Perubahan UU Pemilu semestinya tidak sekadar menitikberatkan pada bagaimana kontestasi yang lebih berimbang antarpeserta pemilu. Pemilu juga harus menjamin kedaulatan pemilih dalam menentukan pilihan.
Oleh
Yohan Wahyu/Litbang Kompas
·6 menit baca
Wacana perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bukan hal baru. Di setiap menjelang hajatan politik lima tahunan tersebut, lembaga legislatif selalu merumuskan kembali aturan main pemilu. Pendek kata, setiap pemilu selalu dengan undang-undang baru. Hal ini sedikit agak jauh dari harapan publik yang lebih menginginkan aturan dan tata cara pemilu itu tidak perlu berubah-ubah, bahkan kalau bisa tidak terlalu menyulitkan, terutama bagi pemilih saat menggunakan hak suaranya di tempat pemungutan suara.
Harapan ini sebenarnya sudah terbaca saat jajak pendapat Kompas pada Juli 2017. Ketika itu DPR tengah menggodok perubahan Undang-Undang Pemilu yang dipersiapkan untuk Pemilu 2019. Separuh lebih responden saat itu berharap UU Pemilu lebih stabil, tidak mudah diubah-ubah lagi, bahkan kalau bisa rancangan undang-undang (RUU) yang sedang dibahas saat itu bisa dipakai untuk dua sampai tiga pemilu mendatang (Kompas, 17/7/2017).
Ada kecenderungan publik lebih berharap pemilu tetap lebih sederhana, tidak ribet, dan memudahkan mereka dalam berpartisipasi, terutama terkait cara penggunaan suara ketika hari pemungutan suara.
Kini, UU No 7/2017 yang merupakan buah dari pembahasan tiga tahun lalu itu kembali direncanakan untuk diubah. Isu yang muncul pun juga tidak jauh-jauh dari perdebatan dan diskursus terkait pemilu, seperti yang juga diperdebatkan tiga tahun lalu, bahkan di saat perubahan undang-undang di pemilu-pemilu sebelumnya. Di antaranya terkait sistem pemilu, ambang batas, dan perolehan kursi yang masih menjadi fokus dan terus diutak-atik dari setiap perubahan regulasi tentang pemilu.
Menariknya, respons publik hari ini pun tidak jauh berbeda dengan sikap mereka ketika undang-undang yang sama ini digodok tiga tahun silam. Jajak pendapat Kompas pekan lalu menangkap, ada kecenderungan publik lebih berharap pemilu tetap lebih sederhana, tidak ribet, dan memudahkan mereka dalam berpartisipasi, terutama terkait cara penggunaan suara ketika hari pemungutan suara.
Namun, kesederhanaan ini tidak serta-merta mengesampingkan soal pentingnya kedaulatan pemilih. Setidaknya hal ini terlihat dari sikap responden terkait sistem pemilu. Sebagian besar responden cenderung lebih nyaman dengan sistem pemilu proporsional terbuka yang sejauh ini sudah mereka rasakan.
Sikap ini terekam melalui jawaban mereka ketika ditanya lebih memilih gambar partai, nama calon legislatif, atau keduanya. Hampir 60 persen responden lebih suka memilih keduanya sekaligus, yakni gambar partai dan nama calon legislatif.
Pilihan mencoblos gambar logo partai politik dan nama calon legislatif ini sesuai dengan praktik yang sudah dilakukan sejak Pemilu 2004, bahkan di Pemilu 2009 praktik ini diperkuat dengan syarat keterpilihan anggota legislatif ditentukan oleh suara terbanyak yang diraih masing-masing calon legislatif. Hal ini menandakan, suara pemilih turut menentukan peluang siapa calon legislatif yang berhak menduduki kursi di parlemen.
Sebagian besar responden cenderung lebih nyaman dengan sistem pemilu proporsional terbuka yang sejauh ini sudah mereka rasakan. Sikap ini terekam melalui jawaban mereka ketika ditanya lebih memilih gambar partai, nama calon legislatif, atau keduanya. Hampir 60 persen responden lebih suka memilih keduanya sekaligus, yakni gambar partai dan nama calon legislatif.
Sistem pemilu terbuka
Kecenderungan pemilih yang lebih nyaman memilih gambar partai politik dan calon legislatif ini tidak lepas dari praktik sistem pemilu proporsional terbuka yang sudah dijalani sepanjang empat pemilu terakhir ini. Tujuan diberlakukannya sistem pemilu terbuka adalah untuk memberikan ruang bagi pemilih agar bisa turut menentukan siapa calon legislatif yang diharapkannya menduduki kursi wakil rakyat guna memperjuangkan aspirasi mereka.
Inilah potret kedaulatan bagi pemilih. Apalagi dalam konteks ini, pemilih tak sekadar memilih calon legislatif. Sebagian besar responden (84,1 persen) dalam jajak pendapat menyebutkan, mereka tidak sekadar asal pilih calon anggota legislatif. Sebab, mereka cenderung memilih calon legislatif yang mereka ketahui dan kenal. Bahkan, sebagian besar responden juga tidak mempermasalahkan, apakah calon legislatif itu perempuan atau laki-laki, termasuk berapa nomor urutnya. Selama ia tahu dan kenal, ada kecenderungan lebih dipilih oleh responden.
Data Pemilu 2019 menarik untuk dilihat. Meskipun sebagian besar pemilih mencoblos tanda gambar partai, setidaknya ada hampir 15 persen pemilih yang lebih mencoblos nama calon anggota legislatif saja, tanpa mencoblos gambar partai. Dari 8.101 calon legislatif DPR yang berhasil dihimpun Litbang Kompas, ada sekitar 1.157 calon legislatif yang perolehan suaranya melebihi perolehan suara partai politiknya. Data ini mengindikasikan, ada kebutuhan kedekatan antara pemilih dan anggota legislatif yang dipilih.
Kedekatan ini penting untuk menjaga agar sistem perwakilan tak sekadar berhenti saat pemilu, tetapi juga berlangsung sepanjang lima tahun atau sepanjang anggota legislatif terpilih tersebut aktif di parlemen. Tentu, kedekatan ini lebih terbuka peluangnya jika pemilu menggunakan sistem proporsional terbuka dengan metode suara terbanyak untuk legislatif terpilih, seperti yang sudah dipraktikkan sepanjang empat pemilu terakhir ini. Namun, kondisi ini bertolak belakang jika praktik sistem pemilu ini diubah.
Hal ini seperti yang tertuang dalam draf RUU Pemilu oleh Komisi II DPR tertanggal 6 Mei 2020. Di Pasal 206 Ayat (1) dalam draf itu disebutkan, pemilu anggota DPR menggunakan sistem proporsional tertutup. Konsekuensi jika ini diterapkan, pemilih akan kembali memilih atau mencoblos gambar partai politik saja tanpa memiliki ruang untuk turut menentukan calon legislatif yang dipercayainya.
Catatan Kontitusi dan Demokrasi Inisiatif, sebuah lembaga riset independen di bidang hukum konstitusi dan demokrasi menyebutkan, pasal ini cenderung mengabaikan putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang menyoal syarat penentuan sistem pemilu. MK menyebutkan, penentuan sistem pemilu harus mengutamakan prinsip partisipasi rakyat seluas-luasnya.
Tentu, merujuk putusan ini, jika mengacu pada partisipasi, sistem pemilu proporsional terbuka lebih membuka ruang bagi pemilih menentukan anggota legislatif terpilih sesuai kehendaknya, dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup yang lebih memosisikan partai politik sebagai penentu.
Sebanyak 86,8 persen responden menginginkan jumlah partai peserta pemilu berkurang dibanding Pemilu 2019. Dari kelompok ini, sebagian besar (46,2 persen) lebih memilih jumlah moderat, yakni 6-12 partai politik, bahkan sebagian yang lain lebih memilih 3-5 partai politik peserta pemilu.
Partai dibatasi
Berbeda dengan sistem pemilu yang diharapkan tetap terbuka dengan menekankan pentingnya kedaulatan pemilu, terkait keberadaan partai politik, publik cenderung ada pembatasan. Hal ini terlihat dari sikap responden dalam jajak pendapat yang cenderung berharap jumlah partai politik bisa lebih sederhana di pemilu nanti. Sebanyak 86,8 persen responden menginginkan jumlah partai peserta pemilu berkurang dibanding Pemilu 2019. Dari kelompok ini, sebagian besar (46,2 persen) lebih memilih jumlah moderat, yakni 6-12 partai politik, bahkan sebagian yang lain lebih memilih 3-5 partai politik peserta pemilu.
Selain di kontestasi, pembatasan jumlah partai politik juga diharapkan tetap terjadi di dalam parlemen. Usulan kenaikan ambang batas parlemen dalam draf RUU Pemilu, dari 4 persen menjadi 7 persen, cenderung diamini oleh sebagian besar responden. Penerapan ambang batas parlemen ini juga bisa diterapkan untuk legislatif di daerah. Namun, sebenarnya tidak mudah untuk menaikkan angka ambang batas ini. Pengalaman pembahasan RUU Pemilu sebelumnya, isu ambang batas parlemen menjadi sesuatu yang alot diputuskan.
Hal ini tidak lepas dari tarik-menarik antara partai politik papan atas yang cenderung setuju dengan kenaikan ini dan kelompok partai papan menengah bawah yang cenderung menolaknya. Penolakan ini wajar karena berat bagi partai menengah bawah untuk bisa lolos ambang batas parlemen dengan rekam jejak hasil pemilu selama ini. Apalagi jika ambang batas ini diusulkan untuk diberlakukan di daerah karena akan bertabrakan dengan putusan MK Nomor 52/ PUU- X/ 2012 yang menyatakan ambang batas tidak dapat diberlakukan di DPRD karena berpeluang menimbulkan tidak ada partai politik di suatu daerah yang memenuhi ambang batas parlemen.
Tidak mudah untuk menaikkan angka ambang batas ini. Pengalaman pembahasan RUU Pemilu sebelumnya, isu ambang batas parlemen menjadi sesuatu yang alot diputuskan.
Dari hasil jajak pendapat ini bisa ditarik benang merah, pemilih lebih menginginkan partisipasinya lebih terbuka dalam turut menentukan siapa wakil rakyat yang dipercayainya. Namun, di sisi lain, pemilih cenderung memberi pembatasan ruang bagi peran partai politik dengan pembatasan jumlah partai, baik saat kontestasi maupun di parlemen.
Terlepas dari itu semua, kedaulatan pemilih menjadi sesuatu yang wajib dipertahankan dalam pemilu. Seperti yang disebutkan dalam setiap undang-undang pemilu, pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat. Maka, menjamin kedaulatan pemilih dalam setiap pembahasan undang-undang pemilu menjadi sebuah keniscayaan.