiran akan kesadaran masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebenarnya telah dirasakan sejak lama. Dahulu, setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah dan pakar bahasa menunjukkan perhatian untuk mendorong masyarakat menggunakan bahasa Indonesia.
Tantangan saat itu adalah masih banyak masyarakat menggunakan bahasa daerah untuk sehari-hari. Apalagi, pada zaman penjajahan Belanda, bahasa Melayu sebagai akar rumpun bahasa Indonesia digeser oleh penggunaan bahasa Belanda. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi baru ditetapkan saat penjajahan Jepang sebab Jepang ingin meniadakan bahasa Belanda (Kompas, 30/10/1972).
Di dalam perkembangan penggunaan bahasa Indonesia, tantangannya berubah. Bahasa Indonesia berhadapan dengan bahasa asing yang semakin sering dicampuradukkan dalam obrolan sehari-hari.
Peran pers
Untuk merawat dan menjaga penggunaan bahasa Indonesia, dilakukan berbagai macam upaya. Salah satu cara yang paling efektif adalah merawat dan mengembangkannya melalui media massa, termasuk pers.
Pers melalui berbagai medianya menjadi rujukan dan model penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk keseharian masyarakat. Pers juga berperan menyebarluaskan dan memopulerkan kosakata, padanan kata, serta istilah-istilah baru. Dengan demikian, pers dituntut untuk menyadari perannya ini dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Pakar bahasa Indonesia Prof JS Badudu pernah berkata, ”Pengaruh wartawan jauh lebih hebat dibandingkan dengan ahli bahasa, terutama dalam menyebarkan kata-kata atau istilah baru.”
Ia mencontohkan penggunaan kata ”canggih” yang awalnya diperkenalkan para ahli bahasa di TVRI, tetapi tidak mendapat sambutan hangat di masyarakat. Namun, ketika wartawan menggunakan kata itu di surat kabar, istilah tersebut menjadi populer dan memasyarakat (Kompas, 5/9/1988).
Ia juga mengingatkan bahwa karena perannya yang besar itu, media massa dapat memimpin masyarakat pada kekeliruan. Seperti contoh penggunaan kata baku ”utang” yang digunakan terus-menerus oleh media massa menjadi kata ”hutang” mengakibatkan Pusat Bahasa saat itu mengadopsi kata ”hutang” yang keliru itu dalam daftar kata-kata baru.
Banyaknya kosakata serta istilah yang digunakan dalam media massa juga dimanfaatkan untuk bahan, data, atau sumber untuk penyusunan kamus. Hal ini terkait dengan peran media massa dalam menyebarluaskan istilah baru, bahasa asing, atau kata-kata khusus.
Apabila kata atau istilah itu tidak ada padanannya dengan bahasa Indonesia, maka penyusun kamus akan mendaftarkannya dan menyediakan informasinya dalam kamus yang disusun.
Dengan demikian, masyarakat dapat menggunakan kata atau istilah tersebut dalam padanan bahasa Indonesia yang telah diresmikan. Tentunya, hal tersebut dibantu oleh media massa sebagai agen penyebar informasi.
Perhatian Kompas
Meskipun berperan dalam perkembangan bahasa Indonesia, insan pers juga masih kerap lalai menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Insan pers selalu dikejar oleh waktu dan (dahulu) dibatasi oleh ruang kolom koran dalam pemberitaannya. Berita yang disampaikan harus ringkas, padat, dan sederhana.
Apalagi, di era digital seperti saat ini, pers dalam media daring dituntut untuk menyediakan informasi secepat-cepatnya. Tak jarang, hal ini menimbulkan kesalahan penulisan dan penuturan bahasa yang dapat berakibat pada kesalahpahaman serta kekeliruan bagi pembacanya.
Tiga tahun setelah Kompas pertama kali terbit, rubrik Kamus Pembatja tersaji.
Harian Kompas menyadari akan peran pers terhadap perkembangan dan penggunaan bahasa Indonesia serta tantangannya. Maka untuk merawat bahasa Indonesia dalam setiap kontennya, sejak tahun 1970-an dibentuklah Tim Bahasa Kompas.
Berdasarkan tulisan St Sularto, mantan Wakil Pemimpin Umum Kompas, dalam buku Dari Katabelece Sampai Kakus, Tim Bahasa ini mengamati pemakaian bahasa Indonesia, termasuk kosakata asing yang tercetak dalam Kompas. Beberapa catatan akan disampaikan dalam acara dua mingguan dan kepada kepala desk untuk dibahas dalam rapat editor mingguan.
Selanjutnya, tim ini juga berhasil membuat pembakuan kosakata, nama-nama negara dan kota, sampai menerbitkan Buku Pintar Wartawan Kompas. Sampai dengan 2003, tim ini juga kembali menghasilkan Buku Pintar, pembakuan kata-kata bermasalah, dan kosakata komputer.
Perhatian terhadap pemakaian bahasa Indonesia dalam Kompas juga ditunjukkan dengan mengundang para pakar bahasa untuk mengoreksi dan menilai pemakaian bahasa di Kompas.
Sejumlah ahli bahasa seperti Prof JS Badudu, Hasan Alwi, Harimurti Kridalaksana, Felicia N Utorodewo, Lie Charlie, Sudjoko, Bambang Kaswanti Purwo, Soenjono Dardjowidjojo, dan Anton Moeliono pernah menjadi konsultan bahasa untuk Kompas.
Rubrik bahasa
Selain aktif mengevaluasi pemakaian bahasa di setiap artikelnya, Kompas juga menyediakan rubrik khusus tentang bahasa. Tiga tahun setelah Kompas pertama kali terbit, yaitu pada 1968, rubrik Kamus Pembatja tersaji.
Rubrik ini dikhususkan untuk membahas kata-kata asing yang sering muncul di koran seperti pada terbitan pertamanya yang membahas kata rehabilitasi, stabilisasi, dan konsolidasi. Pembaca juga bebas mengirimkan pertanyaan atau penjelasan lebih lengkap tentang suatu kata asing sehingga terdapat ruang diskusi bersama di kolom koran.
Pada 17 Juli 1968, rubrik lain yang membahas tentang penggunaan bahasa Indonesia terbit. Rubrik Santun Bahasa ditulis pertama kali oleh Anton Moeliono yang membahas penggunaan imbuhan –i dan –kan.
Rubrik ini menyajikan pembahasan tata bahasa dan gaya bahasa Indonesia. Pengasuh rubrik adalah seorang dosen Sastra Universitas Indonesia dan petugas Direktorat Bahasa dan Kesusasteraan.
Dalam perkembangannya, rubrik ini berganti menjadi rubrik Bahasa Kita yang diasuh oleh Alfons Taryadi. Ia juga menjadi penulis pertama yang kala itu membahas kalimat-kalimat dalam tulisan tentang pertandingan tinju Mohamad Ali dan Ken Norton di koran-koran Ibu Kota.
Rubrik ini tidak hanya diisi oleh pengamat bahasa di Kompas atau ahli bahasa, masyarakat boleh menanggapi atau berkomentar atas pembahasan bahasa di rubrik ini. Meskipun sempat ditiadakan beberapa waktu, rubrik bahasa kembali dengan kolom Bahasa yang ditulis pertama kali pada 2 Agustus 1993 oleh Harimurti Kridalaksana.
Pembahasan bahasa tidak lagi terbatas oleh ahli-ahli saja. Masyarakat pengamat bahasa juga sering mengisi kolom Bahasa. Hingga saat ini, rubrik ini masih tersedia di Kompas.
Selain dalam rubrik bahasa, Kompas juga menerima opini atau tanggapan masyarakat tentang penggunaan kata atau bahasa di kolom opini. Merawat bahasa juga diupayakan dengan menyediakan ruang bagi kreasi sastra dari masyarakat.
Kompas juga memberikan edukasi bahasa melalui media sosial Kompas Muda. Edukasi bahasa yang diberikan berupa penggunaan kata baku dan maknanya, padanan kata-kata asing, dan penggunaan kata-kata yang tepat. Melalui media ini, diharapkan generasi muda dapat belajar penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Baca juga : Bahasa Indonesia di Belantara Istilah Asing Terkait Covid-19
Segala upaya dan konsistensi Kompas dalam merawat bahasa membuahkan hasil. Dalam puncak acara Bulan Bahasa dan Sastra 2019, harian Kompas kembali mendapat penghargaan sebagai media cetak berdedikasi dalam penggunaan bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Penghargaan untuk media berdedikasi ini diberikan karena sebelumnya Kompas telah menerima penghargaan sebagai media cetak berbahasa Indonesia terbaik sebanyak tiga kali. Bagi Kompas, penghargaan sebagai media cetak berdedikasi juga pernah diterima sebelumnya pada 2017 dan 2018.
Penghargaan ini tidak semata-mata menunjukkan keberhasilan Kompas dalam merawat bahasa. Ini diharapkan dapat memotivasi dan memupuk semangat bagi harian Kompas untuk melanjutkan perjuangan menjaga bahasa pemersatu bangsa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?