Budaya Betawi, Bertahan di Tengah Sapuan Zaman
Eksistensi kebudayaan Betawi kerap berhadapan dengan geliat kota yang kian padat. Ruang ekspresi yang kini menyempit menjadi sandungan dalam membumikan kesenian tradisional Betawi di ruang publik.
Senin, 31 Mei 1971, harian Kompas mengangkat sebuah artikel bertajuk ”Si Djampang Terdesak” lengkap dengan karikatur beserta lantunan pantun yang menjadi ciri khas Betawi.
Si Djampang adalah figur dari Betawi yang dikenal sebagai jawara. Namun, derasnya arus pembangunan perkotaan pada era Orde Baru membuat Si Djampang tak berkutik.
Inilah realitas yang dihadapi oleh etnis Betawi saat itu. Pada satu sisi, mereka memperoleh ganti rugi yang begitu tinggi terhadap tanah yang harus dijual. Di sisi lain, mereka harus kehilangan sawah, lahan, dan keelokan alam Jakarta di masa lampau.
Kebun, halaman yang luas, dan pohon yang berbuah lebat harus dilupakan. Tak ada pilihan. Kondisi itu juga berbanding lurus dengan degradasi eksistensi produk budaya yang telah dirawat.
Eksistensi kebudayaan Betawi memang kerap berhadapan dengan geliat kota yang kian padat. Ruang ekspresi yang kini menyempit menjadi sandungan dalam membumikan kesenian tradisional Betawi di ruang publik.
Betawi dan Jakarta ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Produk budaya Betawi menjadi identitas kultural di tengah kemajemukan penduduk ibu kota. Identitas itulah yang menjadi ruh di tengah hiruk pikuk perkotaan dengan segala modernitasnya.
Orang Betawi
Lahirnya kebudayaan Betawi sebagai identitas tentu tak dapat dilepaskan dari upaya orang Betawi untuk melahirkan produk budaya dan merawatnya. Upaya ini telah lahir sejalan dengan keberadaan orang Betawi sejak beberapa abad silam.
Mari sejenak tengok ke belakang. Terlepas dari beragam perdebatan tentang asal-usul orang Betawi, yang jelas, daerah sekitar muara Ciliwung telah dihuni sejak abad ke-5 Masehi. Ini terekam dari Prasasti Tugu dari era Kerajaan Tarumanagara yang menginformasikan kegiatan penggalian sungai pada masanya. Prasasti ini ditemukan di daerah yang kini dikenal sebagai Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
Dalam prasasti yang ditulis dengan huruf Pallawa itu dikisahkan tentang penggalian Sungai Candrabhaga oleh Rajadirajaguru dan Sungai Gomati sepanjang 6.112 tombak atau sekitar 12 kilometer oleh Raja Purnawarman. Penggalian sungai ini tentu membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit. Ini mengindikasikan bahwa daerah muara Ciliwung telah memiliki penduduk saat itu.
Pada tahun 1527, jejak permukiman juga ditemukan di Marunda melalui catatan seorang arsiparis Belanda, Frederik de Haan. Marunda saat itu digunakan sebagai markas tentara Islam Banten dan pasukan Fatahillah saat menyerang Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Pada abad ke-17, kegiatan penduduk juga terekam dalam aktivitas perdagangan di kota pelabuhan Jayakarta. Kota pelabuhan inilah yang kemudian ditaklukkan oleh Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen dan berganti nama dengan Batavia.
Secara tertulis, catatan tentang etnis Betawi memang cukup sulit ditemukan dalam beberapa dokumen pemerintah kolonial. Pada tahun 1673, misalnya, catatan pemerintah kolonial tentang jumlah penduduk di Batavia hanya memotret beberapa kelompok suku bangsa seperti Jawa, Melayu, dan Bali. Mereka hidup dengan orang-orang pendatang dari Belanda, China, serta budak yang didatangkan dari luar Batavia.
Pada tahun 1679, Betawi juga tidak terdapat dalam catatan pemerintah kolonial saat mendata penduduk di sisi timur, barat, dan pinggir kota Batavia. Dalam catatan itu, hanya Jawa, Melayu, dan Bali yang termasuk di dalam catatan populasi.
Ada beberapa kemungkinan tidak dicatatnya etnis Betawi dalam sejumlah dokumen pemerintah kolonial. Pertama, catatan data kependudukan hanya terbatas di dalam tembok kota Batavia. Dengan adanya tembok kota, penduduk Jayakarta yang dulu diusir saat penaklukan oleh Jan Pieterszoon Coen tidak menetap di sekitar permukiman elite Batavia sehingga tidak tercatat dalam data kependudukan.
Kedua, Betawi saat itu belum dipandang oleh pemerintah kolonial sebagai etnis khusus sehingga tidak tercatat dalam satu golongan utama. Bisa jadi, orang Betawi masuk pada kategori lainnya dalam setiap pendataan.
Walakin, menurut catatan Ridwan Saidi dalam buku Babad Tanah Betawi (2002), Betawi pernah disebut oleh Nyai Inqua, seorang janda tuan tanah di Batavia. Dalam sebuah testamen pada tahun 1644, ia menyebut pembantu perempuannya sebagai orang Betawi.
Tradisi
Meski cukup jarang disebut dalam catatan di era kolonial, orang Betawi sebagai penduduk yang bermukim tetap ada di daerah sekitar Batavia. Daerah Muara Ciliwung ini kemudian menjelma sebagai sebagai kawasan multikultural setelah ramainya pendatang dari berbagai suku bangsa.
Seiring perjalanan waktu, orang Betawi kemudian melahirkan tradisi yang lambat laun kian dikenal secara luas sejak sebelum kemerdekaan. Seni musik, tari, hingga teater tradisional menjadi produk budaya yang semakin melekat bagi orang-orang Betawi.
Pada seni musik, orkes gambus atau orkes Melayu telah menjadi bagian kesenian yang ditampilkan oleh orang Betawi dalam acara pernikahan sejak pertengahan abad ke-19. Saat itu, para tamu undangan juga telah mengenakan pakaian khas Betawi yang hingga kini masih jamak terlihat dalam setiap pesta pernikahan.
Orkes Melayu semakin berkembang pada era kemerdekaan. Pada dekade 1950-an, telah terdapat beberapa orkes Melayu terkenal, seperti Orkes Melayu Kenangan, Orkes Melayu Irama Agung, dan Orkes Melayu Chandra Lela. Sementara orkes harmonium, orkes semenanjung, dan orkes Melayu saat itu telah memiliki penggemar yang setia dari orang Betawi yang tersebar di Jakarta (Saidi, 1997).
Kesenian lainnya yang juga lahir adalah wayang Betawi. Konon, wayang ini merupakan wujud akulturasi dari interaksi antara orang Jawa dengan penduduk di Muara Ciliwung pada masa lampau. Wayang Betawi kemudian berkembang sebagai sarana hiburan dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Betawi.
Betawi juga memiliki tradisi bercerita. Tradisi ini telah ada sejak tahun 1800-an awal. Sebelum Perang Dunia II, cerita yang memiliki nilai moral biasanya dibawakan pada malam hari oleh orang yang disebut sebagai tukang cerita.
Sejumlah tradisi dan kesenian ini menjadi catatan manis bagi perjalanan kehidupan orang-orang Betawi. Bersamaan dengan kesenian lainnya, seperti lenong, pantun, tari cokek, hingga beragam jenis produk budaya lainnya, Jakarta memiliki roh kebudayaan yang terus diwarisi oleh orang Betawi pada masanya.
Baca juga: Tradisi Nyorog Orang Betawi di Masa Pandemi Covid-19
Ruang ekspresi
Sayangnya, sejumlah kesenian tradisional tersebut kini mulai memudar. Ruang ekspresi yang tersedia kian menyempit dan berkelindan dengan pesatnya arus modernisasi di Jakarta. Padahal, Betawi adalah salah satu kelompok suku bangsa terbesar di Indonesia yang tentu membutuhkan warisan budaya sebagai roh dalam kehidupan.
Jika merujuk data sensus penduduk tahun 2010, jumlah orang Betawi di Indonesia mencapai 6,8 juta jiwa, lebih banyak dibandingkan suku bangsa lainnya, seperti Minangkabau (6,4 juta), Bugis (6,3 juta), dan Melayu (5,3 juta).
Meski mendominasi, tak jarang orang Betawi harus mengalah dengan pesatnya pembangunan kota. Perkampungan Betawi pun beberapa kali menjadi sasaran penggusuran karena kepentingan pembangunan. Salah satunya adalah saat persiapan Asian Games 1962. Saat itu, perkampungan Betawi di Senayan yang rimbun diubah menjadi kompleks olahraga.
Kondisi ini perlahan mulai memberi dampak bagi eksistensi produk budaya Betawi. Jangankan ruang berekspresi, mencari ruang hidup di tengah perkotaan saja tidak mudah. Perlahan, kesenian Betawi mulai jarang ditampilkan di tengah-tengah masyarakat seiring semakin menyebarnya orang-orang Betawi di pinggiran Jakarta.
Baca juga: Seniman Ondel-ondel Lawan Stigma Negatif
Harapan
Kini, di tengah semakin sempitnya ruang ekspresi itu, masih ada secercah harapan untuk mewarisi sejumlah tradisi Betawi. Dari sisi pemerintah, beberapa upaya telah dilakukan seperti menerbitkan peraturan tentang pelestarian kebudayaan Betawi hingga mengadakan pentas kesenian Betawi dalam sejumlah acara khusus.
Sementara dari sisi masyarakat, antusiasme yang sangat besar juga dimiliki untuk turut melestarikan kesenian tradisional Betawi. Ini terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 16-18 Juni 2020 terhadap responden di Jabodetabek. Responden dari segala usia menyatakan ketertarikannya yang cukup besar untuk ikut serta dalam pelestarian kesenian khas Betawi.
Hanya, kegiatan terkait sosialisasi dan fasilitas seperti museum perlu digencarkan agar orang-orang di daerah Jakarta dan sekitarnya dapat menikmati, juga ikut serta mewarisi segala bentuk warisan budaya Betawi. Di usia Jakarta yang memulai 493 tahun, memperkenalkan budaya untuk generasi muda adalah hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan. Jika tak kenal, bagaimana mungkin produk budaya akan diwariskan? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?