Penguatan Industri Manufaktur di Tengah Pandemi
Industri manufaktur, yang dibentuk dari industri besar, sedang, dan mikro kecil, diyakini mampu menggerakkan kembali perekonomian meski penerapan sejumlah protokol kesehatan memberikan tantangan tersendiri.
Industri manufaktur sebagai salah satu sektor prioritas layak mendapat perhatian ekstra di masa transisi normal baru. Industri yang dibentuk dari industri besar, sedang, dan mikro kecil tersebut diyakini mampu menggerakkan kembali perekonomian meski sejumlah protokol kesehatan akan menjadi tantangan tersendiri.
Pasca-peluncuran Making Indonesia 4.0 sebagai peta jalan dan strategi Indonesia memasuki era digital, industri manufaktur menjadi salah satu perhatian pemerintah. Industri ini dipilih menjadi prioritas karena memberikan kontribusi cukup besar pada produk domestik bruto, yakni seperlima dari total produk domestik bruto nasional.
Berdasarkan kelompok sektornya, industri manufaktur masuk dalam kelompok sektor tradable. Kelompok sektor ini, menurut paparan Kementerian Perdagangan, adalah penghasil produk yang dapat diperdagangkan di pasar luar negeri. Kelompok sektor tradable terdiri dari sektor primer dan sektor sekunder. Industri manufaktur masuk dalam kelompok sektor sekunder, yaitu sektor yang mengolah hasil sektor primer, seperti pertanian dan pertambangan, menjadi barang siap pakai.
Sementara sektor tersier merupakan sektor yang menghasilkan jasa dan masuk dalam kategori sektor nontradable, yang umumnya tak menghadapi langsung persaingan luar negeri. Sektor yang masuk dalam kelompok nontradable antara lain listrik, gas, air, jasa konstruksi, serta hotel dan restoran.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, laju pertumbuhan industri manufaktur terus mengalami perlambatan. Pada 2017, laju pertumbuhan tahunan mencapai 4,29 persen dan melambat hingga angka 3,8 persen pada 2019.
Perlambatan itu berbanding terbalik dengan sektor tersier (jasa) yang menguat dari tahun ke tahun. Sektor tersier pada 2017 mengalami laju pertumbuhan 5,7 persen. Pertumbuhannya menguat menjadi 6,19 persen pada tahun berikutnya dan menjadi 6,83 persen pada 2019.
Sektor yang masuk dalam kelompok nontradable antara lain listrik, gas, air, jasa konstruksi, serta hotel dan restoran.
Laju pertumbuhan industri manufaktur kian terpuruk setelah Covid-19 melanda Indonesia. Menurut data BPS, laju pertumbuhan manufaktur pada triwulan I tahun ini hanya mencapai 2,06 persen. Pembatasan sosial berdampak pada berkurangnya aktivitas ekonomi.
Demi mencegah perekonomian semakin melemah, pemerintah menerapkan tatanan normal baru agar aktivitas ekonomi tetap berjalan dengan penerapan protokol kesehatan. Sektor industri manufaktur menjadi salah satu sektor yang diprioritaskan untuk kembali beroperasi bersama dengan pariwisata dan transportasi (Kompas, 4 Juni 2020).
Dalam pelaksanaannya, pemerintah perlu memberikan perhatian kepada dua kelompok pembentuk industri manufaktur, yakni industri besar dan sedang (IBS) serta industri mikro dan kecil (IMK). Industri besar dan sedang merupakan industri dengan jumlah tenaga kerja 20-99 orang (industri sedang) serta 100 pekerja untuk kategori besar. Adapun IMK menjadi salah satu klasifikasi industri manufaktur dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang (industri mikro) dan 5-19 orang untuk kategori kecil.
Industri besar sedang
Industri besar sedang yang kembali beroperasi akan memberikan efek domino cukup besar karena kemampuannya menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Pekerja yang kembali memiliki penghasilan bakal kembali meningkatkan konsumsi.
Tahun 2019, laju pertumbuhan IBS 4,01 persen dibandingkan dengan 2018. Pertumbuhan tersebut didukung tumbuhnya beberapa industri, antara lain industri percetakan dan reproduksi media rekaman, industri pakaian jadi, industri furnitur, dan industri makanan. Di sisi lain, industri yang mengalami penurunan di antaranya industri barang logam, industri karet, dan industri komputer.
Namun, dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, laju pertumbuhan industri besar sedang menunjukkan tren menurun dalam enam tahun terakhir. Pada 2014, IBS masih mampu tumbuh 4,76 persen, tetapi terus merosot hingga 4,01 persen pada tahun lalu.
Perlambatan tersebut salah satunya dipicu oleh pelemahan kondisi perekonomian global. Perseteruan antara Amerika Serikat dan China cukup memukul kinerja IBS di Indonesia. Penyebabnya, tumbuh kembang IBS masih sangat bergantung pada situasi global, baik ekspor maupun impor.
Sebagai contoh, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang berkontribusi besar pada IBS Tanah Air. Indonesia menduduki peringkat ke-8 negara eksportir (khusus) pakaian jadi di dunia pada 2018. Beberapa mitra dagang utamanya ialah Amerika Serikat, Jepang, dan China.
Sementara itu, demi kelancaran produksi, bahan baku industri TPT diperoleh dari impor. Pada tahun yang sama, impor industri TPT senilai 7 miliar dollar AS dan menduduki peringkat ke-10 importir tekstil di dunia.
Kondisi global yang melesu menjadi tantangan tersendiri bagi IBS. Di tengah pandemi Covid-19 saat ini, arus keluar-masuk barang ke dan dari luar negeri juga terhambat akibat penerapan pembatasan sosial demi pencegahan penyebaran virus.
Industri mikro kecil
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperhatikan bergeraknya industri mikro kecil (IMK). Meski penyerapan tenaga kerja dalam satuan unitnya tak sebesar IBS, tidak semestinya IMK luput dari fokus pertumbuhan industri manufaktur.
Tren laju pertumbuhan IMK sepanjang enam tahun terakhir cenderung meningkat. Tahun lalu, laju pertumbuhan IMK 5,80 persen, meningkat 0,89 poin dari tahun 2014 yang sebesar 4,91 persen.
Pertumbuhan IMK juga konsisten lebih besar daripada IBS dalam periode pengamatan yang sama. Industri yang mendorong pertumbuhan IMK tak jauh berbeda dengan IBS, antara lain industri makanan, industri pakaian jadi, dan industri barang galian bukan logam.
Industri mikro kecil menjadi sektor mayoritas atau mendominasi dari populasi industri manufaktur Tanah Air. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2017) menunjukkan, 99,5 persen dari jumlah unit industri manufaktur merupakan industri mikro kecil.
Begitu pula dengan penyerapan tenaga kerjanya. Mayoritas tenaga kerja industri manufaktur berada di IMK, yakni 116,4 juta pekerja pada tahun yang sama atau setara dengan 99,9 persen dari total pekerja manufaktur.
Mayoritas IMK merupakan sektor informal, tetapi industri tersebut cenderung lebih tahan terhadap gejolak ekonomi global. Saat krisis global terjadi tahun 2008, IMK mampu bertahan karena produknya dekat dengan kebutuhan masyarakat.
Sebagian besar IMK Indonesia menghasilkan produk makanan yang tetap dibutuhkan masyarakat dalam segala situasi. Di sisi lain, sebagian besar bahan baku yang digunakan oleh IMK berasal dari dalam negeri atau lokal sehingga bebas dari hambatan atau tekanan global.
Dampak Covid-19
Krisis akibat Covid-19 berbeda dengan beberapa krisis yang pernah melanda Indonesia. Krisis yang berawal dari serangan terhadap kesehatan ini membuat semua orang lebih berhati-hati.
Selain menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak dan menggunakan masker, pandemi juga membuat orang memperhatikan kesehatan dan keamanan makanan. Akibatnya, banyak orang memilih untuk memasak makanan sendiri di rumah ketimbang membelinya di warung. Situasi tersebut tentu memukul sejumlah IMK.
Krisis akibat Covid-19 berbeda dengan beberapa krisis yang pernah melanda Indonesia.
Data pekerja terdampak yang dirilis Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, hingga 27 Mei ada 1,4 juta pekerja formal dan 318.959 pekerja informal yang terdampak Covid-19. Data tersebut bisa jadi tak menampakkan kondisi riil karena jumlah unit usaha dan pekerja informal industri mikro kecil lebih banyak daripada industri besar sedang.
Keberadaan IMK sebagai industri yang relatif kecil luput dari pendataan. Adapun IBS memiliki sistem pencatatan berkala dan terdaftar secara resmi.
Luputnya perhatian terhadap IMK tentu sangat tidak diharapkan. Bagaimanapun, keduanya merupakan satu kesatuan yang membentuk kontribusi besar pada perekonomian yang masih menjadi harapan di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)